SELEMBAR diary tersibak,
sebaris puisi tertera...
Ayah,....
Tuliskanlah darahmu, di
atas kanvas putih jiwaku. Agar tak hanya kukenang selalu, tetapi mengalir juga
dalam derasan darahku....
Wanadri tertegun. Jelas
itu buku harian anaknya yang masih berusia delapan tahun. Apakah anak usia
sewindu bisa menulis seperti itu? Jangan-jangan ia hanya menjiplak bait puisi
yang ia temukan dalam koleksi buku yang ada di rak. Tetapi apa maksudnya?
Mengertikah ia?
Wanadri meletakkan sapu
yang sedang dipegangnya. Ia duduk, seolah bersiap memecahkan teka-teki sudoku
yang gampang-gampang sulit.
"Hidup seperti
mimpi," gumamnya kemudian tanpa mengerti pasti mengapa tiba-tiba kalimat
padat itu terlontar demikian. Mungkin, ya, hidup memang seperti mimpi. Sudah
setara umur anaknya ia menduda, semenjak Surati isterinya meninggal dalam kecelakaan
gantung diri. Waktu itu Surati ketakutan tak mampu menjawab kebutuhan ekonomi,
dan ketakutan akan hamil lagi. Wanadri merasa, kadang peristiwa dan persoalan
hidup memang sulit untuk dipahami, kendati sesuatu sungguh-sungguh terjadi.
Cerita seperti yang terjadi pada dirinya kadang-kadang lebih bisa dipercaya
jika dilihat sebagai film. Ia sendiri dulu juga pernah menyangkal, kenapa
kepahitan hidup bisa menimpa dirinya, tetapi selang ia merenung, ia sendiri
menganggap bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sombong. Seolah
menafikan dirinya sebagai manusia yang tak bakal bisa terjamah oleh peristiwa
pahit sepahit-pahitnya. Ia pun menghela napas dan tafakur sejenak memohon
ampunan atas kelancangan pertanyaannya itu kepada Tuhan.
Wanadri mengempaskan napasnya.
Masa itu sudah lama
sekali. Wanadri sudah tak ingin mengingatnya. Tetapi ada yang ia lupa. Lupa
mengingat rasa sakitnya. Itu mengherankan dirinya. Sudah lama ia tidak lagi
bisa merasakan apakah ia sedih ataukah gembira, apakah perlu menangis ataukah
tertawa. Seolah semua kelengkapan hidup, penderitaan, semua sudah lewat.
Anaknya semata wayang menggoreskan tekad, bahwa ia tidak boleh menghindar dari
tanggung jawab.
Wanadri menyadari
gerunjalan napasnya, dan kembali menunduk mencermati jilidan kertas tulis di
tangannya,....
Ayah,
Rekamlah kisahmu dalam
recorder otakku. Agar tak hanya terngiang selalu, tetapi mengebor dalam pilihan
sikap hidupku. Agar senantiasa cerita kepahlawanan sehari-hari menjadi milikku.
Menjadi kakiku.
Ia tulis ini semua
tentang kepahlawanan? Dari mana anak ini mampu menulis dengan bahasa dan
pemaknaan sedalam itu!? Wanadri tak ingin mengecilkan arti anak kecil, ia hanya
merasa takjub setakjub-takjubnya. Apakah ada kelainan spiritual pada anaknya
tersebut? Ataukah kecerdasan emosinya terlalu tinggi? Hmm,...kepahlawanan.
Itukah yang selama delapan tahun Wanadri lakukan kepada anaknya? Wanadri tak
yakin dirinya seheroik kata-kata itu. Sepenuhnya ia hanya merasa tanggung
jawab. Lumrah kalau ia melakukan hal-hal yang itu bisa mencukupi kebutuhan
jiwa-raga anaknya. Oleh teman-temannya, Wanadri dijuluki sang akrobater. Pemain
sirkus. Tentu, julukan itu bermakna canda, ledekan, sekaligus serius. Pagi hari
sebelum termenung di hadapan mesin tulis, ia memasak untuk sarapan anaknya,
kemudian mengantarnya ke sekolah. Siang pada saat ia istirahat, ia menjemput
anaknya. Jika tak satu pun teman anaknnya itu muncul, ia taruh anaknya di
antara tumpukan kertas, koran dan buku. Menggambar, mencoret-coret, menjadi
permainannya yang biasa. Kadang waktu menulis dan mengasuh anak bertubrukan tak
terelakkan. Wanadri sering memilih untuk menemani anaknya. Ada kalanya antara
perasaan dan tubuhnya ia rasakan seperti cerai-berai. Antara tubuhnya yang
lelah dengan kehendak ingin menemani anaknya guna mendapatkan dunia permainan
yang semestinya sesuai umurnya. Bahkan ia pernah punya suatu simpulan atas
peran orangtua kepada anaknya dan kemauan untuk menulis. Di tengah kepap
pikirannya ia sering menarik napas dalam, "Ini keperkasaan ataukah
kebodohan?" gumamnya. "Ataukah sesuatu yang biasa saja."
Apakah sikap bela
semacam itu yang diterjemahkan anaknya menjadi kata "pahlawan
sehari-hari?" Siapakah sesungguhnya anaknya itu?
Wanadri berdiri. Di
tangannya masih terpegang buku harian anaknya. Ia berjalan menuju kamar dan
mendapatkan anak itu tertidur pulas. Napasnya halus. Pelupuk matanya licin
seperti diolesi minyak. Bibirnya ranum memerah.
"Siapakah
kamu?" bisik Wanadri lembut, lebih kepada diri sendiri.
Ayah,
Ajarkanlah kesetiaan
kepadaku. Agar tak hanya jadi bualan, tetapi menjadi serat dalam dagingku.
Memang. Ada beberapa
peristiwa aneh tentang perilaku anaknya, yang membuat Wanadri tegang, cemas,
sekaligus takjub. Pertama, saat ia berumur tiga tahun. Pada saat itu Wanadri
sungguh-sungguh merasa naas. Tidak ada pekerjaan yang masuk hingga tabungannya
ludes untuk bertahan hidup. Wanadri sangat cemas dan mengutuk dirinya sendiri.
Menghakimi dirinya sebagai orangtua yang tidak becus. Bahkan untuk kebutuhan
pokok anaknya pun ia harus berhutang. Tetapi ia tidak mampu berkelit. Ia ingat
betul bagaimana ia memarahi anaknya karena anaknya tersebut tidak mau makan dan
minum susu yang uangnya ia dapat dari pinjam. Bahkan anaknya sampai menangis
ketakutan, meski tetap tak mau makan. Baru sehari kemudian anaknya itu mau makan
dan minum seperti biasa. Tetapi anehnya, sehari kemudian ia kembali mogok
makan. Wanadri sunguh-sungguh marah. Tetapi belum lagi tumpah emosinya, seorang
tua tetangganya yang kebetulan lewat nyeletuk, "Anak nggak mau makan itu
biasa. Kalau sehari makan sehari tidak, yaa....siapa tahu, mungkin dia sedang
nDaud?"
Wanadri tercengang. Anak
tiga tahun melakukan puasa Daud? Ia tidak ingin percaya, tetapi setelah anaknya
melakukan pola makan demikian, ia menyerah, meski ia sangat cemas, khawatir
kalau anaknya sakit. Setelah Wanadri mendapatkan pekerjaan, anaknya
menghentikan kebiasaan makan melompat hari tersebut.
Peristiwa kedua pada
saat Saketi, anaknya itu, berumur lima tahun. Oleh karena centang-perentang
keinginannya untuk menemani anaknya dan kemampuan fisik dan psikisnya terbatas,
Wanadri mengalami stres. Ia jadi sering marah dan membentak. Ia tahu itu tidak
baik, tetapi ia tak mampu mengendalikan. Jika pada saat demikian datang, Saketi
hanya terdiam. Hal yang ia lakukan kemudian adalah mengambil sapu kemudian
menyapu lantai, atau mencuci piring dan gelas yang masih teronggok di jerambah
sumur. Wanadri mau nangis menghadapi ketidakmampuannya. Wanadri merasa bahwa ia
harus membebaskan diri dari himpitan itu. Ia pun mengajak anaknya untuk
berenang di telaga Perwitasari -sebuah telaga berdebit raksasa dengan ukuran
melingkar dua kali lapangan sepak bola, dengan kedalaman tak seorang pun tahu
pasti.
Pada saat itu, Saketi
justru tidak mau berenang. Ini sesuatu yang aneh, mengingat Saketi sangat suka
bermain air. Jadilah Wanadri berenang sendirian, melepaskan penat pikiran
dengan air. Berenang kian kemari, menyelam, melompat, seakan Wanadri lupa diri.
Anaknya hanya menunggui di pinggir telaga sambil terus memandang bapaknya.
Peristiwa tak dapat ditebak. Pada saat Wanadri berada di tengah telaga,
perutnya terasa mengejang. Ia mencoba melawan, tetapi kejang di perut serasa
mencengkeram seluruh kemampuannya berenang. Berkecipak tangan Wanadri bergerak
serabutan. Ia kemudian tak ingat apa pun. Dan ketika terbangun banyak orang
merubungnya. Anaknya menangis laiknya anak kecil kehilangan orangtua. Yang
mengagetkan Wanadri kemudian adalah ungkapan orang-orang yang merubungnya,
"Siapakah anak
bapak itu?"
Apa maksudnya? Wanadri
tak dapat menjawab, karena tak mengerti maksud pertanyaan itu.
"Siapakah anak
kecil itu?" tandas mereka lagi.
"Ya anak
saya...kenapa?"
"Bukan. Anak bapak
tadi berlari di atas air dan menyeret bapak, seperti ia sedang menyeret sesuatu
di daratan."
Wanadri tidak mengerti.
Ia memandang anaknya yang masih mewek dengan air mata berderai.
"Kamu tadi yang
menyelamatkan bapak dari tenggelam?"
"Yaa...," ujar
dia sambil merengek.
"Bagaimana?"
"Berenang..."
"Tidak! Dia tadi
berlari! Sumpah demi Tuhan! Anak kecil itu tadi berlari di atas air!"
Serentak orang-orang itu
bicara hal yang sama, nyaris keras seperti bantahan. Saketi semakin ketakutan
dan merangkul bapaknya. Wanadri segera memeluk anaknya dan mengakhiri
kemustahilan ini; pulang.
Benak Wanadri terus
digumuli ketakjuban. Siapakah kamu, anakku? gumamnya dalam hati sambil
memandangi wajah anaknya yang pulas tertidur. Tetapi perenungannya tidak
tuntas. Sedari tadi ia terganggu oleh suara pertengkaran tetangga sebelah. Di
pelataran, Wanadri melihat isteri Sokran si tukang becak, sedang mengusir
suaminya,
"Macam bayi saja
kamu! Uang sekolah anakmu kamu makan! Kemarin kamu curi gajiku, sekarang
berani-beraninya kamu mau jual televisi hanya untuk berjudi!"
"Judi itu
menganakkan uang. Nanti kalau menang juga untuk siapa!?" bantah Sokran.
"Kapan kamu menjadi
pemenang!! Selamanya bayi ya tetap bayi! Minggat kamuu!"
Sementara mak dan
bapaknya terlibat dalam baratayudha itu, Kopet, anak lelaki satu-satunya
pasangan sangar itu terdiam sambil tangannya terus melap sepedanya. Drama pun
selesai. Wanadri masuk.
Rasa takjub kepada
anaknya mengalahkan peristiwa rumah tangga Sokran. Tiba-tiba terlintas
kecemasan dalam diri Wanadri bahwa dia kelak tidak akan mampu menghadapi
anaknya. Karena tiba-tiba saja ia merasa menjadi orang asing kepada anaknya.
"Adakah antara anak dan orangtua itu sesungguhnya asing?" batin
Wanadri. Adakah orangtua-anak yang sungguh-sungguh bisa memahami siapa mereka
sesungguhnya, dan hubungan macam apa yang sesungguhnya berlangsung? Jika
ketidaktahuan muncul, tidakkah sebaiknya sesama manusia saling menghormati,
supaya tidak membuat kesalahan.
Wanadri meraih tangan
anaknya di tengah lelap tidurnya. Ia cium punggung tangan anaknya, seperti ia
mencium tangan kiai. Hatinya bergumam, "Kamu anakku, kamu bukan anakku.
Mungkin saja kita ini kawan yang dijodohkan. Shubanallah.... ***
Omahkebon, Juli 2007.
http://detik206.blogspot.com/2017/05/domino206.html
BalasHapushttp://marimenujudomino206.blogspot.com/2017/05/website-tepercaya-domino206-mari-join.html
http://beritadomino2o6.blogspot.com/2017/05/pengakuan-ra-reni-anggreini-sering.html
http://jutawandomino206.blogspot.com/2017/05/pria-ini-buat-grup-lendir-siap-sediakan.html