Rabu, 20 Mei 2015

CERPEN AKSARA



Aksara

Cerpen Ria Utari
Dimuat di Media Indonesia 03/26/2006

ADA sebentuk kalimat di tubuh Vidya. Ia menemukannya pagi ini saat telanjang di kamar mandi. Digosoknya pelan aksara berwarna hitam yang berjalin rapat di paha kirinya. Tampak jelas di atas kulitnya yang berwarna cokelat jahe. Vidya menggumamkannya perlahan: Kamu bukanlah Uma.
Awalnya Vidya hanya merabai pelan tulisan itu seolah permukaan batik yang baru saja ditulisi dengan canting. Lama-lama gerakan tangan Vidya semakin keras menggosok tulisan itu. Tak mau hilang. Menetap di sana. Bahkan setelah Vidya mengusapnya dengan sabun scrub beraroma chamomile yang dibelinya di sebuah toko aromaterapi seminggu lalu. Tulisan itu bahkan tak berkabut sama sekali.
Vidya mengumpat. Aksara itu merusak acara mandi yang biasanya sangat ia hayati bahkan di setiap tetesan air yang jatuh dari pori-pori shower di atas kepalanya. Kini perhatiannya tercurah pada paha kirinya. Ia meraih gagang shower dan mengarahkan bagian kepalanya tepat di atas paha yang bertuliskan kalimat itu. Sia-sia. Pahanya yang kini semakin pucat justru semakin jelas memperlihatkan tulisan itu.
Biasanya butuh waktu satu jam bagi Vidya untuk mandi. Tapi kini ia langsung keluar dalam hitungan setengah jam. Setengah dari waktunya digunakan untuk menggosok kalimat itu. Bukannya hilang, usaha menghilangkan--setidaknya mengaburkan tulisan itu--malah meninggalkan warna merah di sekitar tulisan itu.
Vidya membiarkan tubuh telanjang basahnya berjalan-jalan di kamar. Ia tak memedulikan tetesan air yang jatuh dari ujung rambut dan bergulir di permukaan kulitnya. Sambil memandang tubuhnya di depan cermin, ia menggumamkan kembali tulisan itu. Seperti mantra, kalimat itu seolah melemparkannya kembali ke pertemuannya dengan Vishnu tiga tahun silam.
***
Saat itu Vidya menarikan Kali di pelataran Candi Sukuh. Vidya tahu pertunjukan itu tak lebih sebuah proyek idealis yang memang tak membutuhkan banyak penonton. Ia lebih menempatkan karya solonya itu sebagai pembuktian atas kariernya yang tiga tahun silam menempuh satu dekade dalam hidupnya. Toh asumsinya bahwa pertunjukannya paling banter hanya ditonton kritikus, teman, keluarga atau saingannya, tak terbukti benar.
Sosoknya sebagai penari dan koreografer yang sejak awal menyajikan karya eksperimentatif--meski dinilai orang hanya cenderung memamerkan kemolekan tubuhnya--cukup menyedot perhatian. Apalagi jauh-jauh hari Vidya menyatakan Kali sebagai representasi gerak atas setiap pahatan di candi itu. Wajar jika ruangan penonton penuh sesak--sebagian besar lelaki--dipadati wajah-wajah penasaran menanti visualisasi perjalanan (sebagian besar seksual) manusia yang terukir bisu di setiap relung batu Candi Sukuh.
Meski tak banyak menampilkan perbedaan dengan karya-karya Vidya lainnya, pertunjukan itu terbilang berhasil. Setidaknya diukur dari kekhidmatan penonton yang terus terdiam mengikuti setiap otot tubuh Vidya yang hanya dibungkus penutup dada warna putih dan kain lilit sepanjang lutut yang terlihat percuma menutupi kakinya yang terus dan makin mengencang hingga akhir. Tanpa musik, Kali hanya sesekali menyuarakan napas Vidya yang terus memburu dan memuncak di ujung tariannya yang berakhir dengan gerakan kematian: ia terkapar di atas altar, menggeletak lunglai seperti korban sajian.
Di antara ucapan selamat yang didapatnya setelah itu, Vidya tertegun pada sosok seorang lelaki berkulit kelam yang berdiri mematung lurus sekitar lima langkah di depannya. Vidya tersenyum. Lelaki itu tak membalas. Beku menatap Vidya. Keheningannya membuat Vidya tertantang. Ia melangkah mendekati lelaki itu. Dalam lima langkah Vidya sudah berhadapan dengan lelaki itu.
"Apakah kita pernah bertemu?" tanya Vidya.
"Setiap waktu." Lelaki itu ternyata memiliki suara yang mengingatkan Vidya pada bunyi tapak kaki yang menginjak rumput basah, gema di balik air terjun, dan desau angin yang menggoyangkan daun.
"Malam ini ingatkan aku pada pertemuan kita," bisik Vidya di telinga lelaki itu sambil berlalu.
Malam itu, Vidya melantunkan kembali setiap pahatan Sukuh bersama lelaki itu di pelataran candi. Di tengah sunyi. Di antara kabut. Di sela dingin yang meneteskan keringat di tubuh mereka. Di ujung napas, lelaki itu berbisik: Kamu bukanlah Uma. Saat pagi, Vidya mendapati nama lelaki itu terpahat di atas pusarnya: Vishnu.
***
Semalam Vidya bermimpi bertemu dengan Vishnu di pelataran candi. Ada kerinduan keramat yang terlihat di mata Vishnu. Vidya mengelus perlahan pipi Vishnu yang dingin.
"Kamu menghilang," ujar Vidya tanpa bersuara. Entah mengapa ia merasa yakin Vishnu mendengarnya tanpa harus berkata.
"Aku selalu ada." Vishnu juga berkata tanpa suara.
"Jadi kamu yang menulis ini semua di tubuhku?"
Vishnu mengangguk.
"Kamu bukan Uma. Kamu milikku. Kamu bukanlah pengelana."
Vidya terbangun. Di sebelahnya ia memandang tubuh Vel, manajer yang membawanya datang ke Dublin. Sudah sebulan ini Vidya berpacaran dengannya. Kasus klise antara artis dan manajer yang sengaja dipilihnya sebagai penambah halaman buku hariannya. Bagaimanapun Vel bukanlah pilihan buruk. Dengannya, Vidya tak hanya merasakan hubungan lintas ras tapi juga berbagai kemudahan untuk membuat sejumlah produksi tari bersama koreografer-koreografer setempat.
Tanpa suara, Vidya melangkah menuju jendela kamarnya yang terbuka. Seingatnya, ia sudah menutupnya tadi sebelum tidur. Angin akhir musim gugur menerabas masuk tanpa sungkan. Mata Vidya terarah ke sudut pertemuan jalan College Green dan Westmoreland yang berujung di pintu gerbang Trinity College. Kebetulan Vidya menempati ruang kosong di lantai dua sebuah bangunan tua di ujung Dame Street yang tepat berada di seberang pintu utama Trinity College. Suatu kebetulan yang selalu memunculkan decak iri teman-temannya.
Di bawah sana ia melihat beberapa lelaki pemabuk yang Vidya yakin datang dari Temple Bar. Seorang di antara mereka tampak berhenti di depan gerbang Trinity College. Lelaki itu memelorotkan celananya dan mengucurkan air kekuningan dari kemaluannya. Ritual ini membuatnya tertinggal dari kawan-kawannya yang sudah tak tampak lagi. Vidya yakin lelaki itu akan bergegas berlari menyusul. Tapi tiba-tiba lelaki itu berbalik dan melihat tepat ke arah jendela Vidya. Mata lelaki itu menatap tepat ke arah Vidya yang membeku di ambang jendela. Vidya tahu mata itu milik Vishnu, meski dalam wadag berbeda.
Reflek mata Vidya terpejam. Hanya beberapa detik. Saat membukanya kembali, Vidya melihat lelaki itu sudah berjalan terhuyung menjauh. Kepergian lelaki itu mendorong Vidya menengok tubuhnya. Firasatnya terbukti. Tanpa suara, mulut Vidya ternganga melihat kata-kata berhamburan memenuhi dada, perut, pinggul, punggung, kedua tangan dan kakinya. Setengah bergegas, Vidya berjalan menuju cermin. Ia menghela napas saat melihat kata-kata itu tak bertengger di wajahnya.
***
Ruangan Samuel Beckett Theatre terlihat hening. Tiga orang di sana tampak duduk dalam diam. Mereka baru saja disuguhi pemandangan yang tak lazim. Vel tampak mengelus cambangnya dengan gelisah. Di sebelahnya, Deirdre memilin kedua telapak tangannya di atas pangkuannya. Punggungnya tersandar kaku di bantalan kursi. Sunyi itu akhirnya pecah dengan desahan Jonesy.
"Kamu sudah mengetahuinya kan Vel?" gumam Jonesy sambil tetap menatap panggung yang kosong. Vel mengangguk. Dari sudut matanya, Jonesy menangkap gerakan kepala Vel.
"Lantas, kenapa kamu...?"
"Aku tak tahu kalau tubuhnya akan menjadi seperti itu, Jon."
"Bagaimana mungkin kamu tak tahu. Kamu menghabiskan setiap malam dengannya Vel," sergah Deirdre gusar.
"Yah...waktu itu hanya ada beberapa goresan kata di pahanya. Aku pikir tulisan itu juga akan hilang nantinya. Aku membantunya menggosok tulisan itu Deir. Tapi percuma. Tulisan itu seperti tato. Aku sendiri heran dengan kemunculannya. Selalu tiba-tiba. Saat ia tertidur. Pernah aku terjaga menungguinya. Tapi tetap saja kata-kata itu muncul."
"Lantas sekarang bagaimana? Proyek ini tak mungkin dibatalkan. Dia harus tetap tampil."
"Dengan tubuh seperti itu? Sejak awal kita sepakat menginginkan tubuhnya polos di atas panggung. Kini tulisan-tulisan itu seolah selubung di tubuhnya," tukas Deirdre. Tampak jelas ia tak setuju dengan keinginan Jonesy untuk tetap menampilkan Vidya.
Sejak semula, Deirdre memang meragukan ide Jonesy untuk menampilkan unsur Asia dalam produksi mereka. Tapi melihat keberanian eksentrik Vidya saat tampil di Singapura, Deirdre akhirnya setuju. Bagaimanapun hanya penari segila Vidya yang langsung menyanggupi tawaran terlibat dalam produksi Jonesy tentang kehidupan dewa-dewi dunia primitif, meski itu harus tampil telanjang.
Kini rencana itu terancam gagal. Deirdre sebagai produser merasa percuma membiayai sebuah pementasan ketika tubuh penari utamanya tak lagi bisa tampil lugas. Pagi ini saat rehearsal, dia dan Jonesy terhenyak mendapati sekujur tubuh Vidya penuh goresan. Sudah terlambat untuk membatalkan pementasan. Malam nanti pertunjukan tersebut dibuka.
Deirdre menengok satu per satu wajah kedua lelaki yang duduk terpekur di sampingnya. Bagaimanapun keputusan ada di tangannya apakah pertunjukan itu tetap berlangsung atau batal.
"Kita harus terus. Mungkin penonton akan percaya tulisan-tulisan itu bagian dari konsep kita," tegas Deirdre dengan nada terpaksa.
***
Malam itu Vidya muncul di depan 300 mata penonton yang tiga perempatnya lelaki. Setengah dari mereka merasa pernah intim mengenal Vidya. Perasaan percuma sebenarnya karena Vidya tak mungkin bisa mengingat tak lebih dari lima nama di sana. Nama tak penting bagi Vidya. Sebagai penari ia hanya memerlukan tubuh.
Tanpa musik, tubuh Vidya langsung menyedot perhatian saat lampu panggung menyorot tepat dari atas kepalanya. Ia menggerakkan engsel kedua bahunya tanpa mengubah posisi tangannya. Selama sepuluh menit, setiap gerakan Vidya terus dihujani cahaya.
Ketika lampu kembali padam, saat itulah Vidya harus bersiap memulai duetnya dengan Rohl. Ia mengambil posisi di tengah panggung. Dalam diam, Vidya harus menunggu kedatangan Rohl dari samping kanan panggung.
Terang kembali di atas panggung. Saat itulah sejarah mencatat pencapaian artistik panggung dengan tubuh seorang penari tampak perlahan-lahan memburaikan kata-kata yang membubung terbang dari tubuhnya. Semula penonton melihat tubuh telanjang penari itu tampil dengan sentuhan body painting berbentuk aksara.
Seiring munculnya bunyi siulan, aksara itu melayang, lepas, terangkat dari tubuh penari itu. Dengan irama konstan, aksara itu bergerak ke atas mengelilinginya. Satu per satu. Lantas beramai-ramai. Seolah kepulan debu taifun yang membungkus penari itu dalam bentuk spiral. Ribuan aksara itu terbang ke atas. Terus ke atas menembus rangka langit-langit. Saat debu aksara itu mulai menipis, tak satu pun mata penonton menemukan kembali tubuh Vidya di atas panggung. Tak juga setitik bayangannya. Hingga kini.
Jakarta, 15 Februari 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar