IMPLIKATUR PERCAKAPAN
Oleh I Putu Mas Dewantara
2.1.1 Hakikat Implikatur
Menurut
Levinson (Sumarsono, 2010:109), implikatur percakapan merupakan gagasan yang
teramat penting dalam pragmatik. Ihwal implikatur percakapan diajukan oleh H.
Paul Grice, yang dianggap sebagai pencetus teori implikatur, dalam ceramah
William James di Universitas Harvard pada tahun 1967. Sebenarnya tahun 1957
filosof Grice ini pernah membedakan antara apa yang disebut makna alami
(natural meaning), seperti pada kalimat “Awan gelap berarti hujan” dan makna
nonalami (non-natural meaning) atau makna-nn (meaning nn)
(Louise Cummings, 2007:13). Grice mengemukakan karakteristik makna-nn sebagai
berikut.
S
mengemukakan makna-nn z dengan mengujarkan U jika dan hanya jika:
(i) S bermaksud U untuk memberikan efek z terhadap resipien H
(ii) S bermaksud (i) untuk hanya dicapai oleh H yang menyadari maksud (i) itu.
Di sini S (Speaker)
= penutur (dalam komunikasi lisan sebagai pengirim pesan atau komunikator); H (hearer)
= pendengar, atau tepatnya, resipien yang menjadi penerima maksud; “mengujarkan
U (utterance)” = ujaran suatu bentuk dalam butir kebahasaan, yaitu suatu
bagian kalimat, kalimat, atau urutan kalimat atau urutan bagian-bagian kalimat
(atau produksi dari tindak komunikatif yang nonkebahasaan); z = suatu
kepercayaan atau kehendak yang ditujukan bagi H. Rumusan yang tampak rumit dan
kabur ini sebenarnya menyatakan bahwa komunikasi itu terdiri atas pengirim (pesan)
(sender) yang bermaksud agar penerima (pesan) (receiver)
berpikir atau melakukan sesuatu, sekadar dengan meminta penerima pesan itu
menyadari bahwa pengirim pesan sedang mencoba untuk menunjukkan pikiran atau
tindakan. Jadi, komunikasi itu merupakan jenis-maksud yang kompleks yang
dicapai dengan cara menyadari adanya. Dalam proses komunikasi, maksud
komunikatif si pengirim pesan menjadi pengetahuan bersama (mutual knowledge)
bagi pengirim S dan penerima H, yaitu S tahu bahwa H tahu bahwa S tahu bahwa H
tahu (dst) bahwa S mempunyai maksud tertentu. Jika konsep makna-nn ini
kita pahami, maka kita akan dapat melangkah ke pemahaman tentang implikatur.
Kata
implikatur berhubungan dengan kata implikasi ‘yang terkandung’. Dalam hal ini
implikatur percakapan berarti ‘makna yang terkandung’ (Sumarsono, 2010:65).
Sebuah ujaran dapat mengimplikasikan pernyataan (proposisi) yang bukan
merupakan bagian dari ujaran itu. Misalnya,
(1) A
: “Ayo nonton!”
B : “Besok saya ujian.”
Jawaban (B) tersebut tidak berkaitan dengan (A): (A) berbicara tentang nonton
tetapi (B) bicara ujian. Tetapi, ujaran (A) itu merupakan ajakan, dan jawaban
terhadap ajakan itu biasanya berupa penerimaan atau penolakan. Jawaban (B) itu
bisa kita pahami sebagai penolakan halus terhadap ajakan (A). Hal itulah yang
disebut implikatur percakapan.
Senada
dengan pendapat Sumarsono, Grice (dalam Wijana, 1996:37) dalam artikelnya yang
berjudul Logic and Conversasion mengemukkan bahwa sebuah tuturan dapat
mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan
bersangkutan. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut implikatur (implicature).
Grice memberikan contoh berikut.
(2) A :
“Ali sekarang memelihara kucing.”
B : “Hati-hati
menyimpan daging.”
(3) A
: “Ani di mana, Ton?”
B : “Tati di rumah Wawan.”
Tuturan (B) dalam (2) bukan bagian dari tuturan (A). Tutran (B) muncul sebagai
akibat inferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan tentang kucing
dengan segala sifatnya. Adapun salah satu sifatnya adalah senang makan daging.
Demikian pula tuturan (B) pada percakapan (3) bukan merupakan bagian dari
tuturan (A). Tuturan (B) muncul sebagai akibat adanya inferensi yang didasari
oleh latar belakang pengetahuan tentang Ani. Ani adalah teman akrab Tati. Kalau
Tati ada di sana, tentu Ani ada pula di sana.
Dengan tidak adanya keterkaitan semantis antara suatu tuturan dengan yang
diimplikasikan, maka dapat diperkirakan bahwa sebuah tuturan akan memungkinkan
menimbulkan implikatur yang tidak terbatas jumlamnya. Dalam contoh (4), (5),
dan (6) berikut ini terlihat bahwa tuturan (A) Bambang datang
memunculkan reaksi yang bermacam-macam.
(4) A :
“Bambang datang.”
B : “Rokoknya disembunyikan.”
(5) A
: “Bambang datang.”
B : “Aku akan pergi dulu.”
(6) A
: “Bambang datang.”
B : “Kamarnya dibersihkan.”
Jawaban (B) dalam (4) mungkin
mengimplikasikan bahwa Bambang adalah perokok, tetapi ia tidak pernah membeli
rokok. Jawaban (B) dalam (5) mungkin mengimplikasikan bahwa (B) tidak
senang dengan Bambang. Akhirnya jawaban (B) dalam (6) mengimplikasikan bahwa
Bambang mungkin adalah seorang yang tidak senang melihat sesuatu yang
kotor. Penggunaan kata mungkin dalam menafsirkan implikatur yang
ditimbulkan oleh sebuah tuturan tidak terhindarkan sifatnya sehubungan dengan
banyaknya kemungkinan atau implikasi yang melandasi kontribusi (B) dalam (4),
(5), dan (6).
Berbeda halnya dengan implikatur,
seperti tercermin dalam tuturan (B) dan (A) dalam (1), (2), (3), (4), (5) dan
(6), pertalian (A) dan (B) dalam (7) bersifat multak. Hubungan (A) dan (B)
dalam hal ini disebut entailment.
(7) A
: “Ali membunuh Jonny.”
B
: “Jonny mati.”
Tuturan (B) dalam (7) merupakan bagian atau komponen dari konsekuensi multak
dari tuturan (A) karena membunuh secara mutlak mengakibatkan mati.
Selain entailment dikenal juga istilah praanggapan atau prasuposisi (presupposition).
Praanggapan ialah sesuatu yang diasumsikan atau diperkirakan oleh penutur atau
penulis bahwa sesuatu itu sudah diketahui oleh petutur atau pembaca. Sumarsono
(2010:64) memberikan contoh mengenai praanggapan sebagai berikut. Kalau A
berujar kepada B, “Dagangannya laris.”, maka A mengasumsikan
(memperkirakan) B sudah tahu bahwa “dia adalah pedagang”. Karena
asumsinya petutur sudah mengetahui, maka praanggapan itu tidak diujarkan
meskipun merupakan bagian dari “makna ujaran”.
2.1.2 Ciri-ciri Implikatur
Apabila
diperhatikan, implikatur percakapan memiliki ciri-ciri spesifik, yang
membedakan dengan fenomena pragmatik lainnya. Menurut Cruse (dalam Daimun,
2008) ada empat kriteria khusus yang merupakan ciri implikatur percakapan (IP),
yaitu : (1) bergantung konteks,(2) dapat dibatalkan,(3) tidak dapat dilepaskan,
dan (4) dapat diperhitungkan.
1) Bergantung konteks
Ada perbedaan antara implikatur konvensional, libatan
(entailment), dan IP. Dilihat dari keberadaan makna, baik pada
implikatur konvensional, libatan, atau pun IP pada dasarnya sama-sama memiliki
makna bawaan, tetapi, yang berbeda terletak pada (a) makna pada IP sangat
ditentukan/bergantung pada konteks, (b) makna pada implikatur konvensional
ditentukan oleh konvensi, dan (c) makna pada entailment ditentukan oleh
proposisi.
2) Dapat Dibatalkan
Makna tuturan berimplikatur percakapan dapat
dibatalkan dengan kehadiran materi tambahan. Proses pembatalan dan materi
tambahan dapat diamati pada contoh tuturan (8) berikut ini.
(8) A : “Pak,
apakah Pak SBY jadi memberi bantuan gempa bumi di Bengkulu, waktu kunjungannya
di Kabupaten Muko-muko kemarin?
B : “(1) Beliau masih meminta laporan yang lebih kongkret.”
“(2) Oh ya, sebagian bantuan telah diberikan Pak SBY secara langsung.”
Seumpamanya (A) adalah wartawan dan
(B) adalah Gubernur Bengkulu, maka jawaban B (1) mengandung implikatur, bahwa
Pak SBY belum memberikan bantuan gempa bumi di Bengkulu, karena masih menunggu
laporan yang lebih kongkret, sedangkan pada B (2) menghapus implikatur
tersebut.
3) Tidak dapat Dilepaskan
Pada
kriteria yang ketiga ini dinyatakan bahwa substansi proposisi yang sama pada
konteks yang sama memunculkan IP yang sama. Dalam suatu bentuk yang
diekspresikan, implikatur percakapan diikat pada makna dan tidak pada bentuk.
Cruse (dalam Daimun, 2008) memberi contoh sebagai berikut.
(9) John tidak berjalan sampai ke
pelang jalan.
(10) John mencoba berjalan sampai ke pelang
jalan.
(11)
John berjalan sampai ke pelang jalan.
Tuturan (9)
mengimplikasikan (10), tetapi tuturan (11) dan tidak mengimplikasikan (10). Ini
berarti, tuturan (10) hadir karena ada (9) yang keberadaannya tidak dapat
dilepaskan.
4) Dapat Diperhitungkan
Implikatur
percakapan dapat diperhitungkan dengan menggunakan prinsip-prinsip umum
berbasis pada makna konvensional dan informasi kontekstual (Cruse dalam Daimun,
2008). Makna konvensional dapat diabaikan oleh penutur, ketika memaknai tuturan
dengan konteksnya, tetapi ia dapat memaknainya. Misalnya, ada dua orang yang
secara manasuka sutuju bahwa jika sewaktu-waktu salah satu diantara mereka
mengatakan X, mereka akan memaknai Y. contohnya antara dua orang mahasiswa yang
tidak dalam satu kost bahwa manakala salah seorang mengatakan “Mas, ada
teman wanitanya”. atau “Mas, ada tamu”. Sementara si-Mas menyadari bahwa dia
tidak memakai baju. Respons atas tuturan khusus itu bersifat bebas.
Karena itu, jawaban tuturan tersebut bisa bersifat serius, sebagaimana tampak
dalam respons B dalam (12), dan bisa dijawab dengan bercanda, seperti pada
respons B dalam (13) berikut ini
(12) A : “Mas, ada ceweknya, disuruh masuk nggak?”
B : “Terima
kasih, saya pakai baju dulu.”
(13) A: “Mas, ada ceweknya, disuruh masuk nggak?”
B: “Suruh tunggu sebentar, katakana padanya ‘Mas baru pulang dari angkasa
luar.”
2.2
Jenis-jenis Implikatur
Grice
membedakan implikatur menjadi dua macam, yakni implikatur konvensional dan
implikatur nonkonvensional (konversasional). Implikatur konvensional mengacu
pada implikasi makna langsung, dan implikatur konversasional mengacu pada
implikasi makna tidak langsung. Implikasi konvensional lebih mudah menarik
simpulan makna yang terkandung dalam tuturan, sedangkan dalam implikatur
konversasional harus melibatkan fenomena lain, seperti prinsip kerjasama dan
konteks tuturan yang melatari.
Penggunaan
istilah implikatur konversasional berkembang dengan pemakaian istilah
implikatur percakapan, dan juga silih berganti dengan istilah implikatur
nonkonvensional. Makna yang terdapat pada implikatur percekapan merupakan suatu
yang disarankan oleh Penutur. Makna yang disarankan penutur berbeda dari apa
yang dimaksud secara harfiah. Bahkan Grice menyatakan bahwa implikatur
percakapan diartikan sebagai makna tidak langsung yang ditimbulkan oleh apa
yang dituturkan oleh Penutur. Suparno (Daimun, 2008) menyatakan bahwa
implikatur dan termasuk implikatur percakapan adalah informasi implisit yang
dapat ditentukan berdasarkan suatu tuturan. Kenyataan tersebut mengisyaratkan
bahwa dalam berkomunikasi antara penutur dengan mintra tutur sangat
memungkinkan adanya wujud tuturan yang disampaikan berbeda dengan sesungguhnya.
Antara
implikatur konvensional dan implikatur percakapan terdapat perbedaan dalam
pemaknaanya. Agar lebih jelas perbedaan dalam pemaknaannya implikatur
kenvensional dengan Implikatur percakapan, dapat memperhatikan contoh berikut
ini.
(14)
Bu Guru : “Halizat, barangkali baknya sudah penuh?”
Halizah : “Ya, Bu. Sebentar saya matikan.”
(15) Halizah : “Bu, masih ada orang.”
Bu guru : “Ya, nanti saja!”
Tuturan (14) “Halizah, barangkali baknya sudah penuh?” Walaupun tuturan (14)
bermodus introgatif, namun sesuai dengan konteksnya, Bu guru secara tidak
langsung menyuruh Halizah menutup keran, yang diduga baknya sudah penuh.
Tuturan (15) “Bu, masih ada orang.” Berimplikasi bahwa keran belum dapat
ditutup karena masih ada orang si dalam kamar mandi. Kedua contoh tersebut
mengandung implikasi makna tidak langsung (IP). Sementara itu, jawaban Halizah
pada (14) “ya, bu. Sebentar saya matikan.”, dan jawaban Bu guru pada (15) “Ya,
nanti saja!” berimplikasi makna langsung. Tuturan Halizah pada (14) sebagai
jawaban tuturan Bu guru pada (14). Pada tuturan itu Halizah berjanji untuk
menutup keran air bak, yang diperkirakan baknya telah penuh. Tuturan Bu guru
pada (15) “Ya, nanti saja!” juga sebagai tuturan yang bermakna langsung (konvensional),
karena Bu guru memerintahkan Halizah menutup keran, setelah orang keluar dari
kamar mandi.
Selain itu, Grice juga mengembangkan teori hubungan antara ekspresi, makna,
makna tutur, dan implikasi dari suatu tuturan. Dalam teorinya Grice membedakan
ada tiga macam implikatur, yakni implikatur konvensional, implikatur
nonkonvensional, dan praanggapan. Selain itu, Grice juga membedakan dengan
implikatur percakapan umum dan implikatur percakapan khusus. Sejalan dengan itu
Yule (2006) membedakan implikatur menjadi implikatur percakapan umum,
implikatur berskala, dan implikatur percakapan khusus.
2.3 Kegunaan
Teori Implikatur
Menurut Levinson (Dalam Daimun,
2008), konsep impllikatur memiliki empat kegunaan. Pertama,
implikatur mampu memberi penjelasan fungsional yang bermakna atas fakta-fakta
kebahasaan yang tidak terjelaskan yang kemudian dimasukkan ke dalam
“keranjang-keranjang sampah pengecualian” oleh teori-teori gramatikal formal. Kedua,
implikatur mampu memberikan penjelasan mengapa suatu tuturan, misalnya dalam
bentuk pertanyaan tetapi bermakna perintah. Ketiga, implikatur dapat
menyederhanakan deskripsi semantik perbedaan antarklausa. Keempat,
implikatur dapat menjelaskan berbagai fenomena kebahasaan yang tampak tidak
berkaitan atau bahkan berlawanan, tetapi ternyata mempunyai hubungan yang
komunikatif.
Senada dengan pendapat Levinson,
Sumarsono (2010) berpendapat bahwa setidaknya ada empat kegunaan teori
implikatur. Pertama, implikatur merupakan contoh betapa alamiah dan kekuatan
penjelasan pemaknaan pragmatik atas gejala kebahasaan yang ada. Dalam hal itu
kita melihat adanya inferensi, simpulan di luar bentuk lingual yang diujarkan,
yang berada di luar tatanan bahasa. Karena itu, konsep implikatur menawarkan beberapa
eksplanasi fungsional tentang fakta-fakta kebahasaan.
Sumbangan penting kedua dari
pengertian implikatur ialah konsep ini memberikan penjelasan yang eksplisit
mengenai bagaimana kemungkinannya memaknai lebih dari sekadar “apa yang
sebenarnya diucapkan”, yaitu lebih dari sekadar apa yang diungkapkan secara
harafiah. Maksudnya, implikatur percakapan itu, tidak sebagaimana ilmu semantik
yang berbicara tentang syarat kebenaran (truth condition).
Contoh yang dapat diberikan adalah
percakapan berikut.
(16) A : “Jam berapa sekarang?”
B :
“Baru saja azan magrib.”
Jika kita
mengikuti teori semantik, maka kalimat-kalimat dalam percakan pendek di atas
itu setidak-tidaknya dapat diparafrasekan sebagai berikut.
(17) A : “Dapatkah Anda menjelaskan kepada saya
tentang waktu saat ini?”
B : “Azan magrib itu terjadi sebelum saat Anda berbicara.”
Jelas, bagi
penutur asli. Bahwa apa yang hendak dikomunikasikan dalam percakapan tadi juga
mencakup lebih banyak informasi lagi, seperti kata-kata yang bercetak miring
pada percakapan (18). (Namun, dalam penggunaan bahasa sehari-hari tidak ada
orang yang berbicara seperti [17] itu, apalagi [18].)
(18) A : “Dapatkah Anda menjelaskan kepada saya tentang
waktu saat ini, sebagaiman yang ditunjukkan oleh jarum-jarum jam yang
menunjukkan waktu sebenarnya?”
B : “Tidak, tidak bisa, saya tidak tahu jam berapa tepatnya saat ini,
tetapi saya dapat memberikan informasi dan dari informasi itu Anda dapat
memperkirakan jam berapa sekarang, yaitu informasi tentang baru saja azas.”
Ketiga,
konsep implikatur tampak berpengruh terhadap penyederhanaan baik pada struktur
maupun isi deskripsi makna. Bandingkan ujaran berikut.
(19) Seorang perawat membersihkan luka dan
membalut luka itu dengan perban.
(20) Surabaya ibukota Jawa
Timur dan Denpasar ibukota Bali.
(21) Seorang perawat membalut luka itu dengan perban
dan membersihkan luka itu.
(22) Denpasar ibukota Bali dan
Surabaya ibukota Jawa Timur.
Makna kata dan
pada (19) dan (20) agak berbeda; pada (19) kata dan berarti ‘dan
kemudian’ dan karena itu pembalikannya menjadi aneh (21). Tetapi pada (20)
kata dan betul-betul bermakna menggabungkan dua peristiwa yang tidak
bertuturan, sehingga pembalikan menjadi (22) sama sekali tidak berpengaruh
terhadap makna semula. Dalam hal ini, teori semantik biasanya mempunyai satu
dari dua pilihan analisis: (i) kata dan mempunyai dua makna, sehingga
ambigu, atau (ii) makna kata-kata pendukung kalimat secara umum memang kabur
dan dipengaruhi oleh lingkungan kolokasi (urutan). Maksudnya, pada (19)
semantik tidak mampu melihat adanya penyederhanaan struktur, dengan mengurangi
jumlah informasi atau penggunaan banyak kata, dan penyederhanaan makna, dengan
hanya menggunakan dan saja dan penutur dan petutur saling
memahami.
Keempat,
implikatur, atau konsep lain yang serupa, tampak esensial jika berbagai fakta
dasar tentang bahasa diperhitungkan tersendiri. Dalam teori makna, partikel
dalam bahasa inngris seperti well, anyway, by the way memerlukan
penghususan makna; tetapi jika tuntutan itu kita penuhi, yang ditemukan adalah
mekanisme pragmatik yang menghasilkan implikatur. Kata well, anyway, by the
way tentunya tidak mempunyai makna leksikal. Hal ini seperti halnya dengan
kata-kata huss, ssstt, ccckk tidaklah mempunyai makna leksikal, tetapi
makna pragmatiknya pasti ada. Misalnya,
(23) Anak : “Ma, Ma, kepala kakek kok botak ya
Ma?”
Ibu : “Huss!”
‘kata’ (atau
bentuk lingual) huss dalam ujaran itu berfungsi memperingatkan, atau
dapat dikatakan mempunyai implikatur ‘melarang’. Alih-alih si ibu berujar,
“Jangan berkata begitu terhadap kakek, itu tidak sopan!”, dia cukup berujar “Huss!”.
Sumber: http://pembelajaran-mas-dewantara.blogspot.co.id/2012/04/implikatur-percakapan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar