Rabu, 20 Mei 2015

CERPEN ABE SMITT



Abe Smitt
Cerpen Kuntowijoyo
Kompas Minggu, 22 Maret 1998 hlm.13

Di  New York saya punya kebiasaan yang sama dengan waktu masih tinggal di kota kecil Karanganyar, Surakarta, yaitu dududuk duduk di depan rumah pada sore hari. Di karanganyar ada kursi semen di depan rumah di pinggir jalan sehingga kita bisa duduk mengobrol ngalor-ngidul dengan keluarga, sambil menonton orang lewat.  Demikian juga di apartemen saya, ada anak tang­ga dari beton bagus, enak untuk duduk-duduk.  Temyata, saya ti­dak sendirian.  Di apartemen lain ada juga orang duduk-duduk seperti saya.  Barangkali mereka dari Puerto Rico, atau Jamaica, atau Haiti.  Mereka pasti dulunya orang udik seperti saya.
Kebiasaan saya itulah yang membuat saya berkenalan de­ngan Abraham Smitt.  Laki-laki yang necis dan selalu berdasi.  Dia sedang antre telepon di ko­tak depan apartemen.  Dan saya seperti biasa sedang duduk­duduk di depan dengan anak la­ki-laki saya.  Dia urung menele­pon, lalu mendekati kami.
"Sepertinya aku kenal dengan bahasamu," katanya.
"Apa kau pemah ke Indone­sia?'
"Ya, ya.'Uapi tacti kzatian tidak omong bahasa."
"Kalau begitu pemah ke Ja­wa?"
"Persis!
Saya mengulurkan tangan, menyebut nama.
"Smitt.  Abe Smitt.  Es-em-ai-­ti-ti.”
Kemudian dia bercerita bah­wa pernah tinggal di Sosromen­duran, Yogyakarta, selama sebu­Ian.  Kampung itu punya banyak penginapan kelas melati.  Dari uang tabungan setahun ia dapat tinggal di Jawa bersama pacar begitu lama. la bercerita tentang pantai Parangtritis, candi Pram­banan, candi Boko, candi Boro­budur.  Tabu bedanya sate de­ngan soto, bakmi dengan bakso.  Lalu ia berbisik-bisik ia juga tabu erotisme Jawa.
"Kukira akulah yang paling tahu tentang Jawa.  Tahu-tahu orang Amerika lebih banyak ta­hu dari aku," kata saya memuji.
"Ya, natuurlijk!"
"Lho!  Kau bisa bahasa Belan­da, ya.  "
"Wah, itu ceritanya panjang. Good bye."
"Daag, daag."
Dia menoleh, tertawa, lalu pergi.  Umpama sepak bola begi­tu, kedudukan satu-satu. la per­nah di Yogya, saya sedikit-sedi­kit bisa Bahasa Belanda.

KEESOKAN harinya dia datang dan ikut duduk di tangga. la memberi coke­lat untuk anak saya.  Anak saya menolaknya.
Kata saya dalam Bahasa Jawa, "Terimalah, tidak apa." Anak saya lalu meneiima cokelat, me­masukkan ke saku celana.
Saya menerangkan.
"Ia kami larang menerima pemberian dari orang asing.  Ini New York."
"Itu kebijaksanaan yang ba­gus.”
Setelah bercerita ke sana ke mari, katanya, "Nenek-moyangku termasuk orang pertama di New York.  Merekalah yang menerima Manhattan dari orang Indian.  Tetapi aku lahir di ghet­to Yahudi di Bronx. lbuku me­mang dari keluarga Belanda, ta­pi ayahku Yahudi.  "
" Orang Belanda itu hebat.  Su­dab punya New York, masih menjajah Indonesia," gumam saya dalam bahasa Indonesia.
"Apa?"
"Oh, tidak.  Lanjutkan."
"Dulu kakekku mendapat ta­warari untuk kerja di Jawa.  Ad­ministratur sebuah perkebunan gula.  Di sini."
Ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya.  Sebuah peta.
"Kau penyimpan dokumen yang baik, " kata saya.
"Di sini, tempat yang ada tan­danya itu."
Saya mengamatinya.
"Tempat itu nananya Kla­ten," kata saya.
"Tepatnya Gondangwinangun."
Saya terkejut.
"Lho!"
"Itulah sebabnya aku meniilih Yogya.  Peta inilah satu-satunya barang kakek yang disimpan ibuku."
"Ibumu pasti seorang pemim­pi. "
"Kok tahu?"
"Biasanya begitu.  Penyimpan dokumen adalah pemimpi."
"Kau benar.  Ibuku suka bi­lang, andaikata ayahnya jadi kerja di Jawa nasibnya akan la­in. Setiap ada kesempatan pasti bilang 'Jawa'.  Juga dia menye­butkan 'gula' dengan maksud tertentu.  Dulu anak-anak suka meledeknya sebagai orang yang gagal lahir di Jawa.  "
"Lahir, mati, jodoh, rezeki itu yang menentukan Tuhan.  "
"Kalau dia ada.  Mari kulan­jutkan ceritaku.  Ibuku memang selalu menyesali hidupnya.  Sua­minya miskin, mati ketika aku masih kecil."
"Jangan bilang 'suaminya' ibuku, tapi ayahku.  Hormatilah orangtuamu.  "
"Kau Confucian?"
“Tidak, kami Muslim."
"Oh, begitu.  Ibuku bilang, ka­lau kakek jadi ke Jawa, ia pasti jadi orang terhormat, dan laki­laki yang melamarnya pasti orang kaya, bukan pemuda mis­kin yang hanya sanggup mem­berinya penderitaan.  Marhum ayahku suka memukul ibuku, syukurlah dia cepat meninggal.  "
"I am sorry."
"Jangan bilang sorry.  Ibuku sangat senang dengan kemati­annya.  Kematiannya berarti ke­bebasan ibuku."
"Omong-omong, jadi kenapa kakekmu tidak jadi ke Jawa?"
"Waktu itu pecah Perang Dunia Pertama.
"Isee."
Dia menutup peta, memasukkannya ke tas attache, berdiri, dan beranjak pergi.
SAYA sengaja menunggu Mr Smitt, tapi beberapa hail dia tidak lewat depan apar­temen.  Saya ingin bertanya kepa­danya bagaimana r-eaksi ibunya setelah mendengar cehta bahwa ada orang Jawa di New York.  Sa­ya begitu penasaran, ingin tabu lebih banyak.  Mr Smitt tiba-tiba saja nyelonong masuk dalam hi­dup saya.  Ketika akhirnya dia le­wat, sengaja saya panggil dia.
"Kau pasti bercerita kepada ibumu pelihal aku, ya."
"Apa?  Tentu saja aku tidak bercerita bahwa ketemu kau.  Gila apa!  Juga bahwa aku ting­gal di kotamu selama sebulan.  Aku membohongi Ibu, kukata­kan bahwa aku pergi ke Thai­land.  Aku akan jujur padanya di ranjang kematiahnya.  Tapi ti­dak sekarang.Tidak kepada Ibu, ­tidak kepada kakakku pe­rempuan tempat ibu tinggal se­lama aku pergi."
"Ibumu tinggal bersama kau?"
"Iyalah.  Aku adalah anak bungsunya."
"Engkau anak yang baik."
"Tentu.”
"Mengapa ibumu tidak kau kirim saja ke nursing home?"
"Pernah.  Tapi ibuku tidak kerasan.  Katanya ia ingin mati di tengah anak-anaknya.  'ndak di tengah orang asing yang her­nama perawat bayaran.  "
"Tentu lebih balk begitu.  Ka­pan lagi kita berbakti, kalau ti­dak pada waktu orangtua kita tua."
"Begitulah adatnmur."
"Kau dan istrimu akan dapat pahala di akhirat.
"Istri?"
Dia berceiita bahwa pacamya tak mau menikah dengannya, kecuali bila ibunya tidak tinggal bersama dia.  Itu akan meng­ganggu privacy.  Dan dia memi­lih ibu yang membesarkannya.  Toh tidak usah kawin pun dia juga mendapat segalanya.  "Ke­cuali anak," katanya.  Andaikata dia kawin pastilah anaknya su­dab sebesar anakku.  Dengan ka­win akan banyak dukanya dari­pada sukanya.
"Jangan berpikir begitu.
"Itu kenyataan.  Buktinya ibu­ku. Apa yang dia dapat daii per­kawinan kecuali penderitaan?"
"Pikiranmu akan berubah be­gitu ada kesempatan.  "
"Kuharap demikian."
SORE hari apartemen kami dibel orang.  Saya tanya siapa yang datang lewat airphone.
" Smitt.
Saya turun untuk menemui­nya. la datang untuk memberi­tahukan bahwa ibunya mening­gal. la sempat membuat peng­akuan bahwa selama sebulan ia tinggal di Jawa, sempat melihat pabrik gula Gondanglegi. la ju­ga mengatakan kepada ibunya bahwa dia kenal dengan orang Jawa.  Katanya, ibunya terse­nyum seper-ti melihat ke tempat jauh.  Yang penting, katanya, ibunya berpesan bahwa di sana dia akan bergembira bila ada orang Jawa melihat jenazahnya.
Walhasil pergilah saya ke fu­neral home yang ditunjukkan Abraham.  Di rumah jenazah sa­ya bilang kepada Abraham, "lbumu Kristen, to?"
"Ya, kami Calvinis."
"Kalau begitu ibumu dima­kamkan di mana?  Di kuburan Yahudi dekat ayahmu?"
"Ibu berpesan jangan sekali­kali ia dikuburkan dekat suami­nya.  "
"Bilang'ayah"'.
"A-y-a-h."
"Thank you, Abe," kata saya sambil pamitan.
"Thanks for coming."
KETIKA dia lewat depan rumah, melihat saya, dia berhenti.
"Aku tidak mengerti harus bagaimana," katanya.  "Sedih atau senang.  "
"Ya, sedihlah dulu.  Lalu se­nang," tabu bahwa maksudnya soal perkawinan.  "Lihat, pikir­anmu tentang perkawinan su­dab berubah."
"Kau benar.
"Pakai pesta?  Undang saya.
"Pasti, pasti.  Itu hanya pesta kecil di antara teman-teman.Rencanaku hanya akan minum-­minum sampai mabuk.Selama ini ibuku melarang minum dan pacaran. "
"Kau taati soal minum, tapi tidak yang satunya."
"Apa boleh buat, itu alamiah.  Ibuku sangat konservatif.  Terla­lu banyak larangan.  Merokok, TV berwarna, duduk santai.  Se­luruh hari adalah kerja.  Kata­nya merokok itu membakar uang, TV berwama itu setan, santai itu berdosa.  "
Dia bercerita dengan berse­mangat bahwa temboknya akan dicat, lantainya akan diberi kar­pet, membeli TV berwarna, berlangganan cable TV Setiap malam nonton blue film.  Se­nang-senang dengan istrinya.
SEPERTI biasanya saya duduk di depan.  Kemudian datang Abe.  Tapi kali ini pakaiannya avtut-avrutan, tidak berdasi.  Di tangannya sebotol alkohol.
"Apa yang terjadi, Abe?"
Dia bercerita pacarnya tak mau nikah.  Pasalnya, ia seka­rang jadi penganut feminisme yang fanatik.
"Well, kenapa barns menikah kalau kau sudah mendapatkan segalanya?"
"Dia juga menolak aku.  Dia j adi lesbian tulen.”*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar