Rabu, 20 Mei 2015

CERPEN ANJING NYONYA TUAN BESAR



Anjing Nyonya Tuan Besar
Cerpen: B.Yass
Kompas Minggu, 22 Agustus 1999 hlm.5

Kampuing kami di sisi sebelah timur jalan raya umum yang menghubungkan daerah utara dengan selatan. Terdiri dari tiga puluh buah  rumah. Semua beratap daun nipah, dinding kulit kayu, tiang kayu bulat, atau ditarah.  Lantai rata-rata satu setengah meter tingginya dari tanah.  Sepuluh rumah, halamannya sampai ke tepi aspal jalan raya.
Sisi sebelah barat jalan raya menghutan pohon karet perke­bunan yang kami sebut onderne­ming. Kantor pusatnya di kota, enam kilometer selatan kam­pung.  Di situ juga kediaman pe­jabat tertinggi onderneming, yang jabatannya disebut Tuan Besar.  Beberapa orang Eropa de­ngan jabatan Tuan Kecil, ber­tempat tinggal di tengah perke­bunan karet.
Di depan kampung kami ada simpang ke arah barat, jalan ra­ya ke perkebunan.  Di sudut sim­pang tiganya ada sebuah rumah ­jaga dibuat dari batu.  Seratus li­ma puluh meter dari situ, di tepi kebun karet, ada lapangan tenis.  Sekelilingnya dipagari kawat jala setinggi lima meter.  Penuh dengan tanaman kacangan yang merambak.  Orang di luar pagar tidak dapat melihat lapangan tenis.  Hanya hari Minggu atau hari libur lainnya lapangan itu digunakan.  Yang bermain tenis di situ ialah orang Eropa, para pejabat di kantor onderneming.  Bfla ada yang bermain tenis, dua orang polisi bersenjata karabin datang dari kota, bertugas di ru­mah jaga.
Hari itu Minggu kedua bulan Juh 1938, sejak fajar sejumlah penouduk kampung sudah pergi ke kebun atau ke ladang.  Sekitar pukul tujuh pagi delapan orang pria di warung Bibi Siti di kolong rumahnya, duduk mengopi sam­bil ngobrol, aku duduk di bendul pintu.  Enam anak bermain kele­reng di kolong rumah sebelah.  Datang empat buah truk dab arah kota langsung membelok ke jalan menuju perkebunan dan berhenti di simpang ke lapangan tenis.  Beberapa orang mengang­kat kotak-kotak kardus besar dari truk, mernbawanya ke la­pangan tenis.  Aku tahu kotak-­kotak kardus itu pastilah berisi makanan dan minuman.  Sejurus kemudian datang dua orang po­lisi dari selatan, mengendarai se­peda menyandang karabin, lang­sungmasuk kerumahjaga.  Ham­pir bersamaan datang tiga buah sedan dari arah utara langsung ke lapangan tenis.  Aku tahu me­reka para Tuan Keeil.  Kemudian datang enam buah sedan dari se­latan, beriring-iringan.  Paling depan sedan merah dengan kap terbuka, dikemudikan seorang nyonya bercelana pendek baju kaus serba putih.  Di sisinya se­orang gadis remaja.  Di jok bela­kang duduk anjing berbulu hi­tam, menunggakkan kedua kaki depannya.
Kejadian demikian berlang­sung setiap hari Minggu.  Selu­ruh penduduk kampung kami sudah kenal pada sedan merah buka kap, nyonya dan gadis ser­ta anjing hitam itu karena ham­pir setiap hari sekali lewat di de­pan kampung kami.  Kabarnya nyonya itu gernar berkunjung pada keluarga Tuan Kecil yang bertempat tinggal di tengah per­kebunan karet.  Nyonya itu dise­but orang Nyonya Tuan Besar Anaknya yang duduk di sisi, kamii sebut Si Noni.  Ada kalanya sedan itu dikemudikan seorang diri oleh Nyonya Tuan Besar, atau oleh Si Noni sendiri, anjing hitam tetap ikut.
Orang bilang Nyonya Tuan Besar itu sering mengemudikan sendiri mobilnya ke pasar di ko­ta, berbelanja sendiri membeli sayur-mayur, dan anjing hitam­nya tetap ikut serta.  Oleh karena itu orang di kota, di beberapa kampung lain, terutama pega­wai. kantor dan para kuli kon­trak yang tinggal di barak-ba­rak tengah kebun karet, sudah kenal dengan Nyonya dan an­jing hitamnya.
Anjing itu tidaklah besar atau berbulu panjang seperti biasa­nya anjing yang dipelihara oleh orang Eropa.  Besar badannya juga tak jauh beda dari anjing, kampung biasa.  Andai berada di antara beberapa ekor anjing kampung yang berbulu hitam, sukar membedakannya.
Matahari tambah tinggi, aku membelah kayu di halaman, enam orang anak terus bermain di kolong rumah sebelah.  Orang duduk di warung Bibi Siti ber­tambah juga.  Tiba-tiba aku ter­kejut karena beberapa orang anak berteriak: "Soleh digigit anjing."
Aku menoleh.  Anak yang bemama Soleh tertelungkup di halaman, menjerit.  Betis kaki kirinya berdarah.  Lima orang anak berdiri menghadapi se­ekor anjing hitam.  Cepat aku lari mendekati.  Kiranya mere­ka yang duduk di warung Bibi Siti sudah bergegas berlari mendekati anak-anak itu.  Be­berapa orang berlari sambil berteriak: "Anjing gila!  Bunuh!  Hayo!
Pak Dalah dibantu tiga orang menggendong Soleh dan mem­baringkannya di sebuah bale papan tua di kolong, sementara kami bergegas mengepung an­jing hitam yang moncongnya berdarah.  Ada yang sempat mengambil kayu atau beroti atau batu.  Ada yang berseru: "'Pak Rajaaab.  Pak Rajab!
Pak Rajab pegawai rumah sa­kit di kota.  Datang berlari dari rumahnya sambil menjinjing se­buah tas kulit besar.  Kami tahu tas itu berisi obat-obatan dan peralatan.  Dia langsung meng­obati Soleh.  Dua belas orang ka­mi mengepung anjing hitam.  Be­berapa kali binatang itu melom­pat hendak menembus kepung­an, akan tetapi selalu dihadang dengan sepakan atau dengan pukulan.  Anjing itu ketakutan, bergerak-gerakliar.  Ketika ke­pungan berjarak dua meter dari anjing itu, kulihat pemuda Tolib yang memegang sepotong batu bata mengayunkan tangan.  An­jing itu rebah dan melengking, akan tetapi cepat berdiri lagi.
Dari pangkal telinga kirinya mengalir darah.  Suara mengata­kan anjing gila dan bunuh tam­bah riuh juga, sementara bebe­rapa orang pria dan wanita su­dah mendekat pula.  Anjing itu kembali melompat hendak me­nembus kepungan, akan tetapi dihadang oleh Pak Karno de­ngan pukulan kayu sepergelang­an tangan panjang satu meter.  Binatang itu rebah dan meleng­king. Kedua kaki depannya ber­darah kena pukulan kayu. Bebe­rapa saat terbaring, tiba-tiba dengan sigap anjing itu melom­pat dan berhasil menembus kepungan.  Akan tetapi tak bisa berlari.  Hanya melompat-lom­pat dengan menggunakan kedua kaki belakangnya, menuju kolong rumah.
Pemuda Sabirin yang sejak tadi memegang sebuah sangkak terbuat dari bambu, yang digu­nakan untuk mengurung induk ayam yang beranak kecil, me­ngejar dan dengan menekapkan sangkak itu ke tanah, anjing hitam terkurung rebah miring da­lam sekapan sangkak.  Kami mendekati dan berkerumun me­ngelilingi sangkak.  Dua orang menggunakan kayu, melalui ce­lah bilah bambu sangkak menu­suk-nusuk anjing itu hingga ter­kaing-kaing.  Beberapa orang bersuara marah: "Bunuh!  Itu anjing pendatang!  Anjing gila ... !"
Tiba-tiba suara dan tusukan pada anjing itu terhenti karena ada suara kuat membentak: "Ada apa!?  He!  Ada apa ribut-­ribut?l " Kiranya dua orang poli­si yang tadinya di rumah jaga, sudah berada di halaman, berge­gas mendekat sambil menjinjing karabin.  Seorang bertubuh ke­kar berkumis tebal, temannya bertubuh kurus.  Kami undur memberi jalan bagi polisi itu un­tuk mendekati sangkak dekat tiang.  Pak Jabar berkata: "Ini anjing gila Tuan.  Menggigit anak.  Itu dia korbannya.  Dira­wat."
"Anjing gila?  Ditembak saja biar mati!  " ujar polisi berkumis tanpa menoleh kepada siapa pun.  Langsung mendekati sang­kak diiringi temannya.
"Ya Tuan.  Itu anjingnya.  Tem­bak saja Tuan, " balas Pak Jabar.
Kedua polisi itu berdiri dekat sangkak.  Anjing hitam terbaring miring.  Kedua kaki depannya terlipat berdarah.  Matanya ter­delik memandang kedua polisi yang memperhatikannya.  Darah masih meleleh dari pangkal teli­nga kirinya.  Tiba-tiba polisi ber­kumis menegakkan kepala.  Air mukanya berubah menandakan marah, memandangi kami di se­kitarnya.  Kemudian memben­tak: "Ini anjing Nyonya Tuan Besar!  Masa kamu tidak tahu?!  "
Kukira semua yang hadir, sa­ma dengan aku, baru sadar bah­wa anjing itu kepunyaan Nyo­nya Tuan Besar.  Pak Ali berkata: "Tak peduli anjing siapa.  Kalau menggigit orang harus dibunuh, Tuan.  Itu anjing gila."
"Kurang ajar!" bentak polisi berkumis seperti menjerit, lang­sung menodongkan karabin ke arah Pak Ali.  Polisi kurus rneno­dongkan pula ke arah kami yang satu setengah meter di kelilingi­nya.  "Kamu tentu tabu ini an­jing Nyonya Tuan Besar!  Kamu bilang gila?!  Kurang ajar kamu semua! Tuan Besar itu orang Belanda!  Anjing orang Belanda ti­dak mungkin gila!  Tuan Besar orang paling berkuasa di daerah ini.  Paling dihormati semua orang!  " Suara polisi berkumis itu tambah kuat.  Matanya dide­likkan: "Dengar semua?!  Hen­dak kamu bunuh ya?!  Siapa saja yang menyakiti anjing ini, akan dihlukum!  Bisa ditembak mati!  "
"Tetapi dia menggigit orang, Tuan.  Anak yang sedang ber­main," jawab Pak Ali.
"Bohong!  " bentak polisi itu dan menggerakkan karabinnya.  "Pasti ada yang mengganggu­nya.  Memukul atau melempar­nya!
Pak Ali memandang pada ke­lima anak-anak yang berdiri agak jauh dari kerumunan: "He anak-anak.,Sini! Apakah kamu tadi mengusik anjing ini?"
Kelima anak-anak itu keta­kutan, tak mau mendekat.  Pak Ali bertanya lagi. Seorang di an­taranya menjawab: "Kami tidak mengusiknya.  Kami main kele­reng.  Aku dan Soleh kalah.  Ka­mi hendak mengambil kelereng ke rumah.  Kami berjalan.  Tiba di halaman situ anjing berlari dari jalan raya langsung meng­gigit kaki Soleh... "
"Bohong!  " bentak polisi itu.  "Dasar orang kampung!  Kamu sekongkol!  Siapa yang memu­kul kepala anjing ini sampai berdarah!  " Tak ada yang men­jawab.  Kedua polisi itu mengo­kang karabin mereka, seakan-­akan hendak menembak kami: "Siapa yang memukulnya? Ti­dak ada yang mengaku!  Akan saya tembak kamu semua sam­pai mati!  "
Pemuda Tolib maju hingga se­meter dari hadapan polisi.  Sam­bil membenahi gulungan kain sarung dia berkata: "Saya yang melempar kepalanya dengan batu, Tuan."
"Huh!  Kau ya?  Berani hendak membunuh anjing Nyonya Tuan Besar?" Polisi menodongkan ka­rabin sampai sejengkal dari dada Tolib:"Borgol dia! "
Polisi kurus membuka borgol dari tali pinggang, mendekati Tolib dan memerintah: "Maju­kan kedua tanganmu."
Tolib tidak bergerak.  Ada orang di belakang berkata: "Ikuti kehendak mereka, Tolib.  Nanti semua kita jadi susah."
Tolib mengeluarkan kedua ta­ngannya.  Polisi itu memborgol lalu menarik Tolib maju ke de­kat sangkak.  Polisi berkumis menghardik: "Kau bisa dihu­kum mati!  Kau juga yang me­mukul kaki anjing ini ya?!"
"Tidak.  Bukan dia Tuan.  Saya yang memukulnya.  " Pak Karno menjawab sambil maju semeter di depan polisi berkumis.
"Ha!  Kau juga ya?!  " Polisi berkuniis seperti menjerit ma­rah.  Diapitnya popor karabin, dibukanya borgol dari ping­gangnya, menyerahkan kepada rekan-rekannya: "Borgol orang tua ini." Setelah memborgol, po­lisi kurus menarik Pak Karno berdiri di sisi Tolib.  Polisi berku­mis berkata: "Kedua orang ini akan diangkut ke kota.  Akan di­hukum penjara atau ditembak mati." Kemudian menggerak­kan karabinnya yang sudah di­kokang: "Kamu semua!  Bawa anjing ini ke lapangan tenis sa­ya. Supaya dilihat oleh Nyonya Tuan Besar."
Tak ada yang menyahut atau bergerak. Polisi itu seperti men­jerit marah: "Kamu dengar se­mua!?  Orang kampung keras ke­pala ya!?  Akan saya panggil em­pat buah truk yang ada di sana.  Kamu lihat itu empat truk!?  Se­mua kamu akan saya angkut dengan truk.  Dibawa ke kota.  Se­mua akan dihukum!  Hayo.  Ba­wa anjing ini ke lapangan tenis sana!  "
"Baik Tuan," itu suara Pak Hamdan yang tua.  Lalu kepada kami, "Ayo kawan-kawan.  Kita bawa anjing ini ke sana.  Daripa­da kita sekampung ditimpa ben­cana."
Kerumunan bergerak seakan bubar. Beberapa orang meng­ajukan pendapat bagaimana membawa anjing itu.  Kemudian ada kesepakatan.  Pak Samadi­kun naik ke rumahnya.  Turun membawa sehelai karung goni yang masih agak baru.  Dasar karung itu dibelah dengan pi­sau.  Kemudian dua potong kayu sepergelangan tangan masing-­masing panjang tiga meter disu­rukkan ke dalam karung.  De­ngan melapisi tangan, anjing yang seperti akan mati itu dile­takkan di atas karung.  Kedua polisi menjaga dengan todongan karabin.
Empat orang pemuda me­manggul karung di mana anjing luka terbaring.  Tak ubahnya se­perti memanggul keranda jena­zah.  Sesuai perintah polisi, yang memanggul berjalan di depan.  Di belakangnya Tolib dan Pak Karno dengan tangan diborgol.  Koua polisi di belakangnya de­ngan menodongkan karabin.  Lebih kurang dua puluh lima orang kami mengiring di be­lakang polisi.  Percakapan bebe­rapa orang hanya bergumam.
Tiba di simpang tiga jalan raya, keempat pemuda yang me­manggul anjing berhenti me­langkah.  Rombongan juga ter­henti.  Di jalan raya perkebunan, dari arah lapangan tenis, sedan merah buka kap datang menuju simpang.  Suara bergumam tam­bah ramai.  Pada jarak dua puluh meter, kami lihat jelas, sedan itu dikemudikan oleh Si Noni.  Di sisinya duduk gadis bule seba­yanya.  Keduanya menggerak-­gerakkan tangan tanda mereka berbincang.
Sedan mendekat.  Pada jarak lima meter, keempat pemuda yang memanggul anjing mundur dua langkah, melapangkan ja­lan bagi sedan yang melambat.  Aku tak tahu apakah sedan itu melambat karena rombongan di tengah persimpangan jalan atau karena akan membelok agak mematah.  Kemudian mobil itu tambah lambat, membelok perlahan agak mematah ke sela­tan, sementara Si Noni terus berbincang sambil menggerak-­gerakkan tangannya, Tak ada yang menoleh pada rombongan yang hanya dua meter di sisi mo­bil.  Seakan-akan kami yang di tengah simpang jalan tak ada. Hanya anjing hitam milik Nyo­nya Tuan Besar yang duduk di jok belakang menunggakkan kedua kaki depannya, menoleh, memandangi kami, hingga sedan itu membelok dan melaju ke selatan.
Mendadak suara orang ramai" meneriakkan kata-kata yang sama: "Itu dia anjing Nyonya Tuan,­Besar Tuan Polisi!"
Polisi kurus agak bergegas menanggalkan borgol dari tangan Tolib.  Ketika polisi berkumis menanggalkan borgol dari tangan Pak Karno, air mukanya cemberut seraya bersungut-sungut: "Dasar orang kampung.  Semua tolol!  Semua goblok!  Bi­kin susah polisi."
Keduanya menyandangkan karabin di bahu, kemudian me­langkah lamban ke rumah jaga. Palembang, 15 Juli 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar