Abe Smitt
Cerpen Kuntowijoyo
Kompas Minggu, 22 Maret 1998 hlm.13
Di New York saya
punya kebiasaan yang sama dengan waktu masih tinggal di kota kecil Karanganyar,
Surakarta, yaitu dududuk duduk di depan rumah pada sore hari. Di karanganyar
ada kursi semen di depan rumah di pinggir jalan sehingga kita bisa duduk mengobrol
ngalor-ngidul dengan keluarga, sambil menonton orang lewat. Demikian juga di apartemen saya, ada anak
tangga dari beton bagus, enak untuk duduk-duduk. Temyata, saya tidak sendirian. Di apartemen lain ada juga orang duduk-duduk
seperti saya. Barangkali mereka dari
Puerto Rico, atau Jamaica, atau Haiti.
Mereka pasti dulunya orang udik seperti saya.
Kebiasaan
saya itulah yang membuat saya berkenalan dengan Abraham Smitt. Laki-laki yang necis dan selalu berdasi. Dia sedang antre telepon di kotak depan
apartemen. Dan saya seperti biasa sedang
dudukduduk di depan dengan anak laki-laki saya. Dia urung menelepon, lalu mendekati kami.
"Sepertinya
aku kenal dengan bahasamu," katanya.
"Apa
kau pemah ke Indonesia?'
"Ya,
ya.'Uapi tacti kzatian tidak omong bahasa."
"Kalau
begitu pemah ke Jawa?"
"Persis!
Saya
mengulurkan tangan, menyebut nama.
"Smitt. Abe Smitt.
Es-em-ai-ti-ti.”
Kemudian
dia bercerita bahwa pernah tinggal di Sosromenduran, Yogyakarta, selama sebuIan. Kampung itu punya banyak penginapan kelas
melati. Dari uang tabungan setahun ia
dapat tinggal di Jawa bersama pacar begitu lama. la bercerita tentang pantai
Parangtritis, candi Prambanan, candi Boko, candi Borobudur. Tabu bedanya sate dengan soto, bakmi dengan
bakso. Lalu ia berbisik-bisik ia juga
tabu erotisme Jawa.
"Kukira
akulah yang paling tahu tentang Jawa.
Tahu-tahu orang Amerika lebih banyak tahu dari aku," kata saya
memuji.
"Ya, natuurlijk!"
"Lho! Kau bisa bahasa Belanda, ya. "
"Wah,
itu ceritanya panjang. Good bye."
"Daag, daag."
Dia
menoleh, tertawa, lalu pergi. Umpama
sepak bola begitu, kedudukan satu-satu. la pernah di Yogya, saya sedikit-sedikit
bisa Bahasa Belanda.
KEESOKAN
harinya dia datang dan ikut duduk di tangga. la memberi cokelat untuk anak
saya. Anak saya menolaknya.
Kata saya
dalam Bahasa Jawa, "Terimalah, tidak apa." Anak saya lalu meneiima
cokelat, memasukkan ke saku celana.
Saya menerangkan.
"Ia kami larang menerima pemberian dari orang asing. Ini New York."
"Itu
kebijaksanaan yang bagus.”
Setelah
bercerita ke sana ke mari, katanya, "Nenek-moyangku termasuk orang pertama
di New York. Merekalah yang menerima
Manhattan dari orang Indian. Tetapi aku
lahir di ghetto Yahudi di Bronx. lbuku memang dari keluarga Belanda, tapi
ayahku Yahudi. "
"
Orang Belanda itu hebat. Sudab punya
New York, masih menjajah Indonesia," gumam saya dalam bahasa Indonesia.
"Apa?"
"Oh,
tidak. Lanjutkan."
"Dulu
kakekku mendapat tawarari untuk kerja di Jawa.
Administratur sebuah perkebunan gula.
Di sini."
Ia
mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah
peta.
"Kau
penyimpan dokumen yang baik, " kata saya.
"Di
sini, tempat yang ada tandanya itu."
Saya
mengamatinya.
"Tempat
itu nananya Klaten," kata saya.
"Tepatnya
Gondangwinangun."
Saya
terkejut.
"Lho!"
"Itulah
sebabnya aku meniilih Yogya. Peta inilah
satu-satunya barang kakek yang disimpan ibuku."
"Ibumu
pasti seorang pemimpi. "
"Kok
tahu?"
"Biasanya
begitu. Penyimpan dokumen adalah
pemimpi."
"Kau
benar. Ibuku suka bilang, andaikata
ayahnya jadi kerja di Jawa nasibnya akan lain. Setiap ada kesempatan pasti
bilang 'Jawa'. Juga dia menyebutkan
'gula' dengan maksud tertentu. Dulu
anak-anak suka meledeknya sebagai orang yang gagal lahir di Jawa. "
"Lahir,
mati, jodoh, rezeki itu yang menentukan Tuhan.
"
"Kalau
dia ada. Mari kulanjutkan
ceritaku. Ibuku memang selalu menyesali
hidupnya. Suaminya miskin, mati ketika
aku masih kecil."
"Jangan
bilang 'suaminya' ibuku, tapi ayahku.
Hormatilah orangtuamu. "
"Kau
Confucian?"
“Tidak,
kami Muslim."
"Oh,
begitu. Ibuku bilang, kalau kakek jadi
ke Jawa, ia pasti jadi orang terhormat, dan lakilaki yang melamarnya pasti
orang kaya, bukan pemuda miskin yang hanya sanggup memberinya
penderitaan. Marhum ayahku suka memukul
ibuku, syukurlah dia cepat meninggal.
"
"I am
sorry."
"Jangan
bilang sorry. Ibuku sangat senang dengan
kematiannya. Kematiannya berarti kebebasan
ibuku."
"Omong-omong,
jadi kenapa kakekmu tidak jadi ke Jawa?"
"Waktu
itu pecah Perang Dunia Pertama.
"Isee."
Dia
menutup peta, memasukkannya ke tas attache, berdiri, dan beranjak pergi.
SAYA
sengaja menunggu Mr Smitt, tapi beberapa hail dia tidak lewat depan apartemen. Saya ingin bertanya kepadanya bagaimana
r-eaksi ibunya setelah mendengar cehta bahwa ada orang Jawa di New York. Saya begitu penasaran, ingin tabu lebih
banyak. Mr Smitt tiba-tiba saja
nyelonong masuk dalam hidup saya.
Ketika akhirnya dia lewat, sengaja saya panggil dia.
"Kau
pasti bercerita kepada ibumu pelihal aku, ya."
"Apa? Tentu saja aku tidak bercerita bahwa ketemu
kau. Gila apa! Juga bahwa aku tinggal di kotamu selama
sebulan. Aku membohongi Ibu, kukatakan
bahwa aku pergi ke Thailand. Aku akan
jujur padanya di ranjang kematiahnya.
Tapi tidak sekarang.Tidak kepada Ibu, tidak kepada kakakku perempuan
tempat ibu tinggal selama aku pergi."
"Ibumu
tinggal bersama kau?"
"Iyalah. Aku adalah anak bungsunya."
"Engkau
anak yang baik."
"Tentu.”
"Mengapa
ibumu tidak kau kirim saja ke nursing home?"
"Pernah. Tapi ibuku tidak kerasan. Katanya ia ingin mati di tengah
anak-anaknya. 'ndak di tengah orang
asing yang hernama perawat bayaran.
"
"Tentu
lebih balk begitu. Kapan lagi kita
berbakti, kalau tidak pada waktu orangtua kita tua."
"Begitulah
adatnmur."
"Kau
dan istrimu akan dapat pahala di akhirat.
"Istri?"
Dia
berceiita bahwa pacamya tak mau menikah dengannya, kecuali bila ibunya tidak
tinggal bersama dia. Itu akan mengganggu
privacy. Dan dia memilih ibu yang
membesarkannya. Toh tidak usah kawin pun
dia juga mendapat segalanya. "Kecuali
anak," katanya. Andaikata dia kawin
pastilah anaknya sudab sebesar anakku.
Dengan kawin akan banyak dukanya daripada sukanya.
"Jangan
berpikir begitu.
"Itu
kenyataan. Buktinya ibuku. Apa yang dia
dapat daii perkawinan kecuali penderitaan?"
"Pikiranmu
akan berubah begitu ada kesempatan.
"
"Kuharap
demikian."
SORE hari
apartemen kami dibel orang. Saya tanya
siapa yang datang lewat airphone.
" Smitt.
Saya turun
untuk menemuinya. la datang untuk memberitahukan bahwa ibunya meninggal. la
sempat membuat pengakuan bahwa selama sebulan ia tinggal di Jawa, sempat
melihat pabrik gula Gondanglegi. la juga mengatakan kepada ibunya bahwa dia
kenal dengan orang Jawa. Katanya, ibunya
tersenyum seper-ti melihat ke tempat jauh.
Yang penting, katanya, ibunya berpesan bahwa di sana dia akan bergembira
bila ada orang Jawa melihat jenazahnya.
Walhasil
pergilah saya ke funeral home yang ditunjukkan Abraham. Di rumah jenazah saya bilang kepada Abraham,
"lbumu Kristen, to?"
"Ya,
kami Calvinis."
"Kalau
begitu ibumu dimakamkan di mana? Di
kuburan Yahudi dekat ayahmu?"
"Ibu
berpesan jangan sekalikali ia dikuburkan dekat suaminya. "
"Bilang'ayah"'.
"A-y-a-h."
"Thank
you, Abe," kata saya sambil pamitan.
"Thanks
for coming."
KETIKA dia
lewat depan rumah, melihat saya, dia berhenti.
"Aku
tidak mengerti harus bagaimana," katanya.
"Sedih atau senang. "
"Ya,
sedihlah dulu. Lalu senang," tabu
bahwa maksudnya soal perkawinan.
"Lihat, pikiranmu tentang perkawinan sudab berubah."
"Kau
benar.
"Pakai
pesta? Undang saya.
"Pasti,
pasti. Itu hanya pesta kecil di antara
teman-teman.Rencanaku hanya akan minum-minum sampai mabuk.Selama ini ibuku
melarang minum dan pacaran. "
"Kau
taati soal minum, tapi tidak yang satunya."
"Apa
boleh buat, itu alamiah. Ibuku sangat
konservatif. Terlalu banyak
larangan. Merokok, TV berwarna, duduk
santai. Seluruh hari adalah kerja. Katanya merokok itu membakar uang, TV
berwama itu setan, santai itu berdosa.
"
Dia
bercerita dengan bersemangat bahwa temboknya akan dicat, lantainya akan diberi
karpet, membeli TV berwarna, berlangganan cable TV Setiap malam nonton blue
film. Senang-senang dengan istrinya.
SEPERTI
biasanya saya duduk di depan. Kemudian
datang Abe. Tapi kali ini pakaiannya
avtut-avrutan, tidak berdasi. Di
tangannya sebotol alkohol.
"Apa
yang terjadi, Abe?"
Dia
bercerita pacarnya tak mau nikah.
Pasalnya, ia sekarang jadi penganut feminisme yang fanatik.
"Well,
kenapa barns menikah kalau kau sudah mendapatkan segalanya?"
"Dia juga menolak aku. Dia j adi lesbian tulen.”*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar