SELURUH perhatian di
ruang ini tertuju pada sebuah bayi mungil. Bayi yang penuh dengan isyarat
segar. Wajah-wajah yang semula tegang, kini tenang. Jagat seperti mengendurkan
syarafnya. Babak gembira telah terbit setelah berjam-jam wajah-wajah dipenuhi
dengan gumam doa.
Bening, anak perempuanku,
masih pucat. Tapi dari wajahnya terus memendar cahaya bahagia. Ia mendekap,
mencium, memandang, bayi yang ada di pelukannya, bayi yang baru dilahirkannya.
Bayi itu, cucu pertamaku.
Pada saat seperti
itu, satu kilat kecil menyambar. Membawaku pada sebuah pintu di masa lalu.
***
Kalau aku diambil,
tanpa alasan yang jelas, diperlakukan semena-mena, biarlah, sebab aku masih
berpikir, ini harga dari sebuah pilihan. Kalau aku ditelantarkan, dicerabut
begitu saja dari hidupku sehari-hari, dinistakan, biarlah, paling tidak aku
tahu, ini risiko dari setiap orang yang setia pada keyakinannya. Kalau aku
digelandang tanpa sebab, dibekap dalam ruang berlumut, dicecar dengan
pertanyaan-pertanyaan yang aneh, biarlah, setidaknya aku memahami, ini adalah
buah tindakan yang jatuh tak jauh dari jejak yang telah kutetapkan. Tapi
anak-anak itu?
Telah aku saksikan
segala kenistaan. Hampir sebagian besar bahkan belum pernah kubayangkan ada
manusia-manusia yang diperlakukan dengan begitu brutal. Tapi aku tetap mencoba
bertahan dengan segala hal yang ada pada diriku. Mencoba tetap mengarifi bahwa
itu semua mungkin saatnya bagiku untuk merenung-ulang, memperkaya batin,
mematut-matut diri di hadapan cermin besar peristiwa. Dan sudahlah, ke mana
lagi hidup ini menunjukkan arah, aku sudah tidak bimbang lagi.
Peristiwa-peristiwa adalah rentetan batu uji agar ke depan, langkah tak gampang
goyah. Tapi anak-anak itu?
Sudah hampir khatam
mungkin, pelajaran yang kupetik dari hujan kejadian yang perih. Semua. Semua.
Hampir tuntas sudah aku memaklumi, sekali langkah diayun pantang untuk surut,
sekali langkah dijejakkan, seluruh harga yang membentang harus dibayar. Tapi
anak-anak itu?
Berdosa apakah
anak-anak itu sehingga mereka yang tidak tahu menahu tentang politik, membaca
pun belum sanggup, bahkan mengucapkan nama-nama pun masih banyak yang belum
bisa.
Memang banyak dari
mereka yang diambil pun tidak tahu sebab-musabab dan dosa mereka, tapi paling
tidak mereka bisa tahu kalau peristiwa ini adalah buntut dari masa-masa yang
tidak menentu. Tidak seorang pun memang, berhak mendapat ganjaran dari apa yang
tidak pernah dilakukannya. Tapi paling tidak, kami yang sudah cukup umur ini,
lebih bisa menelisik dan menduga, menyelidik dan berprasangka. Dan anak-anak
itu? Baru dalam taraf mengenali dan membedakan dengan cara yang sangat
sederhana.
Dalam satu truk yang
membawaku ke penjara pertama, sudah kulihat anak-anak menjerit, ikut diseret
arus. Beberapa kulihat perempuan yang sudah hamil besar. Calon-calon kehidupan
sedang ditimang dalam garba lunak ibunya. Sedangkan yang sudah terlahir
seharusnya masih bisa menatap langit dengan bebasnya, melihat burung-burung
terbang di angkasa. Belum pernah kusaksikan kekerdilan semacam itu. Menyeret
perempuan-perempuan hamil, menyeret anak-anak kecil, masuk ke dalam ruang-ruang
pemeriksaan. Ikut membenamkan anak-anak itu ke dalam arus putar adalah hal yang
sulit diterima nalar.
Kalau mereka belum
pernah merasakan beban orang hamil, sebab kebanyakan dari mereka adalah
laki-laki, bukankah paling tidak mereka pernah berdekatan dengan istri mereka
yang pernah hamil? Kalaupun mereka belum pernah membangun rumah tangga,
bukankah mereka juga mempunyai ibu? Setidaknya mengapa rasa hormat sedikit saja
tidak pernah rontok dari wajah mereka? Bukankah mereka setidaknya pernah menjadi
anak kecil, pernah merasakan menjadi seorang anak yang baru dalam tahap
meraba-raba dan mengeja dunia? Anggaplah memang ada kesalahan dari ibu-ibu dan
keluarga mereka, tapi salah apakah anak-anak kecil itu?
Bukan, ini bukan
soal karena aku perempuan dan mereka laki-laki. Bukan sekadar itu. Ini
persoalan hidup dan penyikapan terhadapnya.
Betapa tidak lumer
hati ini, ketika seorang bocah, berbisik, sambil menarik jarik neneknya dan
berucap, "Nek, kenapa jagung itu direbus dengan tanah?"
Aku tahu si nenek
langsung terkesiap. Itu pertanyaan yang sederhana. Pertanyaan yang sangat
kanak-kanak, bahkan sekadar untuk mengerti bahwa jagung itu direbus di dalam
tong besi yang karatan pun anak-anak itu belum bisa mengerti.
Dan nenek itu, dalam
suara yang gemetar tapi berusaha tetap tabah menjawab, "Itu biar jagungnya
semakin empuk...."
Atau siapakah yang
tidak terenyuh, ketika suatu saat, berbulan-bulan setelah ada di dalam tahanan,
seorang anak yang lain menangis kencang dari balik jeruji. Anak itu melihat,
daging ayam utuh kiriman kakeknya, telah dipotong-potong hingga tinggal
sekepal. Anak itu menjerit dan menangis kencang. Ibunya menenangkan, dengan
mata berkaca, dan berkata, "Tidak apa-apa, kan bapak-bapak itu juga ingin
makan ayam. Kasihan, bapak-bapak itu, nanti kita minta pada eyang kakung untuk
dikirim ayam lagi, ya...."
Soal potong-memotong
barang kiriman, itu sudah biasa. Apa saja yang dikirim pasti kena pemotongan.
Mulai dari srundeng, sambal pecel, ayam, gula, apalagi uang. Semua kena
potongan. Tapi memotong kiriman untuk anak kecil yang berbulan-bulan hanya
diberi makan jagung hitam, perbuatan macam apakah itu?
Tapi dalam kengerian
di balik jeruji penjara, anak-anak adalah mereka yang menerbitkan harapan kami,
para perempuan yang dipenjara. Kami mengajari mereka bernyanyi dan membaca,
kami mengajari mereka berhitung dan mendapatkan kosakata. Kepada anak-anak itu,
kami, terus mencoba untuk memberikan apa yang bisa kami berikan.
Dunia bisa sejenak
riang, jika seorang bayi mulai bisa merangkak. Udara sejenak bisa terang jika
seorang anak mulai bisa berjalan. Cuaca terasa sejenak sejuk, bisa seorang anak
mulai memperlihatkan gigi-gigi mereka yang mulai tumbuh. Keadaan terasa agak
menenteramkan ketika satu-dua di antara anak-anak itu mulai belajar bertepuk tangan
dan menjerit riang.
Anak di dalam
penjara adalah ironi besar. Di satu sisi, kami tidak bisa menerima mereka
berada dalam penjara. Tapi di sisi lain, mereka memang mendatangkan harapan.
Susah bagi kami untuk bisa mengerti tangan kanak-kanak itu harus memegang
jeruji besi. Tapi pada sisi yang lain, mereka telah menjelma menjadi kekuatan
yang luar biasa untuk melupakan sejenak penderitaan.
Tapi penjara adalah
dunia yang lain. Dunia yang menyimpan wajah muram. Tapi justru dari kemuraman
itu, nurani mendapatkan batu asahnya sendiri. Kadang-kadang, hidup ini juga
sebuah permainan siasat atas penderitaan. Sebuah rentetan taktik untuk
menghadapi rasa sedih. Segala cara kami tempuh agar anak-anak kecil itu bisa
mendapatkan makanan yang lebih dari kami yang sudah berumur. Sedangkan bagi
mereka yang sedang hamil, yang asupan makanan mereka jelas tidak jauh dari
cukup, kami juga siap berbagi apa saja.
Kami menghadapi
pertempuran-pertempuran kecil seperti itu dengan mengandaikan keselamatan
anak-anak kecil dan bakal-bakal bayi di dalam kandungan sebagai sebuah dunia
yang menjanjikan. Dunia-dunia kecil yang harus dibela dan diselamatkan. Ada
yang mencoba mencarikan makanan tambahan, ada yang mencoba menguatkan dengan
cara berdendang pelan sambil mengusap perut-perut yang membesar, ada pula yang
mencoba memberikan penghiburan dengan cerita-cerita yang menguatkan.
Di dalam penjara,
kami tahu persis, hanya kami sendiri yang bisa menyelamatkan diri kami. Hanya
kami. Dan kami sangat tahu apa arti berbagi.
***
Dulu, aku tidak pernah
merasa bersalah untuk masuk ke organisasi petani. Apa yang salah? Orang tuaku,
kakek-nenekku, saudara-saudaraku, tetangga-tetanggaku, semua adalah petani.
Organisasi ini juga tidak jahat. Apa yang jahat, jika yang kami lakukan adalah
supaya menghasilkan hasil pertanian yang semakin baik? Kami membicarakan apa
saja yang kami anggap penting, melakukan banyak hal bersama-sama, mulai dari
pengairan, pupuk dan memanen hasil bumi? Apa juga yang salah jika kemudian kami
mendesakkan hak-hak petani penggarap?
Sampai sekarang,
sampai detik ini, aku juga tetap tidak merasa bersalah. Aku telah melakukan apa
yang seharusnya kulakukan. Aku tidak memakan dan mencuri hasil kerja orang
lain. Aku menuai hasil kerjaku sendiri, menikmati hasil keringatku sendiri
tanpa merugikan orang lain.
Orang tuaku,
sekalipun tidak berpendidikan, telah menanamkan nilai-nilai luhur orang hidup.
Bahkan tidak tersekat-sekat oleh perbedaan agama. Kalau di dalam rumah, aku
mengikuti olah laku Kejawen orang tuaku. Sedangkan di lingkungan kampung, aku
juga ikut mengaji di langgar, mempelajari Islam. Tetapi saat aku di sekolah,
karena aku sekolah di sekolahan Kristen, aku juga ikut pelajaran Kristen. Semua
yang kudapat dari ketiga hal itu, baik di rumah, di kampung, maupun di sekolah,
tidak ada yang bertentangan. Semua mengajarkan kebajikan. Semua memberi
pelajaran penting tentang kemanusiaan. Dan pendidikan nilai-nilai itulah yang
membuatku tatag, tidak kagetan ketika menghadapi mobah-mosiking zaman.
Ketika orang-orang
diambili, ketika desas-desus memanas, aku tetap tenang. Aku merasa tidak ada
hal yang perlu kurisaukan. Bahkan ketika radio memutar pengumuman bahwa
orang-orang sepertiku harus ke kantor kecamatan untuk ‘diselamatkan’, aku
seperti sudah maklum dengan apa yang akan terjadi. Aku datang ke kantor
kecamatan, aku digelandang masuk truk, dan aku tetap merasa biasa. Jauh hari
sebelum itu terjadi, aku sudah ‘menyelamatkan’ Bening dan adiknya, anak-anakku,
ke saudaraku di lain kota. Mereka berdua adalah anak yatim. Suamiku telah
meninggal beberapa tahun sebelum kejadian itu, dalam sebuah kecelakaan di jalan
raya.
Dan lidah ini memang
harus mencecap lagi pahit yang lain. Jauh lebih pahit dari ditinggal mati
seorang suami. Menghadapi kekejian-kekejian itu terasa tidak masuk akal.
Benar-benar sulit dimengerti. Manusia dipaksa masuk dalam daftar perkara yang
tidak pernah diperbuatnya, disudutkan ke dalam persekongkolan-persekongkolan
yang aneh, dan jika kami menolak tuduhan itu, maka siksaan yang berat semakin
harus diterima.
Sisa-sisa kekejian
itu bahkan tetap utuh ketika masa-masa pemeriksaan sudah berakhir. Seorang
perempuan, beberapa sel dari tempatku mendekam, setiap kali ada langkah-langkah
sepatu, pasti akan menangis histeris. Dan jika ia melihat seseorang memakai
seragam, apa pun bentuk dan warna seragam itu, ia pasti pingsan. Konon karena
pemeriksaan demi pemeriksaan yang melelahkan, ia keguguran. Dunia kecil yang
ditimang dalam garbanya longsor.
Seorang perempuan
tepat di samping selku, bercerita lebih mengiris lagi. Di tahanannya yang lama,
ketika ia sudah tidak kuat lagi disiksa, ia menuliskan alamat rumahnya. Dan
alamat yang ditulisnya asal saja. Beberapa saat kemudian, seorang anak dibawa
masuk dengan muka sudah babak-belur. Perempuan itu dipanggil, disuruh melihat
anak itu dan diminta menyatakan bahwa anak itu bersalah. Apa pasal? Ternyata
alamat yang ditulisnya dengan ngawur itu adalah tempat tinggal si anak.
Perempuan itu merasa berdosa. Ia menangis sejadi-jadinya, mempertahankan bahwa
anak itu tidak bersalah. Memang kemudian anak itu dikeluarkan dari penjara.
Tapi setiap kali perempuan itu teringat wajah seorang anak yang tidak berdosa
dan babak-belur, ia selalu menangis sejadi-jadinya. Ia, perempuan itu, sampai
bertahun-tahun, masih sering bangun tidur sendirian di malam hari, sambil
sesenggukan meratapi kesalahannya.
Anak selalu menjadi
korban di mana-mana. Tidak di luar, tidak di dalam, banyak anak yang mendekap
luka.
Ada juga satu cerita
tentang perempuan yang diambil ketika hamil. Ia melahirkan di penjara. Setelah
beberapa tahun anak yang dilahirkannya ikut hidup di dalam penjara, akhirnya si
anak bisa dikeluarkan untuk ikut neneknya. Bertahun-tahun setelah peristiwa
itu, ketika aku sudah pindah ke penjara yang lain lagi, Si anak datang bersama
neneknya untuk menjenguk ibunya. Semua orang hanya menjawab dengan gelengan
tidak tahu, ketika ditanya oleh nenek dan cucunya tentang keberadaan si ibu.
Apakah kami benar-benar tidak tahu? Tidak, kami tahu. Kenapa kami tidak
menjawabnya? Kami tidak sanggup menjawabnya. Ibu itu dibawa pergi petugas dan
dibunuh di luar, beberapa minggu setelah si anak dikeluarkan dari penjara untuk
ikut neneknya.
Dan selama berada di
dalam sekapan itu, seribu-satu kisah tentang anak-anak telah kudengar. Sepotong
kisah bahkan masih kudengar ketika aku sudah bebas. Beberapa bulan setelah
peristiwa pengambilan massal terjadi, seorang ibu mengutus anaknya untuk
mencari dan memastikan ayahnya berada di penjara mana. Setelah mencari ke sana
ke mari, ketemulah si anak dengan bapaknya. Tapi kekuasaan memang gelap mata.
Si anak justru ikut dijebloskan ke penjara. Anak itu masih sangat kecil,
mungkin baru sekitar sepuluh tahun umurnya. Anak itu ikut ke manapun ayahnya
dikirim, berganti-ganti penjara. Ketika ayahnya meninggal karena sakit dan
siksaan, si anak tidak dikeluarkan. Anak itu tetap mendekam di penjara, sampai
berbelas-belas tahun kemudian.
Makin terang sudah.
Makin jelas. Dan semakin yakin pula, sampai detik ini, aku kokoh dengan
pendirianku. Kekuasaan yang telah menjebloskanku dalam penderitaan panjang,
memang kekuasaan yang pantang didekati. Penjara memang membuatku menderita.
Tapi penjara sekaligus membuatku bangga. Aku bukan bagian dari kekuasaan yang
keji itu. Biar sedikit pun aku bukan bagian dari mereka, dan tidak pernah
menjadi bagian mereka.
***
Bening menatap
mataku, ia memberi isyarat. Aku menerima cucuku dari tangannya. Aku menyurutkan
langkah, agak menjauh dari kerumunan orang yang menjenguk anakku dan bayinya.
Aku mengaras wajah
bayi yang tenang itu. Mencium pelan keningnya. Memegang lembut tangannya. Aku
mencium bau kehidupan dalam-dalam. Pada saat itu, satu kilat kecil menyambar.
Membawaku pada sebuah pintu di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar