Ini
bukanlah sesuatu yang disesali. Tiba-tiba saja ia merasa seperti ada macan dari
dalam tubuhnya. Perutnya minta daging, mulutnya haus darah, dadanya gemuruh,
berdentam, bergendam, ingin menyergap, ingin mencerkam, mendera, mencabik,
mencakar...Itulah perasaannya setiap kali bertemu lelaki yang menempati
beberapa langkah di seberang tempat tinggalnya. Saat ini ia tinggal di sebuah
studio yang sekaligus dijadikannya rumahnya —sebuah tempat yang boleh
ditinggali untuk waktu selama beberapa bulan. Perasaan itu datang tiba-tiba
saja. Rasanya ingin melakukan sesuatu kepada laki-laki itu.
Padahal
lelaki itu tak begitu dikenalnya. Dari riwayat hidupnya, yang ia baca di media
virtual, lelaki berkulit terang itu adalah seorang wartawan dari negeri
berpenduduk terbanyak di dunia. Seorang lelaki yang baik. Ia satu dari sekian
korban yang selamat dari pembantaian massal pada sebuah waktu yang mengenaskan
di tempat yang memilukan. Ia dipenjara dua tahun delapan bulan. Enam giginya
rontok. Tangan kanannya lumpuh. Ia alami ”vaksinansi” di penjara: polisi
memasukkan kepinding di luka setiap napi. Kepinding itu akan mengubah luka jadi
tomat, merah, gendut dan gembur penuh darah! Setelah peristiwa itu, ia masih
dinistakan. Ia kehilangan identitas. Namanya tak boleh muncul sampai waktu
lama. Dan ketika akhirnya bisa muncul, namanya ditulis dengan salah. Ini jelas
melanggar taboo nenek moyang yang mengatakan: apa pun yang terjadi, nama tak
boleh tak ada atau diubah. Yeach! Ia dianggap pelawan rezim. Virus yang harus
dimusnahkan. Namun ia tak gentar. Dengan berbagai cara, berkejaran dengan
polisi, ia terus menulis, mengkritik, berbicara di pertemuan-pertemuan, sampai
suaranya terdengar hingga ke luar negeri, ke publik internasional.
Lelaki
ini sebetulnya sama statusnya dengan dirinya. Sama-sama tamu yang dibolehkan
menumpang beberapa waktu di sebuah negeri yang memiliki banyak filsuf itu.
Lelaki itu menempati sebuah rumah. Ya rumah, bukan studio seperti yang
dimilikinya. Rumah itu ada di halaman yang sama dengan studionya. Lelaki ini
berperut buncit. Lehernya menyatu dengan dagu. Wajahnya dingin dan kaku.
Rambutnya lurus sebahu. Dirinya sendiri jadi tampak kecil dibanding lelaki
gendut gondrong itu. Walau begitu, ia simpan dalam-dalam semacam perasaan
kesumat yang ada dalam dirinya itu. Ia simpan hati-hati, bahkan seperti
memeliharanya diam-diam. Ini hasrat purba, pikirnya, biar saja ada.
Di kebun
belakang studionya, ada seekor kuda. Ada juga sederet pohon walnut hitam dengan
burung-burung kecil yang selalu berkicau-kicau. Macan dalam dirinya ia
bayangkan seperti si kuda yang dilihatnya di belakang rumahnya itu. Ia pelihara
binatang itu: dileus-elusnya saban waktu.
Entahlah
mengapa perasaannya pada lelaki yang tak begitu dikenalnya itu seperti itu.
Namun ia sendiri seperti punya ingatan akan sesuatu yang lama dulu...ada memori
di kepalanya yang dulu hanya tersimpan di satu bagian tertentu dalam otaknya
saat ini tiba-tiba muncul. Tapi, ini mungkin tak penting. Ia lebih sering
memikirkan lelaki itu. Ia justru ingin bertemu lagi. Ia ingin memiliki perasaan
itu lagi: menjadi liar, ingin menghunjam, ingin meledak....
Suatu
siang, ia masuk ke ruang perpustakaan yang biasa dipakai berbagi untuk semua
penghuni selingkung rumah itu. Tiba-tiba saja, lelaki itu muncul dari dalam
rumah dia sendiri. Rambutnya sebagian menutup matanya. Lelaki itu melihatnya,
lalu satu tangannya melambai padanya. Tangan ini saja yang tampak ramah sebab
rautnya mukanya tetap saja dingin. Rokok tak beranjak dari mulutnya. Setelah
itu, tangannya masuk saku celana, menahan dingin udara luar. Ahhh, perasaan
dalam dirinya itu benarlah sekarang muncul lagi: perutnya kaku, nyeri, lapar
haus, ingatannya melayang, tenggorokannya ngilu dan perasaannya meluap-luap
ingin mencelakai lelaki itu...
”Hei!”
kata si lelaki dari kaca jendela perpustakaan. Tapi ini hanya mulutnya saja
yang seperti mengucap kata ”hei” itu, suaranya sendiri tak ada. Lelaki ini maju
beberapa langkah ke arahnya, seperti sedang ingin bersikap lebih akrab. Namun
hanya begitu saja. Ia tetap di luar perpustakaan itu, menikmati rokok yang
diisapnya itu. Hemat kata betul lelaki ini. Dan wajahnya juga tetap
dingin-dingin saja.
Ia tak
membalas ucapan lelaki ”hei” itu. Namun ia menyumpah-nyumpah dalam hati,
mengapa ia tak mampu bersikap biasa saja. Memang sesungguhnya ia sedang
menikmati perasaan tak nyaman itu. Perasaan yang mengaduk-aduk emosinya itu.
Namun sebagaimana binatang macan yang selalu tampak tenang, ia juga
menenang-nenangkan gemerutuk yang menggerogoti tubuhnya. Ia sembunyikan
perasaannya yang sebenarnya jauh-jauh. Padahal ia tengah mengincar mangsanya
itu. Kini malahan tambah ada sepercik api di dalam dadanya.
2
Seperti
tadi sudah kuceritakan, peristiwa kecil ketika si lelaki menyapanya dengan
”hei” itu, diingat dan dipeliharanya terus gejolaknya. Bukan soal pertemuannya.
Namun ya perasaan tak nyaman itu. Setiap kali ia sudah kembali normal, ia
malahan mengingat-ingat pertemuan kecil siang itu...maka perutnya kembali mual,
perasaan benci yang tanpa sebab kembali datang. Sejak itu, ia mulai melihat-lihat
peralatan di dapurnya. Apa saja benda tajam yang ada di rumah ini. Ada pisau
beberapa jenis, untuk iris roti, iris daging, iris keju, iris wortel...huh tak
ada yang cocok untuk iris sesuatu yang lebih kenyal dan keras!
Kini
dadanya berdebar setiap kali berada di dapur. Jika tiba saat harus melakukan
sesuatu di dapur untuk dimakan, ia jadi gugup dan gemetar. Gelas atau piring
hampir saja jatuh karena tangannya memegang benda-benda itu dengan gemetar.
Saat waktu minum teh tiba, ia lebih suka duduk di kursi yang di depannya ada
kacanya. Sebab dari situ ia bisa langsung mengawasi rumah depan. Matanya
mencari-cari, atau tepatnya menunggu-nunggu kalau-kalau lelaki itu muncul?
Kemarin pagi si yang dinanti itu muncul, hanya kepalanya saja, membuka jendela
kamar atas ruang tidurnya. Sebentar saja karena sepertinya ia segera turun,
mungkin ke dapur atau kamar mandi. Tapi heran, hal itu itu sudah membuatnya
”senang”. Ah, senang? Benarkah? Yang jelas, ada struktur di syaraf otaknya yang
bekerja lebih aktif dari sebelumnya.
3
Di
sebuah hari minggu yang dirayakan lebih istimewa dari hari lainnya, ia
bermaksud pergi ke sebuah rumah ibadah. Saat ia berjalan, beberapa ratus meter
di depan dirinya, ia lihat lelaki itu juga berjalan ke arah yang sama dengan
dirinya. Menuju ke kota bawah. Tempat mereka tinggal memang di sebuah daerah di
atas bukit yang terpencil. Jika mereka ingin melakukan sesuatu atau membutuhkan
suatu barang, mereka harus turun. Ia percepat langkah kakinya agar lebih dekat
dengan lelaki itu. Padahal, makin dekat, perutnya seperti makin melilit-lilit
saja. Haus sekali, lapar sekali. Daging. Darah. Tapi itu semua seperti ia
abaikan saja. Sebab ia sedang konsentrasi mempercepat langkah kaki agar lebih
segera sampai ke lelaki itu.
”Hei,”
sapanya ketika sudah tiba persis di serong samping belakang si laki-laki.
Lelaki
itu menoleh dan melihat ke arah dia. Tatapan matanya dingin tanpa ekspresi.
Seperti biasa. Bajunya agak aneh kali ini. Biasanya, di berbagai cuaca, ia
selalu setia dengan biru putih. Kadang jins biru dipadu dengan kemeja atau kaos
putih. Kadang di balik, jins putih dengan kaos atau kemeja biru. Itu sudah
menjadi seragamnya saban waktu. Aneh kali ini, ia mengenakan kemeja hitam dan
jins hitam. Dan...oh rupanya si putih dan biru ada di topinya! Ia mengenakan
topi dua warna, bawah biru dan putih di atasnya. Dan rupanya si biru putih itu
berasal dari jin. Ya dari bahan celana yang biasa dipakainya selama ini! Apakah
ia menyobek celana-celananya? Belum sempat ia memeriksa apa yang terjadi dengan
perut atau debar dadanya, huh, ia malah terpancing pada sang topi! Topi itu
terbuka di bagian atasnya. Mamamia!
”Topi.
Terbuka. Yang Kuasa,” ujar lelaki itu tanpa ditanya, juga tiada menoleh ke yang
diajak bicara. Manusia hemat kata.
Ia
terbengong. Namun sebaliknya (dan sekaligus), macan dalam dirinya datang lagi.
Mengaum-aum, menggeram-geram, mengendus. Mangsa sudah dekat.
Perutnya
bergolak. (Ia lalu hentikan langkah).
Lelaki
itu tak menghiraukan dan meneruskan perjalanan begitu saja.
Perutnya
pedih. (Isi perutnya mendesak-desak minta keluar).
Perutnya
mual. (Dadanya naik turun, kepala berkunang-kunang).
Perutnya
seperti ada yang memompa dari dalam.
Ia lalu
lari ke arah semak belukar. (Di sana, ia muntah-muntah).
Entahlah,
apakah ini melanggar kebersihan di negeri ini. Ia tak sempat berpikir soal itu.
Perutnya benar-benar kosong kini. Lidahnya terasa jadi pahit.
4
Malamnya,
ia sedang duduk tepekur di kursi yang biasa untuk minum teh. Pikirannya kosong
saja. Jendela berkaca itu sudah dia tutup tirainya. Tiba-tiba, lamat-lamat, ia
dengar ada suara dari rumah di depan studionya. Suara pintu rumah dibuka. Lalu
langkah kaki mendekat ke studionya. Lalu...tuk tuk tuk...Seseorang itu
tiba-tiba saja sudah mengetuk pintu kaca studionya. Ia kaget, meski semua itu
dari tadi sudah diamatinya.
Pintu
dibukanya. Ini spontan saja menghormati tamu. Deg! Wajah lelaki, tetangga
serumahnya itu muncul di depannya. Ya ia lelaki yang selama ini selalu
dipikirkannya itu. Lalu...tanpa ba bi bu, kedua tangan lelaki itu tiba-tiba
saja sudah memegang lehernya! Ia terpana. Pegangan itu makin lama makin
kuat...sampai ia tak bisa bernapas!!! Tapi akhirnya lelaki itu melepaskannya
begitu saja. Begitu saja...Lalu ia pergi. Juga hanya begitu saja. Balik kembali
ke rumah dia sendiri. Santai meninggalkannya. Sebuah peristiwa yang begitu
saja.
5
Pagi
cerah. Matahari muncul dengan warna merah jambu. Beda dari warna matahari di
negerinya, merah jingga. Ah, ia jadi ingat di negerinya sendiri. Pagi begini
adalah waktu untuk menanak nasi untuk suami, dan memasak sesuatu sederhana
lainnya untuk pagi. Juga mengganti popok bayi, memandikan, menyusui bayi dan
suami yang selalu marah-marah jika ia mendengar bayinya menangis tak henti. Ia
sering mendapat tempeleng dan hajaran jika waktunya sedikit berlebih untuk si
orok ketimbang melayani hasratnya seksual suaminya yang sering muncul
pagi-pagi. Dan...beberapa kali sudah suaminya mencoba mencekiknya juga. Tak
terhitung sudah...
6
Tiba-tiba
seseorang sudah ada di depan pintu studionya yang sengaja ia buka sejak tadi
supaya hawa segar pagi masuk.
”Permisi.
Perkenalkan, nama saya Elsebeth. Nyonya Elsebeth.”
”Oh!”
”Apa kabar?
Anda dari mana? Saya tinggal di seberang rumah ini. Saya volunteer yang selalu
menemani dan menjadi teman semua tamu-tamu yang datang ke rumah ini. Sudah
bertahun-tahun beginilah saya. Ingat ya, Elsebeth nama saya. Kali ini selain
Anda, ada tamu bernama a, b, c...mereka masing-masing berasal dari negeri a, b,
c...”
Lalu
satu-satu, ia menceritakan tentang tamu-tamu di rumah ini. Siapa yang sudah
datang, siapa yang akan datang lagi. Juga tentang pemilik rumah ini yang adalah
sahabat karibnya. Yang paling menarik, tentu saja bagian ketika nyonya ini
menceritakan tentang si lelaki gondrong putih besar tinggi perokok dingin kaku
hemat kata itu. Agaknya dia sudah beberapa bulan lalu tinggal di rumah ini.
”Dia
seorang pemberontak, orang keras di negerinya. Ia sekaligus sedang mencari
suaka di negeri ini. Sebagai pemberontak ia hero. Namun secara pribadi ia orang
aneh. Dan untuk urusan pribadinya, ia sangat tertutup pada orang-orang di
negerinya.”
”Oh!”
”Namun,
ssstt, ia bisa terbuka dengan saya. Ia seperti bayi, Oh my baby,” kata ibu ini
mengawang, suara berubah pelan seperti berbisik.
”Tanpa
diketahui banyak orang, ia pernah menginap di penjara beberapa hari. Namun
bukan karena tulisannya tapi karena ia disangka membunuh istrinya. Tapi
peristiwa itu kontroversial. Tak ada bukti-bukti yang memberatkan. Ia bebas.”
”Istrinya
baru saja melahirkan bayi ketika ia meninggal.”
”Bayinya
masih beberapa bulan usianya.”
”Oh!”
”Istrinya
depresi tak mampu layani hasrat seks-nya saban pagi yang seperti harimau.”
”Beberapa
kali tanpa sadar ia mencekik istrinya sendiri.”
”Oh!”
”Istrinya
mati mendadak.”
”Ia
sedang menyusui bayinya.”
”Sementara
itu, ia terus menulis dan membuat kritik tajam...”
”Istrinya
adalah temannya semasa masih mahasiswa dulu. Dialah yang menyelamatkan jiwanya
dalam pembantaian masal dulu itu.”
”Oh!”
”Istrinya
yang waktu itu masih jadi pacarnya menyeret tubuhnya dan menyembunyikannya dari
kejaran polisi.”
”Oh!”
”Ia lari
dari peristiwa pribadinya yang berat itu dan kebetulan mendapat stipendium di
rumah ini dan ia boleh tinggal di sini selama beberapa bulan dan mendapat beaya
hidup juga.”
”Oh!”
”Selama
di sini ia berubah khusyuk. Setiap pagi ia selalu pergi ke ‘rumah kesunyian’,
tempat ibadah bagi sembarang agama. Pindah-pindah dari rumah yang satu ke rumah
kesunyian yang lain-lain yang ada di beberapa kota di dekat sini.”
”Saya
pernah bertemu dengannya di satu rumah kesunyian. Di dalam, ia ternyata hanya
diam saja. Hanya duduk di kursi. Katanya, ia tak perlu apa-apa atau
bagaimana-bagaimana. Katanya, otaknya sudah berkomunikasi langsung dengan Yang
Kuasa. Makanya ia membuat topi dengan ujung atas terbuka...”
”Itulah...”
”Itulah...”
”Oh!”
7
Setelah
si tamu pulang, tiba-tiba seperti ada rangkaian baru dalam otak. Kini ia berada
di antara ruang bayang dan ruang nyata. Termasuk pada peristiwa malam kemarin
perihal lehernya itu. Ia tak yakin apakah itu nyata atau sesungguhnya tak
nyata...tak nyata antara dirinya sendiri dengan mantan suaminya yang ia
tinggalkan jauh di negerinya sana. Sekeping sejarah pahit. Sedang lelaki yang
tinggal di depan studionya itu, bukankah ia bukan siapa-siapa? Semestinya ia
baik-baik saja dengannya. Kini perutnya tak lagi berasa mau muntah. Perasaan
ingin mencabik-cabik itu lenyap dan padam begitu saja. Si macan, yang baru
tumbuh di tubuh, itu telah tak ada. Namun, sejak itu ia lantas juga jadi rajin
pergi ke rumah-rumah kesunyian di kota kota lain di benua itu. Tapi bukan,
bukan lelaki itu yang dicarinya, namun teror, teror di tubuhnya sendiri. Ia
terus mencari...***
rumah
theodor, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar