ADA sebentuk kalimat di
tubuh Vidya. Ia menemukannya pagi ini saat telanjang di kamar mandi. Digosoknya
pelan aksara berwarna hitam yang berjalin rapat di paha kirinya. Tampak jelas
di atas kulitnya yang berwarna cokelat jahe. Vidya menggumamkannya perlahan: Kamu
bukanlah Uma.
Awalnya Vidya hanya
merabai pelan tulisan itu seolah permukaan batik yang baru saja ditulisi dengan
canting. Lama-lama gerakan tangan Vidya semakin keras menggosok tulisan itu.
Tak mau hilang. Menetap di sana. Bahkan setelah Vidya mengusapnya dengan sabun scrub
beraroma chamomile yang dibelinya di sebuah toko aromaterapi seminggu
lalu. Tulisan itu bahkan tak berkabut sama sekali.
Vidya mengumpat. Aksara
itu merusak acara mandi yang biasanya sangat ia hayati bahkan di setiap tetesan
air yang jatuh dari pori-pori shower di atas kepalanya. Kini
perhatiannya tercurah pada paha kirinya. Ia meraih gagang shower dan
mengarahkan bagian kepalanya tepat di atas paha yang bertuliskan kalimat itu.
Sia-sia. Pahanya yang kini semakin pucat justru semakin jelas memperlihatkan
tulisan itu.
Biasanya butuh waktu
satu jam bagi Vidya untuk mandi. Tapi kini ia langsung keluar dalam hitungan
setengah jam. Setengah dari waktunya digunakan untuk menggosok kalimat itu.
Bukannya hilang, usaha menghilangkan--setidaknya mengaburkan tulisan itu--malah
meninggalkan warna merah di sekitar tulisan itu.
Vidya membiarkan tubuh
telanjang basahnya berjalan-jalan di kamar. Ia tak memedulikan tetesan air yang
jatuh dari ujung rambut dan bergulir di permukaan kulitnya. Sambil memandang
tubuhnya di depan cermin, ia menggumamkan kembali tulisan itu. Seperti mantra,
kalimat itu seolah melemparkannya kembali ke pertemuannya dengan Vishnu tiga
tahun silam.
***
Saat itu Vidya menarikan
Kali di pelataran Candi Sukuh. Vidya tahu pertunjukan itu tak lebih
sebuah proyek idealis yang memang tak membutuhkan banyak penonton. Ia lebih
menempatkan karya solonya itu sebagai pembuktian atas kariernya yang tiga tahun
silam menempuh satu dekade dalam hidupnya. Toh asumsinya bahwa pertunjukannya
paling banter hanya ditonton kritikus, teman, keluarga atau saingannya, tak
terbukti benar.
Sosoknya sebagai penari
dan koreografer yang sejak awal menyajikan karya eksperimentatif--meski dinilai
orang hanya cenderung memamerkan kemolekan tubuhnya--cukup menyedot perhatian.
Apalagi jauh-jauh hari Vidya menyatakan Kali sebagai representasi gerak
atas setiap pahatan di candi itu. Wajar jika ruangan penonton penuh
sesak--sebagian besar lelaki--dipadati wajah-wajah penasaran menanti
visualisasi perjalanan (sebagian besar seksual) manusia yang terukir bisu di
setiap relung batu Candi Sukuh.
Meski tak banyak
menampilkan perbedaan dengan karya-karya Vidya lainnya, pertunjukan itu
terbilang berhasil. Setidaknya diukur dari kekhidmatan penonton yang terus
terdiam mengikuti setiap otot tubuh Vidya yang hanya dibungkus penutup dada
warna putih dan kain lilit sepanjang lutut yang terlihat percuma menutupi
kakinya yang terus dan makin mengencang hingga akhir. Tanpa musik, Kali
hanya sesekali menyuarakan napas Vidya yang terus memburu dan memuncak di ujung
tariannya yang berakhir dengan gerakan kematian: ia terkapar di atas altar,
menggeletak lunglai seperti korban sajian.
Di antara ucapan selamat
yang didapatnya setelah itu, Vidya tertegun pada sosok seorang lelaki berkulit
kelam yang berdiri mematung lurus sekitar lima langkah di depannya. Vidya
tersenyum. Lelaki itu tak membalas. Beku menatap Vidya. Keheningannya membuat
Vidya tertantang. Ia melangkah mendekati lelaki itu. Dalam lima langkah Vidya
sudah berhadapan dengan lelaki itu.
"Apakah kita pernah
bertemu?" tanya Vidya.
"Setiap
waktu." Lelaki itu ternyata memiliki suara yang mengingatkan Vidya pada
bunyi tapak kaki yang menginjak rumput basah, gema di balik air terjun, dan
desau angin yang menggoyangkan daun.
"Malam ini ingatkan
aku pada pertemuan kita," bisik Vidya di telinga lelaki itu sambil
berlalu.
Malam itu, Vidya
melantunkan kembali setiap pahatan Sukuh bersama lelaki itu di pelataran candi.
Di tengah sunyi. Di antara kabut. Di sela dingin yang meneteskan keringat di
tubuh mereka. Di ujung napas, lelaki itu berbisik: Kamu bukanlah Uma.
Saat pagi, Vidya mendapati nama lelaki itu terpahat di atas pusarnya: Vishnu.
***
Semalam Vidya bermimpi
bertemu dengan Vishnu di pelataran candi. Ada kerinduan keramat yang terlihat
di mata Vishnu. Vidya mengelus perlahan pipi Vishnu yang dingin.
"Kamu menghilang,"
ujar Vidya tanpa bersuara. Entah mengapa ia merasa yakin Vishnu mendengarnya
tanpa harus berkata.
"Aku selalu
ada." Vishnu juga berkata tanpa suara.
"Jadi kamu yang
menulis ini semua di tubuhku?"
Vishnu mengangguk.
"Kamu bukan Uma.
Kamu milikku. Kamu bukanlah pengelana."
Vidya terbangun. Di
sebelahnya ia memandang tubuh Vel, manajer yang membawanya datang ke Dublin.
Sudah sebulan ini Vidya berpacaran dengannya. Kasus klise antara artis dan
manajer yang sengaja dipilihnya sebagai penambah halaman buku hariannya.
Bagaimanapun Vel bukanlah pilihan buruk. Dengannya, Vidya tak hanya merasakan
hubungan lintas ras tapi juga berbagai kemudahan untuk membuat sejumlah
produksi tari bersama koreografer-koreografer setempat.
Tanpa suara, Vidya
melangkah menuju jendela kamarnya yang terbuka. Seingatnya, ia sudah menutupnya
tadi sebelum tidur. Angin akhir musim gugur menerabas masuk tanpa sungkan. Mata
Vidya terarah ke sudut pertemuan jalan College Green dan Westmoreland yang
berujung di pintu gerbang Trinity College. Kebetulan Vidya menempati ruang
kosong di lantai dua sebuah bangunan tua di ujung Dame Street yang tepat berada
di seberang pintu utama Trinity College. Suatu kebetulan yang selalu
memunculkan decak iri teman-temannya.
Di bawah sana ia melihat
beberapa lelaki pemabuk yang Vidya yakin datang dari Temple Bar. Seorang di
antara mereka tampak berhenti di depan gerbang Trinity College. Lelaki itu
memelorotkan celananya dan mengucurkan air kekuningan dari kemaluannya. Ritual
ini membuatnya tertinggal dari kawan-kawannya yang sudah tak tampak lagi. Vidya
yakin lelaki itu akan bergegas berlari menyusul. Tapi tiba-tiba lelaki itu
berbalik dan melihat tepat ke arah jendela Vidya. Mata lelaki itu menatap tepat
ke arah Vidya yang membeku di ambang jendela. Vidya tahu mata itu milik Vishnu,
meski dalam wadag berbeda.
Reflek mata Vidya
terpejam. Hanya beberapa detik. Saat membukanya kembali, Vidya melihat lelaki
itu sudah berjalan terhuyung menjauh. Kepergian lelaki itu mendorong Vidya
menengok tubuhnya. Firasatnya terbukti. Tanpa suara, mulut Vidya ternganga
melihat kata-kata berhamburan memenuhi dada, perut, pinggul, punggung, kedua
tangan dan kakinya. Setengah bergegas, Vidya berjalan menuju cermin. Ia
menghela napas saat melihat kata-kata itu tak bertengger di wajahnya.
***
Ruangan Samuel Beckett
Theatre terlihat hening. Tiga orang di sana tampak duduk dalam diam. Mereka
baru saja disuguhi pemandangan yang tak lazim. Vel tampak mengelus cambangnya
dengan gelisah. Di sebelahnya, Deirdre memilin kedua telapak tangannya di atas
pangkuannya. Punggungnya tersandar kaku di bantalan kursi. Sunyi itu akhirnya
pecah dengan desahan Jonesy.
"Kamu sudah
mengetahuinya kan Vel?" gumam Jonesy sambil tetap menatap panggung yang
kosong. Vel mengangguk. Dari sudut matanya, Jonesy menangkap gerakan kepala
Vel.
"Lantas, kenapa
kamu...?"
"Aku tak tahu kalau
tubuhnya akan menjadi seperti itu, Jon."
"Bagaimana mungkin
kamu tak tahu. Kamu menghabiskan setiap malam dengannya Vel," sergah
Deirdre gusar.
"Yah...waktu itu
hanya ada beberapa goresan kata di pahanya. Aku pikir tulisan itu juga akan
hilang nantinya. Aku membantunya menggosok tulisan itu Deir. Tapi percuma.
Tulisan itu seperti tato. Aku sendiri heran dengan kemunculannya. Selalu
tiba-tiba. Saat ia tertidur. Pernah aku terjaga menungguinya. Tapi tetap saja
kata-kata itu muncul."
"Lantas sekarang
bagaimana? Proyek ini tak mungkin dibatalkan. Dia harus tetap tampil."
"Dengan tubuh
seperti itu? Sejak awal kita sepakat menginginkan tubuhnya polos di atas
panggung. Kini tulisan-tulisan itu seolah selubung di tubuhnya," tukas
Deirdre. Tampak jelas ia tak setuju dengan keinginan Jonesy untuk tetap
menampilkan Vidya.
Sejak semula, Deirdre
memang meragukan ide Jonesy untuk menampilkan unsur Asia dalam produksi mereka.
Tapi melihat keberanian eksentrik Vidya saat tampil di Singapura, Deirdre
akhirnya setuju. Bagaimanapun hanya penari segila Vidya yang langsung menyanggupi
tawaran terlibat dalam produksi Jonesy tentang kehidupan dewa-dewi dunia
primitif, meski itu harus tampil telanjang.
Kini rencana itu
terancam gagal. Deirdre sebagai produser merasa percuma membiayai sebuah
pementasan ketika tubuh penari utamanya tak lagi bisa tampil lugas. Pagi ini
saat rehearsal, dia dan Jonesy terhenyak mendapati sekujur tubuh Vidya
penuh goresan. Sudah terlambat untuk membatalkan pementasan. Malam nanti
pertunjukan tersebut dibuka.
Deirdre menengok satu
per satu wajah kedua lelaki yang duduk terpekur di sampingnya. Bagaimanapun
keputusan ada di tangannya apakah pertunjukan itu tetap berlangsung atau batal.
"Kita harus terus.
Mungkin penonton akan percaya tulisan-tulisan itu bagian dari konsep
kita," tegas Deirdre dengan nada terpaksa.
***
Malam itu Vidya muncul
di depan 300 mata penonton yang tiga perempatnya lelaki. Setengah dari mereka
merasa pernah intim mengenal Vidya. Perasaan percuma sebenarnya karena Vidya
tak mungkin bisa mengingat tak lebih dari lima nama di sana. Nama tak penting
bagi Vidya. Sebagai penari ia hanya memerlukan tubuh.
Tanpa musik, tubuh Vidya
langsung menyedot perhatian saat lampu panggung menyorot tepat dari atas
kepalanya. Ia menggerakkan engsel kedua bahunya tanpa mengubah posisi
tangannya. Selama sepuluh menit, setiap gerakan Vidya terus dihujani cahaya.
Ketika lampu kembali
padam, saat itulah Vidya harus bersiap memulai duetnya dengan Rohl. Ia
mengambil posisi di tengah panggung. Dalam diam, Vidya harus menunggu
kedatangan Rohl dari samping kanan panggung.
Terang kembali di atas
panggung. Saat itulah sejarah mencatat pencapaian artistik panggung dengan
tubuh seorang penari tampak perlahan-lahan memburaikan kata-kata yang membubung
terbang dari tubuhnya. Semula penonton melihat tubuh telanjang penari itu
tampil dengan sentuhan body painting berbentuk aksara.
Seiring munculnya bunyi
siulan, aksara itu melayang, lepas, terangkat dari tubuh penari itu. Dengan
irama konstan, aksara itu bergerak ke atas mengelilinginya. Satu per satu.
Lantas beramai-ramai. Seolah kepulan debu taifun yang membungkus penari itu
dalam bentuk spiral. Ribuan aksara itu terbang ke atas. Terus ke atas menembus
rangka langit-langit. Saat debu aksara itu mulai menipis, tak satu pun mata
penonton menemukan kembali tubuh Vidya di atas panggung. Tak juga setitik
bayangannya. Hingga kini.
Jakarta, 15 Februari
2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar