Rabu, 20 Mei 2015

CERPEN AKIK PIRUS DARI ARAB



Akik Pirus dari Arab
Cerpen Beni Setia
Kompas Minggu, 3 Oktober 1999 hlm.5

HANJELU pulang dari Arab.  Ini kepulangan dari kontrak ker­janya yang ketiga. Datang dengan bus, menjinjing tas traveling untuk dua hari, dan mengisap rokok Amerika saat naik becak.
"Hai," teliak Careham, "mu­lih.  Bawa apa?"
Hanjelu melambaikan tangan.  Dengan cuma berkaus kutang dan celana gombyor Careham mengikuti dengan sepeda.  "Han­jelu mulih, Hanjelu mulih ... !" teriaknya sepanjang jalan kam­pung sambil mengikuti becak Hanjelu.  Lelaki jangkung, kurus, dengan brewok kasar pendek­seperti rambutnya-itu terse­nyum dan manggut-manggut.  Setelah lima puluh kayuhan be­eak itu pun membelok ke sebuah pekarangan.  Direm berderit, di­susul derit sepeda Careham, dan Hanjelu pun turun.  Membayar dengan lima ribu kaku dari dom­pet yang menggelembung diisi sesakan lima ribuan kaku, dan menggeliat.
Dari rumah melesat Honce­wang dan Kingkin, ribut berte­riakan.  Hariwang bergegas dari dapur sambil memanggil suan-d­nya, Hamham.  Kelmudian Han­jelu masuk ke ruang tamu.  Menghenyak di kursi, dan mem­biarkan tasnya dibongkar adik­adiknya.  "Nggak ada apa-apa, baju dan rokok tok!  " katanya­tetapi juga di sana ada walkman dan beberapa kaset.
"Kena rampok ta?  Di-PHK?" teriak Careham.  Beberapa te­tangga berdatangan.  "Kok mu­lih polosan begitu." Hanjelu tertawa. Ia mengambil rokok dan menverahkannya di meja.  "Ayo rok(;k airport ini.  Coba," kata­nya. la melirik pada kedua orangtuanya, bangkit dan mem­bungkuk menyalaminya.  Ibunya menatap Hanjelu, mengusap kepalanya, dan air matanya mengalir "Sudahlah, Bu, su­dah kata Hamham.

Hanjelu masuk ke dalam, Hanjelu membeiikan tak ter­ukur uang yang bisa ditarik daii dompet dan memberikannya pada ibunya.  "Carikan jajan dan kopi, Ma," katanya, "kasihan yang datang..." Dan ia pun ba­lik.  Membongkar tas dan me­ngeluarkan silinder Coca Cola, membukanya dengan gaya film Amerika, dan perlahan mene­guknya.  "Di airport lebih gam­pang ambil minuman begini di­bandingkan kopi atau teh.  Su­lit," katanya.  Tabung itu disim­pan dan disikat oleh adiknya dan dirampas oleh yang lebih kecil.  Hanjelu tersenyum. la me­nyalakan rokok dan bersandar.  Di depannya, di sekelilingnya, orang berkerumun dan para le­laki membuka dan mengisapi rokok putih ini.  "Aku ambil yang light," katanya, "biar en­teng.  Di Arab, di tengah AC, aku lebih suka yang mentol.  Jitu.  "
Orang-orang itu mengangguk dan meringis.  "Payah," pikir mereka, "mana bawaan dari Arab?  Kok hanya lenggang­kangkung begitu?  Apa memang tak dapat duit?  Lalu mengapa masih ngoceh AC, mentol, coke dingin, dan apa lagi?" Dan me­reka tak tabu kalau duit lang­sung masuk rekening, dan mere­ka tak tabu kalau barang lang­sung dipaketkan.  Hanjelu capek dikeroyok orang-orang kam­pung setiap pulang dari kerja di luar, seakan-akan ia hanya duta kampung dan karenanya harus bagi deviden pada orang kam­pung.
HANJELU punya deposi­to tujuh puluh juta ru­"Hpiah dan tabungan­bunga deposito langsung ma­suk dua juta rupiah.  Di pasar, di kota kecamatan, ia punya kios depan pasar.  Khusus untuk barang kering atau toko klon­tong.  "Aku investasi," katanya pada Careham.  Yang diajak omong manggut-manggut sam­bil mengemyit.  Untuk apa su­sah-susah cari duit ke Arab ka­lau pulang hanya untuk buka warung di pasar?  Mengapa tak langsung buka warung saja?
Hanjelu menarik napas pan­jang.  Mengeluarkan rokok dan berbagi dengan Careham dan dua orang lainnya.  "Aku akan ke Arab lagi," katanya.  "Aku akan menyewakan kios ini.   Mes­ki, sebenarnya, aku sedang men­cari brang yang mau diberi ke­percayaan mengelola warung ini.  Apa? (Hanjelu tertawa).  Bu­kan, bukan kamu-bukan orang lelaki tetapi orang perempuan.  He... aku sedang mencari bojo... "
Careham dan dua orang itu saling pandang.  Mereka melihat Hanjelu seperti melihat Raden Royal Murah Hati, yang dengan diiming-imingi gadis gampang menghamburkan uang.  Mung­kin.  Akan tetapi Hanjelu bisa menebak logika mereka dan menggeleng-gelengkan kepala­nya.  "Aku butuh perempuan mandiri," katanya, "bisa diper­caya, bisa mengelola, dan kare­nanya bisa hidup berbagi.  Ber­pahit sebelummemetik hasil
"Kamu serius?" tanya Care­ham.  Hanjelu mengangguk. la menatap kawannya itu dan me­nepuk bahunya.  Hanjelu keluar kios dan di teritis, di antara orang bersimpuh menjajakan dagangan kampung dan pembe­li, teraling dari sergapan teak siang: memperhatikan sekitar.  Halaman parkir yang di sore hari dijadikan tempat menjaja­kan makanan, dengan gerobak sorong dan tenda.  Yang seka­rang dijejali parkir sepeda dan mobil serta lingkaran penjual obat itu menjanjikan tak putus­putusnya orang dan kerumunan.  Dengan terus-menerus buka dan senantiasa menyediakan barang pilihan-harganya bisa diatur-maka ia akan memulai hidup baru yang kukuh.  Kepas­tian, dan bukan keserbatakpas­tian dengan dua anak macam Careham.  Ya! la enam tahun di Arab-tiga kali kontrak dengan masa jeda singkat pulang dan dua kali ganti majikan, dan Careham mempersatukan dua keluarga, dua kelamin, dan me­nemukan dua kelamin baru lagi.
"Santai saja," kata Careham.  Hanjelu menarik napas panjang.  Dua tahun pertama jadi portir, dua kali dua tahun kedua men­jadi pelayan, dan kemudian ke­amanan di sebuah Toserba khu­sus untuk wanita-para berjil­bab yang tak kelihatan apa-apa.  Mereka tak pernah menatapnya dan tak mau ditatap.  "Abid!  " te­riaknya, satu kali.  Ya!  Tetapi ia memiliki rekening dan memu­tuskan hanya mengirim uang ke dalam rekeningnya ketimbang bawa duit banyak dan tak men­jadi apa-apa pada kepulangan­nya yang pertama.  Atau jadi se­peda motor yang terpaksa dijual untuk ongkos daftar lagi ke Arab.  Dan sekarang ia tabu: ha­rus mengirit dan memang hanya boleh memberi recehan pada se­tiap orang yang hanya tabu me­nuntut deviden sambil tak per­nah ikut jungkir balik.
"Kamu serius?" tanya Care­ham sambil menyentuh bahu­nya.  Hanjelu membalik dan ter­senyum.  "Tenang, tenang ka­tanya.  Ya!  Careham punya adik wanita, dan adik ipar gadisnya pun baru lulus SMA.  Tetapi bu­kan perempuan bau kencur macam itu yang ia cari.  Bukan! la menginginkan seorang peker­ja, yang menerima kepercayaan dan mengambil tanggung ja­wab, yang mau banting tulang dan memiliki kata sandi untuk membuka dan menutup pintu rahasia gua har-ta Ali Baba.  Per­siapan untuk anak dan bukan untuk dihabiskan selagi diri me­rasa bisa dan mampu-meski sedikitnya bisa bersenang-se­nang sedikit.  Memang!  Dan ga­dis-gadis bau kencur yang ha­nya nikmat diajak jalan-jalan, jajan, dan dikencani itu?
NANTI malam kamu seng­gang, luang?" kata Hanjelu setengah berbisik setelah menarik Careham men­jauhi teras.  Careham menatap.  "Ada apa?" katanya.  Hanjelu mengambil rokok dan menyu­lutnya sebatang sambil mem­pe rhatikan Careham menge­luarkan sebatang rokok.  "Aku ingin melamar Kincring," ka­tanya, menggelengkan kepala ketika Careham mau bicara.  "Sudah, sudah ... ! Aku serius, sa­ngat serius.  Rasanya aku telah menemukan perempuan yang bisa aku ajak kerja sama."
Careham tersenyum, mengge­leng-gelengkan kepalanya dan menunduk.  "Nanti batal lagi kayak seperti dengan Ulaweran.  Aku'kan malu bila bertemu de­ngan keluarganya.  Kamu tahu, aku sampai mendatanginya dan minta maaf.  Nunduk-nunduk.  Seriuslah kalau berkehendak.  Kamu benar-benar telah men­jatuhkan pihhan?  Bener?" kata­nya, sambil tajam menatap.  Hanjelu mengisap r-okoknya dan perlahan menghembuskan asapnya.  Hanjelu menarik na­pas panjang.  "Aku tak tahu," katanya, "Aku tak tahu... "
Careham menyemburkan asap rokoknya.  "Kamu akan be­rapa lama lagi tinggal di sini?  Paling banter sebulan atau sete­ngah tahun.  Melaiu ke Arab atau ke Brunei-bahkan ke Korea seperti yang kamu omongkan.
Bebas masalah, habis perkara.  Aku ini?  Seumur hidup di sini dan akan balik lagi ke sini.  Bahkan kalau aku bilang aku, maka yang dimaksudkan adalah keluarga istriku ke atas dan ke samping, keluarga aku ke atas dan ke samping.  Berkaitan.  Ma­lu aku.  Dan apakah kamu tak merasakan batin ayah dan ibu­mu saat membatalkan pertu­nangan dengan Ulaweran kare­na terpikat bocah ingusan, Su­lali?"
"Aku mencari yang terbaik, Ham," kata Hanjelu.  Careham menatap Hanjelu.  Careham menggeleng-gelengkan kepala­nya.  Mungkin benar Hanjelu se­dang mencari dan karenanya berhak melakukan penjajakan dan pilihan ragu.  Memang.  Teta­pi apakah yang dicari dan dipi­lih itu hanya obyek dan bukan subyek?  Apakah perempuan ha­nya uhtuk dipertimbangkan dan kemudian disortir?  Baik pen­campakan itu ketika di fase pen­jajakan atau di fase penjajakan intensif percintaan?  Bahkan­sekalipun-setelah pemikahan dan hanya karena merasa tak bisa diatur atau salah dan ku­rang pas mengadopsi dan meng­akomodasi ungkapan tipe ideal dari si suami?
Careham menatap Hanjelu. la merasa bahwa Hanjelu bukan dari lingkungannya.  Tak pedwi ia telah hidup bareng sejak mu­lai bisa bermain hingga tamat SMA.  Setelah tamat SMA dan dua tahun menganggur, ketika­dengan menuntut sawah wa­hsan dan bikin paspor-Han­jelu memilih ke Arab dan ia te­tap di kampung dan kawin.  Ke­tika Hanjelu balik dari Arab dan membeli sawah lebih luas lagi dari sawahnya yang dijual itu.  Apakah istil cuma mitra bisnis?  Apakah istii cuma pemegang sa­ham rninoritas dan karenanya berhak ditendang.? Mengapa tak menerimanya sebagai persatuan serta persekongkolan memba­ngun kebersamaan?  Menjadi ku­at dalam suka dan duka?  Menempuh kebersamaan untuk membentuk manusia baru yang diamanahkan-Nya?  Bukankah perkawinan adalah memperluas dan mempererat tali silaturah­mi? Dan karenanya membangun kebersamaan dan kekerabatan itulah yang penting dibanding membangun usaha bersama de­ngan hak otoritatif ada di ta­ngan si suan-d?
"A-ku malu, Han.  Aku nggak berani kata Careham.  Han­jelu menarik napas panjang.  "Tolong ... " katanya.  Careham menggeleng-gelengkan kepala­nya.  "Tolong aku, Han-pahami posisiku,",kata Careham.  Han­jelu menunduk.  Perlahan mena­rik napas dan menahannya lama di dada.  "Ya...... katanya, pelan.
APAKAH aku salah?" de­sis Hanjelu.  Kepalanya "Atertunduk, tangannya di mulut dengan jari meniepit rokok dan tarikan-tarikan pen­dek yang menyebabkan waiah­nya dipenuhi asap.  Hanjelu ter­batuk.  Kepalanya menjiflang dan ditarik mundur hinggap asap rokok itu menjauh.  "Apakah aku salah?" katanya lagi.  Careham diam.  Careham tabu bahwa kalimat itu tak ditujukan kepada siapa pun dan. lebih di­tukikkan ke dalam dinnya sen­diri.  Meski begitu tangannya di­ulurkan dan perlahan dipijitkan pada kuduk Hanjelu.  "Mungkin hanya salah paham, Han.  Kamu sudah memperbincangkannya?" katanya.
Hanjelu membalik dan mena­tap Careham.  "Aku bergatd in­tensif, sangat intensif-aku ma­lah telah sebulan bolak-balik menginap di rumahnya.  Aku, kemudian, diminta untuk da­tang melamar.  Sungguh!  Aku datang.  Mereka OK, lalu-men­dadak-Kincring niinta putus.  Apa ini?" kata Hanjelu.  Care­ham mengambil kotak rokok yang tergeletak di meja, menca­but sebatang, dan menyulutnya setelah mengetuk-ngetukkan­nya perlahan-lahan.  "Mungkin karena ia mendengar kisahmu dengan Ulaweran?" kata Care­ham.  Hanjelu menggeleng.  "Aku sudah buka kartu " katanya menggeleng-gelenngkan kepala­nya.  "Tblong aku, Han-pahami posisiku,",kata Careham.  Han­jelu menunduk.  Perlahan mena­rik napas dan menahannya lama di dada.  "Ya...... katanya, pelan.
APAKAH aku salah?" de­sis Hanjelu.  Kepalanya "tertunduk, tangannya di mulut dengan jari meniepit rokok dan tarikan-tarikan pen­dek yang menyebabkan waiah­nya dipenuhi asap.  Hanjelu ter­batuk.  Kepalanya menjiflang dan ditarik mundur hinggap asap rokok itu menjauh.  "Apakah aku salah?" katanya lagi.  Careham diam.  Careham tabu bahwa kalimat itu tak ditujukan kepada siapa pun dan. lebih di­tukikkan ke dalam dinnya sen­diri.  Meski begitu tangannya di­ulurkan dan perlahan dipijitkan pada kuduk Hanjelu.  "Mungkin hanya salah paham, Han.  Kamu sudah memperbincangkannya?" katanya.
Hanjelu membalik dan mena­tap Careham.  "Aku bergatd in­tensif, sangat intensif-aku ma­lah telah sebulan bolak-balik menginap di rumahnya.  Aku, kemudian, diminta untuk da­tang melamar.  Sungguh!  Aku datang.  Mereka OK, lalu-men­dadak-Kincring niinta putus.  Apa ini?" kata Hanjelu.  Care­ham mengambil kotak rokok yang tergeletak di meja, menca­but sebatang, dan menyulutnya setelah mengetuk-ngetukkan­nya perlahan-lahan.  "Mungkin karena ia mendengar kisahmu dengan Ulaweran?" kata Care­ham.  Hanjelu menggeleng.  "Aku sudah buka kartu " katanya, "A,ku tak cocok karena ia meno­lak untuk membuka warung se­lama ditinggal.  Aku katakan, aku butuh kawan untuk menge­lolanya demi masa depan.  Kin­cring setuju, tetapi ia ingin se­kali lagi-kontrak tiga tahun­kembali ke Hongkong.  Ingin membeh bekal pada orangtua­nya dan menambah sedikit ta­bungan.  Aku OK.  Tbtapi... "
"Apakah aku salah?" desis­nya.  Hanjelu bangkit dan meiig­isap rokoknya cepat-cepat dan pendek-pendek di depan jen­dela.  "Apakah aku salah?" kata­nya, "Aku'kan cuma mengajak seilus.  Aku minta ia mentrans­fer uangnya langsung ke reke­ningku-ke rekening orangtua­nya selalu habis, katanya­langsung agar aman.  A-ku tak mungkin memakainya, aku akan ke Arab lagi.  Dua tahun.  Tetapi kemudian, setelah setuju, ia bilang bahwa aku mau enak­nya saja dan cuma ingin meng­ambil lelohan keringatnya.  Maaf-katanya-bapakku bi­lang gagasanmu edan dan kare­nanya lebih baik bubaran dulu agar bisa bebas di Hongkong.  Sontoloyo-kalau jodo, kata­nya, mungkin kita bisa bertemu lagi.  Bango!  "
Hanjelu mengambil cincin da­ri saku celananya dan memper­hatikannya dalam terang lampu.  "Aku dua kali melamar," kata­nya, "satu aku yang memutuskan dan satunya lagi aku yang dipu­tuskan.  Kenttpa?  Apa yang salah?  Apakah karena akik Pirus dari Arab ini, dari al-Assyan yang mengatakan bisa jadi pekasih tetapi tak bisa mengingkari jodoh.  Benarkah belum jodo?  Ataukah aku memang terlalu rewel de­ngan duit?  Apakah aku memang mata duitan?  Ham, tolong kata­kan aku ini apa dan manusia je­nis apa.  Tolong." Hanjelu meng­geleng-gelengkan kepalanya.
Seminggu ia menghilang.  Dua bulan kemudian ia berangkat la­gi ke Arab.  Kontrak lima tahun.  Sebelum berangkat ia mem­berikan akik Pirus Arab itu de­ngan meringis.  "Mungkin cocok bagi yang sudah jelas jodo-nya.  Untuk iseng," katanya.  Kemu­dian ia memberikan sepasang cincin emas pertunangan itu.  "Anggaplah ini sebagai kado," katanya.  Careham menelan lu­dah, mengucapkan terima kasih, dan mendoakannya agar sela­mat.  "Kirimi aku surat, sebulan sekali," kata Hanjelu, "Aku suka keseplan di sana.  Sangat ke­sepian... " Careham mengangguk.  Hanj elu j alan pelan setengah me­nunduk.  Lesu.  Pilu. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar