Akhirnya Kutemukan Mereka yang Hilang
Cerpen Jujur Prananto
Kompas, Minggu, 18/01/01/18
BERANGSUR-angsur
Kamil menduga bahwa rangkaian kejadian yang pada akhirnya membawanya masuk
rumah sakit ini adalah jebakan semata. Sebutir peluru melesat dari ujung laras
sebuah senapan dan menembus dada kirinya pastilah cuma ilusi belaka. Ia bahkan
telah membranikan diri meraba permukaan kulit di balik ikatan perban, dan
menemukan kenyataannya tak ada luka di situ.
JADI kenapa saya
harus masuk rumah sakit?" Jam menunjuk setengah tiga dini hari.
Lampu utama kamar
perawatan telah lama dimatikan. Kamil
bangkit ciuduk, mencabut pipa-pipa infus cian oksigen yang malang-melintang di
sekitar tubuhnya, turun dai-i ranjang, berjingkat ke luar ruangan dan setengah
berlari menembus keremangan koridor rumah sakit menuju gerbang utama. Sepertinya malam begitu rakus menghisap semua
suara, hingga suasana begitu senyap.
Langkah-langkah Kamil sampai tak menyisakan ciesis apa pun, -hingga para
satpam yang tertidur di gardu ciepan sama sekali bergeming tatkala Kamil
melintas dua meter di sampingnya.
Belakangan Kamil baru
sadar bahwa ia tak pernah mengenal nama rumah sakit vang ditinggalinya selama
entah berapa hari ini. Berarti selama
masa tak sadarkan diri ia mungkin lebih dibawa ke kota lain. atau provinsi
lain, atau jangan-jangan ke luar pulau.
"Jadi di mana
sekarang saya berada?"
Kamil tei-us beilalan
melintasi jalanan sepi yang terang benderang.
Dia sangat berharap bisa berjumpa dengan seseorang yang mengenalnya,
atau dikenalnva, atau sembarang orang yang paling tidak bisa dia tanyai
seputar tempat keberadaan diiinya saat ini, tetapi bahkan orang yang sekadar
masih terjaga saja sama sekali tak dijumpainya.
"Jadi kepada
siapa saya harus bertanya?"
Pertanyaan ini
ternyata tak terlalu lama tak beilawab, sebab agak jauh di depan sana tampak
seorang pemuda berjalan sendirian ke arahnya.
Langkahnya mencitrakan rasa percaya diri yang tinggi. Berangsur wajahnya tampak jelas, mulai tampak
senyum di wajah yang teduh, dan Kamil merasa pernah mengenalnya. Oh, ternyata bukan cuma pernah mengenalnya
tetapi sangat mengenalnya, karena dia adalah teman dekat, pemah jadi teman
sekampus, seangkatan, satu kos-kosan, bahIcan sekamar!
"Yusuf ....
??"
Pemuda ini tersenyum
makin lebar dan berucap pelan, "Ya, Kamil.
"
Kamil segera
beringsut maju dan memeluk sahabatnya ini erat-erat. "Kamu ternyata masih hidup,
Yusuf?"
"Ingat yang
diilu pernah saya katakan ke kamu? Cepat
atau lambat kita akan bertemu. "
"Lalu
di mana selama ini kamu berada? Dua
tahun lebih kamu menghilang, Suf! Segala
upaya telah kami lakukan untuk mencari kamu, Ahmad, Again, Budiman dan yang
lain, sampai foto kalian kami buat poster dan kami sebar ke seluruh Indonesia
sebagai nama-nama korban penculikan yang sampai sekarang b.elum
ditemukan. "
|
"Seperti yang
kamu lihat, saya ada di sini."
"Tetapi, kenapa
tidak pemah menemui kami? Kenapa kamu
tidak mengikuti jejak teman-teman lain yang mengumumkan secara terbuka perihal
penculikan yang mereka alami? Waktu itu
mereka memang bebas bicara apa saj a tanpa harus takut kepada siapa pun
termasuk aparat keamanan."
Yusuf terdiam beberapa
saat menatap Kamil. Lalu melihat
sekeliling dan bergumam lirih.
"Saya tidak mungkin melakukannya, Kamil.
"Kenapa?"
"Kamu tahu kita
sekarang berada di mana?"
Kamil gantian terdiam. Ia ingat la bahwa ia akan bertanya tentang
keberadaan dirinya kepada orang yang pertama dia temui. "Memang kita di mana?"
"Nama tempat ini
tidak penting, tetapi yang pasti dari sini saya tidak bisa bertemu dengan
semua teman lama di Jakar-ta. Kamu pun
akan merasa hal yang sama setelah berhasil melarikan diri ciari rumah
sakit."
"Dari mana kamu
tahu saya lari dari r-umah sakit??"
"Tidak
bisa bertemu temanteman di Jakarta bukan berarti saya sama sekali buta
perkembangan situasi, Kamil. Saya tahu kamu bentrok dengan aparat keamanan
waktu melakukan demo ke Cendana.
Sampai kamu tertembak dan masuk r-umah sakit.
|
"Tetapi, saya
yakin itu cuma rekayasa, Suf, sebab ternyata saya sama sekali tidak
terluka. Mereka cuma mengupayakan agar
saya masuk rumah sakit, hingga bisa menahan saya di luar ketentuan hukum. "
"Saya dulu juga merasa mengalami hal yang sama. Sampai saya terbuang ke mari dan tidak bisa
melakukan apa-apa kecuali mendengar dan melihat."
"Bukan begitu, Yusuf. Kamu
cuma terlalu putus asa. Besok pagi kita
sama-sama berusaha keluar dari tempat ini.
Kembali ke Jakarta. "
Yusuf menghela napas panj ang.
" Kembali ke Jakarta sebenarnya bukan masalah. "
"Jadi apa persoalannya?"
Yusuf menepuk pundak
Kamil dan mengaj aknya pergi dari tempat itu.
Beijalan meninggalkan jalan raya, berbelok memasuki lorong kecil
menurun, menyisir tebing sampai ke dasarn.ya, ialah sebuah pantai yang begitu
indah dan terang benderang oleh ribuan lampu yang menghiasi pada hampir setiap
rumah serta pohon yang berdiri dan tumbuh sejajar garis pantai.
Kamil terpana. Terkesima melihat semua yang terbentang di
hadapannya. Yusuf lalu membawanya ke
sebuah rumah yang termegah di antara yang lain.
Sebelum Yusuf mengetuk pintu, pintu itu sudah lebih dulu terbuka,
dibuka dari dalam oleh beberapa pemuda yang langsung memperlihatkan
senyumnya. "Selamat datang, Kamil.
Kamil tercengang. Ahmad!
Agam! Budiman! Mereka semua ada di sini!
Maka teijadilah
sebuah reuni yang mengharukan. Kamil merasa
terbuai dalam sebuah mimpi yang teramat indah.
Semua temyata selamat. Semua
masih hidup. Masih bisa tertawa dan
bicara. Tetapi, kembali ke Jakarta?
"Kamu
benar-benar ingin kembali ke.
Jakarta?" tanya mereka beramai-ramal.
"Tentu
saja. Bukankah kita semua punya
sanak-saudara di sana? Saya bahkan sudah
berkeluarga. Anak-istri saya menanti
saya pulang."
Teman-teman Kamil
saling berpandangan. Yusuf lalu membuka
sebuah almari besi, mengambil sebotol minuman dari dalamnya dan memberikannya
pada Kamil.
"Minumlah sampai
habis. Kita akan melakukan sebuah perjalanan
yang jauh dan melelahkan.
Kamil menenggak
minuman itu dan berangsur kehilangan kesadaran.
Entah berapa lama.
Sampai la tersadar
dan menemukan diriya berada di sebuah r-uangan tertutup yang panas, pengab dan
menyesakkan. Yusuf dan yang lain ada di
situ pula bersama-sama. "Ilita ada
di mana?"
"Ini adalah
r-uang tahanan tempat terakhir kita disekap," Yusuf menjawab, dan kemudian
menarik lengan Kamil, memintanya melongok ke sebuah jendela kecil berteralis
besi lima belas mili.
"Kamu lihat
orang-orang yang sedang bennain kar-tu itu?
Yang berbadan paling besar ialah Sersan Mayor Hariman. Yang dua lagi Sersari Satu Sarkawi dan Sersan
Dua Kusnen, yang bertugas memegangi kedua tangan dan kaki saya setiap Serma
Hariman memasang kabel untuk menyetrum tubuh saya."
"Kamu yakin
mereka pelakunya?"
"Ya."
"Kenapa tidak
kamu laporkan ke teman-teman di kantor pusat?"
"Orang-orang ini
cuma menj alankan perintah.
"Bukankah dari
mereka bisa dikorek keterangan tentang siapa yang memberi perintah pada
mereka?"
"Semuanya sudah
jelas," Yusuf mengeluarkan gulungan kertas dari dalam tasnya dan
memperlihatkannya ke Kamil.
"Dokumen ini saya ambil dari lemari arsip mereka. Surat perintah dari komandan untuk
menjalankan operasi melenyapkan kita.
"
Kamil
terperangah. "Kalau begitu kita
bisa menuntut mereka secara hukum!
"
"Sabar,
Kamil. Sebaiknya kami antar kamu pulang
dulu ke rumah.
JAUH lewat tengah
malam Kamil tiba di gerbang perui mahan tempat tinggalnya, berjalan kaki
melintasi gardu hansip yang.didiami tiga peronda. Rupanya tak seorang pun di
antara mereka melihat kedatangannya, namun Kamil justru bersyukur bisa terus
beijalan tanpa harus banyak berbasa-basi.
Kamil memang ingin
segera bertemu Tanti, istrinya, dan si kecil Reza yang bulan depan baru akan
berulang tahun pertama. la pun mempercepat langkah dan segera tiba di depan
rumah.
Beberapa saat ia
terpaku di depan pintu pagar, seperti ingin meneliti ada-tidaknya perubahan
pada rumah itu setelah sekian lama dia tinggalkan. Yang pasti halaman depan pintu kotor dan
sebagian rumput tampak mengering.
Pastilah istrinya menjadi terlalu sibuk Iiingga tak sempat merawat
keasiian halaman rumahnya ini.
Hati-hati Kamil
membuka pintu pagar yang tak terkunci nyaris tak bersuara, namun ternyata
cukup mengagetkan seekor kucing yang semula tiduran di sofa teras. Kucing ini terlonjak bangkit dan menggeram
keras, namun Kamil tak peduli dan terus melangkah ke, pintu, butulan. Diambilnya anak kunci yang seperti biasanya
tersimpan di balik pot kaktus, lalu ia masuk ke dalam dengan perasaan
berdebar.
Tanti sudah tertidur
memeluk si kecil Reza yang terlelap pula ketika Kamil hati-hati membuka pintu
kamar. Kamil tak tega membangunkan istri
dan anaknya dan cuma berani secara lembut mencium kening dan pipi mereka,
lalu membaringkan badannya di atas karpet di samping tempat tidur. Matanya terpejam, namun tak kunjung terlelap
hingga jam di dinding menunjuk pukul lima.
Saat itulah Tanti terbangun, turun dari ranjang dan keluar kamar untuk
mengambil air sembahyang. Kamil membuka
mata dan hendak mengatakan, "Saya tidak ti(iur," tetapi istrinya
kebur-u menutup pintu. Seperti
dirinya. Tanti juga tak pemah tega
membangunkan orang tidur. Kamil lalu
bangkit dan pindah ke tempat tidur, lama menatap si kecil Reza, mengelus-elus
pipinya, menciumi tangannya. Tak lama kemudian anak ini terjaga, membuka
matanya lebar-lebar. Kamil membuat ekspresi lucu dengan menggembungkan pipinya. Reza tertawa-tawa.
Sampai Tanti masuk
kamar lagi dan terheran-heran melihat anaknya.
"Heeii, sudah
bangun, ya? Tertawa sama siapa,
sayang?"
Tanti lalu
menggendong anaknya, mencium pipinya.
Tak lama kemudian ibu Tanti melongok ke dalam, heran pula melihat
cucunya sudah terbangun.
"Tumben?"
"Sudah bangun
kepagian, tidak menangis pula. Malah
tertawa-tawa."
"Dia melihat
ayahnya, barangkali. "
“Ah, Ibu.”
"Mungkin saja
suamirnu belum ikhlas berpisah dengan kalian."
Tanti mendekap
anaknya eraterat. Tetapi, ia sendiri
kemudian merasa berdebar dan melihat sekeliling r-uangan, lalu bertanya dengan
nada berbisik. "Benar, sayang? Reza lihat ayah? Di mana?
Bilang sama, ayah, 'Reza sebentar lagi mau Wang tahun, ayah. Reza sayang ayahnya"
Sekonyong-konyong
tawa Reza terhenti. Lalu menangis keras
dan menggapai-gapaikan tangannya ke arah pintu. -,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar