Rabu, 20 Mei 2015

CERPEN ANDRINA



Andrina
Cerpen George Mackay Brown

ANDRINA biasa da­tang berkunjung di senja musim dingin, sebelum hari gelap.
Dia akan menyala­kan lampu, menghidupkan per­apian, dan memeriksa air mi­num.  Jika aku sakit (meskipun cukup jarang, karena aku se­orang pelaut tua yang cukup ku­at) dia cerewet.  Dia akan mele­takkan lebih banyak suluh ke perapian, mengisi botol minum dengan air panas, memakaikan baju hangat wol tebal ke tubuh­ku. Setelah dia pergi, aku mele­paskan baju hangat itu dan me­minum toddy (wiski dengan air panas dan gula).
Akhir Februari tahun lalu aku torserang demam yang cukup berat.  Sakit paling burak yang pernah aku derita.  Aku terba­ngun dengan tubuh menggigil, merangkak tunm dari tempat tidur untuk menyiapkan sara­pan pagi dengan napas ter­engah-engah entah kenapa, sepertinya ada yang mengham­bat jalur napasku.  Kupaksakan diri untuk makan dan minum teh hangat.  Pagi itu aku tidak bi­sa melakukan apa-apa selain terbaring di tempat tidur.  Aku paksakan membaca buku. Teta­pi ini juga tidak membuatku nyaman.  Kepalaku sangat berat.  Hari ini Andrina akan datang sekitar jam lima atau enam.  Meskipun dia tidak akan bisa melakukan apa pun untuk meri­ngankan sakitku, aku akan se­nang mehhatnya.
Sayang Andrina tidak mun­cul.  Aku mengharapkan dia da­tang.  Kubayangkan dia membuka pintu pelan-pelan, lalu ku­dengar sapaan yang lemah lem­but.  Barangkah ia akan menya­takan dengan manis ketidakse­tujuan-seperti yang biasa di lakukannya-terhadap hal-hal yang dilihatnya setelah ia menyalakan lampu.  Ruangan ini memang sangat berantakan.Ibh o.rang sakit tidak akan peduli Ongan apa pun di sekelilingnya.  Aamun sampai hari gelap, An­cthna tidak datang.  Barangkali ada alasan yang membuatnya tldak bisa datang.  Aku tetap me­nunggunya sampai tertidur. @ Aku terbangun pada saat silau idatahari masuk dari jendela.  Tlenggor-okanku kering.  Mukaku panas bagai terbakar.  Kepalaku bertambah berat.  Aku bangkit mengambil air minum dan kem­bah ke tempat tidur.  Gigiku menggelutuk.  Dalam keadaan menggigil, aku kembali tertidur dan bangun menjelang sore.. So­re ini Andrina pasti datang.  Hart ini ada hal-hal yang harus dila­kukan Andrina: membeli aspi­rin, menyelimuti tubuhku, atau menuang minuman.  Tetapi dia tidak datang.  Dia juga tidak da­tang di senja ketiga.
Aku terbangun.  Gemetar Ma­lam sangat gelap.  Angin berhem­bus dari cerobong asap.  Ada per­cikan air hujan di jendela.  Bagi­ku ini malam terpanjang yang aku rasakan dalam hidupku.
Saat terbangun aku mende­ngar untuk pertama kalinya se­jak empat hari lalu, suara sese­orang.  Itu suara Stanley, tukang pos yang berbicara pada anjing milik tetangga sebelah.  "Ada paket katalog buat Minnie.  Bi­lang pada Minnie ada surat cin­ta buatnya.  Ayo panggil!  Bagus!  Anjing pintar.  Hai Minnie kamu di situ?  Aku takut Ben si tua ada di sini dan mendampratku.  Ya, Minnie, hall ini sangat cerah......
Aku tidak pernah menyukai tukang pos itu.  Tetapi pagi ini dia lewat ke depan jendelaku.  Dia membuka pintu tanpa me­ngetuk lebih dulu.
"Ada surat dari tempat yarig sangat jauh, pelaut!  " Dia mele­takkan surat itu di kursi dekat pintu.
"Aku lagi sakit, aku khawatir tidak bisa....... kataku.  Suaraku teramat pelan.  Tukang pos itu melihat perapian yang padam dan jendela yang tertutup.  "Wow, ruangan ini apek.  Ingin udara segar?" lalu dia menutup pintu dan pergi.  Aku teringat Kapten Scott yang menulis be­berapa kalimat terakhir di tenda Antartika.
Pada saat sakit seperti ini aku merana.  Aku kasihan pada nasib diri.  Teman-teman pergi meninggalkan aku.  Aku dikhianati dan dibuang pada saat terpuruk.  Tetapi aku harus tegar.  Seorang pelaut tua yang kuat sepertiku tidak mudah begitu saja menye­rah.  Aku berkata "Torvald, ka­mu ini mengharapkan apa?  Apa yang kamu inginkan pada se­orang gadis dua puluh satu ta­hun yang sangat menarik hati.  Coba pikir dengan cara ini.  An­drina, dengan kebaikan dan perhatiannya, sudah menghabiskan musim dinginnya bersamamu.  Gadis itu telah membawa sinar terang di waktu gelapmu.  Kare­na suatu alasan ia tidak datang beberapa hari ini. Aku harus menemukan alasan ketidakha­dirannya sekarang."
Aku memutuskan untuk tu­run daritempat tidur dan pergi ke pusat desa.  Sekalian meng­ambil uang pensiun ke kantor pos dan membeli persediaan makanan.  Dua mil beijalan de­ngan susah payah sungguh membuatku tersiksa.
Temyata akti tidak tahu apa-apa pun tentang Andrina.  Aku tidak pemah menanyakan apa pun dan dia tidak pemah mencerita­kan apa pun.  Siapa ibunya, sia­pa bapaknya, berapa saudara­nya, di mana dia tinggal.  Hal-hal itu tak pemah terlintas dalam percakapan kanii.  Bagiku sudah cukup dia datang setiap sore menjelang malam dengan me­nunjukkan perhatian dan du­kungannya, berlama-lama se­bentar dan pergi dengan me­ninggalkan kedamaian di hati.
Musim dingin lalu dia berta­nya tentang diriku.  Semua hal yang baik, buruk, dan menye­nangkan yang pemah aku alami.  Aku menceritakannya.  Seorang laki-laki tua selalu me­nyukai masa lalunya. la akan menceritakan dengan bersema­ngat seakan-akan semua masa lalunya itu penting untuk dike­tahui.  Aku menggambarkan diriku di masa muda sebagai se­orang pemuda pemberani yang juga sembrono.  Karakterku perpaduan antara karakter Kapten Cook dan Kapten Hook.  Aku juga menambahkan petu­alanganku dengan figur-figur menakutkan di begitu banyak pelabuhan dari Hongkong, Durban, sampai San Fransisco.  Andrina menyukai ceritaku.  Dia akan mengecilkan sumbu lampu, mengatur perapian le­bih kecil untuk menciptakan suasana lebih niisterius.  Di an­tara berbagai pengalaman yang aku ceritakan, ada satu episode yang tidak kuceritakan dengan lengkap.  Episode menyakitkan dalam hidupku, kapan pun aku pikirkan itu.  Episode itu tetap menghantui di saat aku sakit seperti sekarang.
Di sore terakhir Andrina ber­samaku, dia duduk dekat per­apian, Aku bercerita.  Sebelum ceritaku selesai-seakan Andri­na tabu akhir cerita yang me­nyedihkan-tiba-tiba Andrina menatapku dengan hambar.  Ia memberikan ciuman di pipi.  La­lu dia pergi.
Ceritanya berawal dari se­buah pulau, lima puluh tahun lalu.  Alkisah ada sepasang anak muda yang tengah dimabuk asmara.  Seusai pesta dansa di sua­tu musim panas, mereka berja­lan bergandengan tangan melin­tasi bukit batu, menikmati senja yang menakjubkan, dan me­mandangi matahari tenggelam di pesisir laut.  Mereka bertemu di persimpangan jalan, di toko, kampung, di sisi bukit.  Tetapi dari tempat-tempat pertemuan itu, mereka lebih menyukai per­temuan di pantai.  Di sana mere­ka bisa bebas berdua.  Tak ada orang lain mengganggu, kecuali teriakan burung laut dan debur ombak.  Mereka bertemu dari malam satu ke malam lainnya dan bercinta.
Di suatu senja di salah satu gua pesisir pantai, si gadis me­ngatakan suatu rahasia dengan gemetar.  Si pemuda menggeleng dan berpaling.  Dia menatap se­akan si gadis seorang pelacur liar.  Dia pergi meninggalkan si gadis dan berlari sepanjang pe­sisir pantai sampai ke tepi jalan.  Tanpa pemah menoleh lagi.
Dia kemudian menjadi pelaut yang berpetualang melintasi be­nua: Kanada, Australia, Afrika Selatan.  Dia pergi ke mana pun untuk menghindari si gadis yang terus mengikuti dengan segenap cintanya.  Waktu terus bergulir sampai tiba rambut-rambut pu­tih tumbuh.  Dia kembali pulang.  Berharap lima puluh musim di­ngin yang dilaluinya akan ber­hasil menyembuhkan luka lama.  Dia menaiki bukit berbatu dan melihat ke sekeliling.  Dalam ke­hampaan dia ingat wajah seorang wanita yang pemah ada dan kemudian pudar dalam hi­dupnya.
Tina Stewart adalah pegawai pos yang mengetahui setiap orang dan segala sesuatu di pu­lau ini.  Aku mendekatinya.  Aku ingin tabu apa saja berita yang beredar belakangan ini: apakah ada orang yang tiba-tiba sakit?  Apakah ada seseorang-misal­nya seorang perempuan muda­mendadak meninggalkan pulau ini untuk alasan apa pun?  'hna Stewart menatapku dengan ma­ta menyelidik.
“Tidak," katanya.  "Tak ada satu pun yang datang atau pergi. Hanya kamu, Kapten 'Tor­vald, yang tinggal sepanjang hari di tempat tidur.  Coba per­hatikan kesehatanmu sendiri.  Kamu sendirian di nimah.  Wa­jahmu pucat..."
Aku bertanya barangkali dia tabu daerah pertanian di mana Andrina tinggal.  Tina Stewart menatapku sejenak.  Lalu meng­geleng.  Sepanjang pengetahu­annya tidak ada seorang pun de­ngan nama itu di sini.  Dan tidak pemah ada.  Aku beranjak de­ngan tangan gemetar.  Aku perlu minuman segar.  Di suatu bar ke­cil aku melihat Isaac Irving pe­milik bar.  Aku juga menanyakan Andrina kepadanya.
"Andrina selalu datang setiap senja ke rumahku, untuk mena­ta rumah, memasak, dan mencu­ei untukku.  Sudah seminggu le­bih ini dia tidak muncul.  Kamu tahu tentang gadis ini?"
Isaac menatapku seakan­akan aku sudah kehilangan akal.  "Seorang per-empuan mu­da datang ke rumah kau?  Me­nyelesaikan pekerjaan rumah?  Betulkah?  Aku betul-betul tidak tahu.  Berapa banyak gelas mi­numan yang kau habiskan sebe­lum ke sini, pelaut?" Aku minum gelas keempat dan bersiap pergi.
"Sorry, pelaut," kata Isaac.  "Aku sarankan, saat kau de­mam, kau bayangkan saja gadis itu, siapa pun namanya.  Satu­satunya perempuan yang aku li­hat pada saat aku demam ada­lah iblis betina.  Kau masih un­tung, memimpikan seorang An­drina." Isaac Irving tahu pulau ini beserta semua penduduknya.  Bahkan lebih tabu dari Tina Stewart.
Sampai di rumah aku menda­patkan secarik surat yang terge­letak di atas meja.  Surat itu ber­cap pos Australia:
"Aku mengikutimu dan Sels­kay mengikuti arah putaran dunia sampai akhimya berhenti di Tasmania.  Setelah aku sadar, tak ada gunanya bagiku untuk pergi lebih jauh mencarimu.  Aku me­nyimpannya sendiri.  Aku tak ingin kamu terganggu.  Aku ti dak ingin kamu menderita se­pertiku.  Selama bertahun-ta­kun.  Kita berdua sudah tua.  Aku menulis ini mungkin sia-sia, Ka­rena mungkin saja kamu tidak kembali ke Selskay atau barang­kali kamu sudah sirna seperti debu atau membeku bersama ga­ram laut.  Jika kamu masih hi­dup (dan aku pikir kamu kesepi­an), barangkali suratku akan membuatmu bahagia, meskipun akhir cerita ini menyedihkan. Tetapi inilah kehidupan.  Anak perempuanmu anak kita-aku tidak ingin mengatakan apa pun karena kamu tidak ingin menge­nal dan mengakuinya.  Aku ingin mengatakan satu hal padamu: anak itu telah memiliki anak pe­rempuan yang telah memberiku nuansa kebahagiaan.  Bagiku, ia adalah pelita kebahagiaan.  Aku harus berterima kasih padamu yang telah memberikan pelita yang juga melahirkan pelita.  Ia juga menjadi pelitamu di musim dingin.  Aku sering bercerita ten­tang kamu dan saat-saat musim panas yang pernah kita lalui bersama di masa lampau.  Masa yang sudah lama berlalu -kepa­danya.  Aku mengatakan hal-hal manis dan menyenangkan ten­tang kita.  Dia berkata, "Aku ingin tahu dan mengenal kakek­ku. Apakah dia kesepian?  Dia pasti akan senang dan bahagia, jika ada seseorang yang mem­buatkannya secangkir kopi pa­nas dan menjaga perapiannya.  Suatu saat aku akan pergi ke Scotland.  Aku akan mengetuk pintu rumahnya, di mana pun dia tinggal, aku akan melaku­kan apa pun untuknya.  Apakah nenek sangat mencintainya?  Dia pasti orang baik.  Aku akan men­jenguknya.  Aku akan mende­ngar ce'rita lama itu dari mulut­nya sendiri.  Lebih dari itu, tentu saja tentang kisah cinta.  Karena nenek tidak pernah mencerita­kan apa pun tentang itu."
Aku menulis surat ini hanya untuk memberi tahu bahwa ini sudah berakhir dan tidak akan teriadi lagi.  Cucu kita, Andrina meninggal seminggu yang lalu, di awal musim semi.  Kecelakaan tiba-tiba merenggut nyawanya...
Di perapian, aku duduk terce­nung.  Andrina adalah tunas yang tumbuh di musim dingin­ku. Namun tunas itu telah gugur.  Ia membawa pergi sejumput ke­nangan tentang bagaimana dia datang di saat cahaya bintang bersinar di langit.  Barangkali nun di atas sana, dalam kemaya­an, Andrina tersenyum melihat­ku menangis. * Kompas Minggu, 29 Agustus 1999
* Terjemahan bebas dari kar­ya George Mackay Brown "Andria", dalam buku The Oxford Book of Scottish Short stories, Douglas Dunn, Oxford Univer­sity Press 1995, hlm 327-333, di­terjemahkan oleh Yeni Ratnako­mala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar