Rabu, 20 Mei 2015

CERPEN AKHIRNYA KUTEMUKAN MEREKA YANG HILANG



Akhirnya Kutemukan Mereka yang Hilang
Cerpen Jujur Prananto
Kompas, Minggu, 18/01/01/18 

BERANGSUR-angsur Kamil menduga bahwa rangkaian kejadian yang pada akhirnya membawanya masuk rumah sakit ini adalah jebakan semata. Sebutir peluru melesat dari ujung laras sebuah senapan dan menembus dada kirinya pastilah cuma ilusi belaka. Ia bahkan telah membranikan diri meraba permukaan kulit di balik ikatan perban, dan menemukan kenyataannya tak ada luka di situ.

JADI kenapa saya harus masuk rumah sakit?" Jam menunjuk setengah tiga dini hari.
Lampu utama kamar perawatan telah lama dima­tikan.  Kamil bangkit ciuduk, mencabut pipa-pipa infus cian oksigen yang malang-melintang di sekitar tubuhnya, turun dai-i ranjang, berjingkat ke luar ruangan dan setengah berlari menembus keremangan koridor rumah sakit menuju gerbang utama.  Sepertinya malam begi­tu rakus menghisap semua sua­ra, hingga suasana begitu se­nyap.  Langkah-langkah Kamil sampai tak menyisakan ciesis apa pun, -hingga para satpam yang tertidur di gardu ciepan sama sekali bergeming tatkala Kamil melintas dua meter di sampingnya.
Belakangan Kamil baru sadar ­bahwa ia tak pernah mengenal nama rumah sakit vang diting­galinya selama entah berapa hari ini.  Berarti selama masa tak sadarkan diri ia mungkin lebih dibawa ke kota lain. atau pro­vinsi lain, atau jangan-jangan ke luar pulau.
"Jadi di mana sekarang saya berada?"
Kamil tei-us beilalan melintasi jalanan sepi yang terang ben­derang.  Dia sangat berharap bisa berjumpa dengan seseorang yang mengenalnya, atau di­kenalnva, atau sembarang orang yang paling tidak bisa dia tanyai seputar tempat keberadaan diiinya saat ini, tetapi bahkan orang yang sekadar masih terja­ga saja sama sekali tak di­jumpainya.
"Jadi kepada siapa saya harus bertanya?"
Pertanyaan ini ternyata tak terlalu lama tak beilawab, sebab agak jauh di depan sana tampak seorang pemuda berjalan sendirian ke arahnya.  Langkah­nya mencitrakan rasa percaya diri yang tinggi.  Berangsur wa­jahnya tampak jelas, mulai tam­pak senyum di wajah yang te­duh, dan Kamil merasa pernah mengenalnya.  Oh, ternyata bukan cuma pernah mengenal­nya tetapi sangat mengenalnya, karena dia adalah teman dekat, pemah jadi teman sekampus, se­angkatan, satu kos-kosan, bah­Ican sekamar!
"Yusuf .... ??"
Pemuda ini tersenyum makin lebar dan berucap pelan, "Ya, Kamil.  "
Kamil segera beringsut maju dan memeluk sahabatnya ini erat-erat.  "Kamu ternyata ma­sih hidup, Yusuf?"
"Ingat yang diilu pernah saya katakan ke kamu?  Cepat atau lambat kita akan bertemu.  "
"Lalu di mana selama ini ka­mu berada?  Dua tahun lebih ka­mu menghilang, Suf!  Segala upaya telah kami lakukan untuk mencari kamu, Ahmad, Again, Budiman dan yang lain, sampai foto kalian kami buat poster dan kami sebar ke seluruh Indonesia sebagai nama-nama korban pen­culikan yang sampai sekarang b.elum ditemukan.  "
"Seperti yang kamu lihat, sa­ya ada di sini."
"Tetapi, kenapa tidak pemah menemui kami?  Kenapa kamu tidak mengikuti jejak teman-te­man lain yang mengumumkan secara terbuka perihal penculik­an yang mereka alami?  Waktu itu mereka memang bebas bica­ra apa saj a tanpa harus takut ke­pada siapa pun termasuk aparat keamanan."
Yusuf terdiam beberapa saat menatap Kamil.  Lalu melihat sekeliling dan bergumam lirih.  "Saya tidak mungkin melaku­kannya, Kamil.
"Kenapa?"
"Kamu tahu kita sekarang berada di mana?"
Kamil gantian terdiam.  Ia ingat la bahwa ia akan berta­nya tentang keberadaan dirinya kepada orang yang pertama dia temui.  "Memang kita di mana?"
"Nama tempat ini tidak pen­ting, tetapi yang pasti dari sini saya tidak bisa bertemu dengan semua teman lama di Jakar-ta.  Kamu pun akan merasa hal yang sama setelah berhasil melarikan diri ciari rumah sakit."
"Dari mana kamu tahu saya lari dari r-umah sakit??"
"Tidak bisa bertemu teman­teman di Jakarta bukan berarti saya sama sekali buta perkem­bangan situasi, Kamil. Saya ta­hu kamu bentrok dengan aparat keamanan waktu melakukan demo ke Cendana.  Sampai kamu tertembak dan masuk r-umah sa­kit.
"Tetapi, saya yakin itu cuma rekayasa, Suf, sebab ternyata saya sama sekali tidak terluka.  Mereka cuma mengupayakan agar saya masuk rumah sakit, hingga bisa menahan saya di lu­ar ketentuan hukum.  "
"Saya dulu juga merasa mengalami hal yang sama.  Sam­pai saya terbuang ke mari dan tidak bisa melakukan apa-apa kecuali mendengar dan meli­hat."
"Bukan begitu, Yusuf.  Kamu cuma terlalu putus asa.  Besok pagi kita sama-sama berusaha keluar dari tempat ini.  Kembali ke Jakarta.  "
Yusuf menghela napas pan­j ang.  " Kembali ke Jakarta sebe­narnya bukan masalah.  "
"Jadi apa persoalannya?"
Yusuf menepuk pundak Ka­mil dan mengaj aknya pergi dari tempat itu.  Beijalan meninggal­kan jalan raya, berbelok mema­suki lorong kecil menurun, me­nyisir tebing sampai ke dasar­n.ya, ialah sebuah pantai yang begitu indah dan terang ben­derang oleh ribuan lampu yang menghiasi pada hampir setiap rumah serta pohon yang berdiri dan tumbuh sejajar garis pan­tai.
Kamil terpana.  Terkesima melihat semua yang terbentang di hadapannya.  Yusuf lalu mem­bawanya ke sebuah rumah yang termegah di antara yang lain.  Sebelum Yusuf mengetuk pintu, pintu itu sudah lebih dulu terbu­ka, dibuka dari dalam oleh be­berapa pemuda yang langsung memperlihatkan senyumnya.  "Selamat datang, Kamil.
Kamil tercengang.  Ahmad!  Agam!  Budiman!  Mereka semua ada di sini!
Maka teijadilah sebuah reuni yang mengharukan.  Kamil me­rasa terbuai dalam sebuah mimpi yang teramat indah.  Se­mua temyata selamat.  Semua masih hidup.  Masih bisa tertawa dan bicara.  Tetapi, kembali ke Jakarta?
"Kamu benar-benar ingin kembali ke.  Jakarta?" tanya me­reka beramai-ramal.
"Tentu saja.  Bukankah kita semua punya sanak-saudara di sana?  Saya bahkan sudah berke­luarga.  Anak-istri saya menanti saya pulang."
Teman-teman Kamil saling berpandangan.  Yusuf lalu mem­buka sebuah almari besi, mengambil sebotol minuman dari dalamnya dan mem­berikannya pada Kamil.
"Minumlah sampai habis.  Ki­ta akan melakukan sebuah per­jalanan yang jauh dan mele­lahkan.
Kamil menenggak minuman itu dan berangsur kehilangan kesadaran.
Entah berapa lama.
Sampai la tersadar dan menemukan diriya berada di sebuah r-uangan tertutup yang panas, pengab dan menyesakkan.  Yu­suf dan yang lain ada di situ pu­la bersama-sama.  "Ilita ada di mana?"
"Ini adalah r-uang tahanan tempat terakhir kita disekap," Yusuf menjawab, dan kemudian menarik lengan Kamil, memin­tanya melongok ke sebuah jen­dela kecil berteralis besi lima be­las mili.
"Kamu lihat orang-orang yang sedang bennain kar-tu itu?  Yang berbadan paling besar ialah Ser­san Mayor Hariman.  Yang dua la­gi Sersari Satu Sarkawi dan Ser­san Dua Kusnen, yang bertugas memegangi kedua tangan dan kaki saya setiap Serma Hariman memasang kabel untuk menye­trum tubuh saya."
"Kamu yakin mereka pela­kunya?"
"Ya."
"Kenapa tidak kamu lapor­kan ke teman-teman di kantor pusat?"
"Orang-orang ini cuma men­j alankan perintah.
"Bukankah dari mereka bisa dikorek keterangan tentang sia­pa yang memberi perintah pada mereka?"
"Semuanya sudah jelas," Yu­suf mengeluarkan gulungan kertas dari dalam tasnya dan memperlihatkannya ke Kamil.  "Dokumen ini saya ambil dari lemari arsip mereka.  Surat pe­rintah dari komandan untuk menjalankan operasi melenyap­kan kita.  "
Kamil terperangah.  "Kalau begitu kita bisa menuntut mere­ka secara hukum!  "
"Sabar, Kamil.  Sebaiknya ka­mi antar kamu pulang dulu ke rumah.
JAUH lewat tengah malam Kamil tiba di gerbang peru­i mahan tempat tinggalnya, berjalan kaki melintasi gardu hansip yang.didiami tiga peron­da. Rupanya tak seorang pun di antara mereka melihat keda­tangannya, namun Kamil justru bersyukur bisa terus beijalan tanpa harus banyak berbasa­-basi.
Kamil memang ingin segera bertemu Tanti, istrinya, dan si kecil Reza yang bulan depan ba­ru akan berulang tahun perta­ma. la pun mempercepat lang­kah dan segera tiba di depan ru­mah.
Beberapa saat ia terpaku di depan pintu pagar, seperti ingin meneliti ada-tidaknya perubah­an pada rumah itu setelah seki­an lama dia tinggalkan.  Yang pasti halaman depan pintu kotor dan sebagian rumput tampak mengering.  Pastilah istrinya menjadi terlalu sibuk Iiingga tak sempat merawat keasiian halaman rumahnya ini.
Hati-hati Kamil membuka pintu pagar yang tak terkunci nyaris tak bersuara, namun ter­nyata cukup mengagetkan se­ekor kucing yang semula tidur­an di sofa teras.  Kucing ini ter­lonjak bangkit dan menggeram keras, namun Kamil tak peduli dan terus melangkah ke, pintu, butulan.  Diambilnya anak kun­ci yang seperti biasanya tersim­pan di balik pot kaktus, lalu ia masuk ke dalam dengan perasa­an berdebar.
Tanti sudah tertidur memeluk si kecil Reza yang terlelap pula ketika Kamil hati-hati membu­ka pintu kamar.  Kamil tak tega membangunkan istri dan anak­nya dan cuma berani secara lem­but mencium kening dan pipi mereka, lalu membaringkan badannya di atas karpet di sam­ping tempat tidur.  Matanya ter­pejam, namun tak kunjung ter­lelap hingga jam di dinding me­nunjuk pukul lima.  Saat itulah Tanti terbangun, turun dari ran­jang dan keluar kamar untuk mengambil air sembahyang.  Ka­mil membuka mata dan hendak mengatakan, "Saya tidak ti(iur," tetapi istrinya kebur-u menutup pintu.  Seperti dirinya.  Tanti ju­ga tak pemah tega memba­ngunkan orang tidur.  Kamil lalu bangkit dan pindah ke tempat tidur, lama menatap si kecil Reza, mengelus-elus pipinya, menciumi tangannya. Tak lama kemudian anak ini terjaga, membuka matanya lebar-lebar. Kamil membuat ekspresi lucu dengan menggembungkan pipi­nya.  Reza tertawa-tawa.
Sampai Tanti masuk kamar lagi dan terheran-heran melihat anaknya.
"Heeii, sudah bangun, ya?  Tertawa sama siapa, sayang?"
Tanti lalu menggendong anaknya, mencium pipinya.  Tak lama kemudian ibu Tanti melo­ngok ke dalam, heran pula meli­hat cucunya sudah terbangun.  "Tumben?"
"Sudah bangun kepagian, ti­dak menangis pula.  Malah ter­tawa-tawa."
"Dia melihat ayahnya, ba­rangkali.  "
“Ah, Ibu.”
"Mungkin saja suamirnu be­lum ikhlas berpisah dengan ka­lian."
Tanti mendekap anaknya erat­erat.  Tetapi, ia sendiri kemudian merasa berdebar dan melihat se­keliling r-uangan, lalu bertanya dengan nada berbisik.  "Benar, sayang?  Reza lihat ayah?  Di mana?  Bilang sama, ayah, 'Reza sebentar lagi mau Wang tahun, ayah.  Reza sayang ayahnya"
Sekonyong-konyong tawa Re­za terhenti.  Lalu menangis keras dan menggapai-gapaikan ta­ngannya ke arah pintu. -,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar