Anjing Nyonya Tuan Besar
Cerpen: B.Yass
Kompas Minggu, 22 Agustus
1999 hlm.5
Kampuing kami di
sisi sebelah timur jalan raya umum yang menghubungkan daerah utara dengan
selatan. Terdiri dari tiga puluh buah
rumah. Semua beratap daun nipah, dinding kulit kayu, tiang kayu bulat, atau ditarah. Lantai rata-rata satu setengah meter
tingginya dari tanah. Sepuluh rumah,
halamannya sampai ke tepi aspal jalan raya.
Sisi sebelah barat jalan raya menghutan pohon karet perkebunan yang
kami sebut onderneming. Kantor pusatnya di kota, enam kilometer selatan kampung. Di situ juga kediaman pejabat tertinggi onderneming,
yang jabatannya disebut Tuan Besar.
Beberapa orang Eropa dengan jabatan Tuan Kecil, bertempat tinggal di
tengah perkebunan karet.
Di depan kampung kami ada simpang ke arah barat, jalan raya ke
perkebunan. Di sudut simpang tiganya
ada sebuah rumah jaga dibuat dari batu.
Seratus lima puluh meter dari situ, di tepi kebun karet, ada lapangan
tenis. Sekelilingnya dipagari kawat jala
setinggi lima meter. Penuh dengan
tanaman kacangan yang merambak. Orang di
luar pagar tidak dapat melihat lapangan tenis.
Hanya hari Minggu atau hari libur lainnya lapangan itu digunakan. Yang bermain tenis di situ ialah orang Eropa,
para pejabat di kantor onderneming. Bfla
ada yang bermain tenis, dua orang polisi bersenjata karabin datang dari kota,
bertugas di rumah jaga.
Hari itu Minggu kedua bulan Juh 1938, sejak fajar sejumlah penouduk
kampung sudah pergi ke kebun atau ke ladang.
Sekitar pukul tujuh pagi delapan orang pria di warung Bibi Siti di
kolong rumahnya, duduk mengopi sambil ngobrol, aku duduk di bendul pintu. Enam anak bermain kelereng di kolong rumah
sebelah. Datang empat buah truk dab arah
kota langsung membelok ke jalan menuju perkebunan dan berhenti di simpang ke
lapangan tenis. Beberapa orang mengangkat
kotak-kotak kardus besar dari truk, mernbawanya ke lapangan tenis. Aku tahu kotak-kotak kardus itu pastilah
berisi makanan dan minuman. Sejurus
kemudian datang dua orang polisi dari selatan, mengendarai sepeda menyandang
karabin, langsungmasuk kerumahjaga. Hampir
bersamaan datang tiga buah sedan dari arah utara langsung ke lapangan
tenis. Aku tahu mereka para Tuan
Keeil. Kemudian datang enam buah sedan
dari selatan, beriring-iringan. Paling
depan sedan merah dengan kap terbuka, dikemudikan seorang nyonya bercelana
pendek baju kaus serba putih. Di sisinya
seorang gadis remaja. Di jok belakang
duduk anjing berbulu hitam, menunggakkan kedua kaki depannya.
Kejadian demikian berlangsung setiap hari Minggu. Seluruh penduduk kampung kami sudah kenal
pada sedan merah buka kap, nyonya dan gadis serta anjing hitam itu karena hampir
setiap hari sekali lewat di depan kampung kami. Kabarnya nyonya itu gernar berkunjung pada
keluarga Tuan Kecil yang bertempat tinggal di tengah perkebunan karet. Nyonya itu disebut orang Nyonya Tuan Besar
Anaknya yang duduk di sisi, kamii sebut Si Noni. Ada kalanya sedan itu dikemudikan seorang
diri oleh Nyonya Tuan Besar, atau oleh Si Noni sendiri, anjing hitam tetap
ikut.
Orang bilang Nyonya Tuan Besar itu sering mengemudikan sendiri mobilnya
ke pasar di kota, berbelanja sendiri membeli sayur-mayur, dan anjing hitamnya
tetap ikut serta. Oleh karena itu orang
di kota, di beberapa kampung lain, terutama pegawai. kantor dan para kuli kontrak
yang tinggal di barak-barak tengah kebun karet, sudah kenal dengan Nyonya dan
anjing hitamnya.
Anjing itu tidaklah besar atau berbulu panjang seperti biasanya anjing
yang dipelihara oleh orang Eropa. Besar
badannya juga tak jauh beda dari anjing, kampung biasa. Andai berada di antara beberapa ekor anjing
kampung yang berbulu hitam, sukar membedakannya.
Matahari tambah tinggi, aku membelah kayu di halaman, enam orang anak
terus bermain di kolong rumah sebelah.
Orang duduk di warung Bibi Siti bertambah juga. Tiba-tiba aku terkejut karena beberapa orang
anak berteriak: "Soleh digigit anjing."
Aku menoleh.
Anak yang bemama Soleh tertelungkup di halaman, menjerit. Betis kaki kirinya berdarah. Lima orang anak berdiri menghadapi seekor
anjing hitam. Cepat aku lari
mendekati. Kiranya mereka yang duduk di
warung Bibi Siti sudah bergegas berlari mendekati anak-anak itu. Beberapa orang berlari sambil berteriak:
"Anjing gila! Bunuh! Hayo!
Pak Dalah dibantu tiga orang menggendong
Soleh dan membaringkannya di sebuah bale papan tua di kolong, sementara kami
bergegas mengepung anjing hitam yang moncongnya berdarah. Ada yang sempat mengambil kayu atau beroti
atau batu. Ada yang berseru: "'Pak
Rajaaab. Pak Rajab!
Pak Rajab pegawai rumah sakit di kota. Datang berlari dari rumahnya sambil
menjinjing sebuah tas kulit besar. Kami
tahu tas itu berisi obat-obatan dan peralatan.
Dia langsung mengobati Soleh.
Dua belas orang kami mengepung anjing hitam. Beberapa kali binatang itu melompat hendak
menembus kepungan, akan tetapi selalu dihadang dengan sepakan atau dengan
pukulan. Anjing itu ketakutan,
bergerak-gerakliar. Ketika kepungan
berjarak dua meter dari anjing itu, kulihat pemuda Tolib yang memegang sepotong
batu bata mengayunkan tangan. Anjing
itu rebah dan melengking, akan tetapi cepat berdiri lagi.
Dari pangkal telinga kirinya mengalir darah. Suara mengatakan anjing gila dan bunuh tambah
riuh juga, sementara beberapa orang pria dan wanita sudah mendekat pula. Anjing itu kembali melompat hendak menembus
kepungan, akan tetapi dihadang oleh Pak Karno dengan pukulan kayu sepergelangan
tangan panjang satu meter. Binatang itu
rebah dan melengking. Kedua kaki depannya berdarah kena pukulan kayu. Beberapa
saat terbaring, tiba-tiba dengan sigap anjing itu melompat dan berhasil
menembus kepungan. Akan tetapi tak bisa
berlari. Hanya melompat-lompat dengan
menggunakan kedua kaki belakangnya, menuju kolong rumah.
Pemuda Sabirin yang sejak tadi memegang
sebuah sangkak terbuat dari bambu, yang digunakan untuk mengurung induk ayam
yang beranak kecil, mengejar dan dengan menekapkan sangkak itu ke tanah,
anjing hitam terkurung rebah miring dalam sekapan sangkak. Kami mendekati dan berkerumun mengelilingi
sangkak. Dua orang menggunakan kayu,
melalui celah bilah bambu sangkak menusuk-nusuk anjing itu hingga terkaing-kaing. Beberapa orang bersuara marah:
"Bunuh! Itu anjing pendatang! Anjing gila ... !"
Tiba-tiba suara dan tusukan pada anjing itu
terhenti karena ada suara kuat membentak: "Ada apa!? He!
Ada apa ribut-ribut?l " Kiranya dua orang polisi yang tadinya di
rumah jaga, sudah berada di halaman, bergegas mendekat sambil menjinjing
karabin. Seorang bertubuh kekar
berkumis tebal, temannya bertubuh kurus.
Kami undur memberi jalan bagi polisi itu untuk mendekati sangkak dekat tiang. Pak Jabar berkata: "Ini anjing gila
Tuan. Menggigit anak. Itu dia korbannya. Dirawat."
"Anjing gila? Ditembak saja biar mati! " ujar polisi berkumis tanpa menoleh
kepada siapa pun. Langsung mendekati
sangkak diiringi temannya.
"Ya Tuan. Itu anjingnya. Tembak saja Tuan, " balas Pak Jabar.
Kedua polisi itu berdiri dekat sangkak. Anjing hitam terbaring miring. Kedua kaki depannya terlipat berdarah. Matanya terdelik memandang kedua polisi yang
memperhatikannya. Darah masih meleleh
dari pangkal telinga kirinya. Tiba-tiba
polisi berkumis menegakkan kepala. Air
mukanya berubah menandakan marah, memandangi kami di sekitarnya. Kemudian membentak: "Ini anjing Nyonya
Tuan Besar! Masa kamu tidak tahu?! "
Kukira semua yang hadir, sama dengan aku,
baru sadar bahwa anjing itu kepunyaan Nyonya Tuan Besar. Pak Ali berkata: "Tak peduli anjing
siapa. Kalau menggigit orang harus
dibunuh, Tuan. Itu anjing gila."
"Kurang ajar!" bentak polisi berkumis seperti menjerit, langsung
menodongkan karabin ke arah Pak Ali.
Polisi kurus rnenodongkan pula ke arah kami yang satu setengah meter di
kelilinginya. "Kamu tentu tabu ini
anjing Nyonya Tuan Besar! Kamu bilang
gila?! Kurang ajar kamu semua! Tuan
Besar itu orang Belanda! Anjing orang
Belanda tidak mungkin gila! Tuan Besar
orang paling berkuasa di daerah ini.
Paling dihormati semua orang!
" Suara polisi berkumis itu tambah kuat. Matanya didelikkan: "Dengar
semua?! Hendak kamu bunuh ya?! Siapa saja yang menyakiti anjing ini, akan
dihlukum! Bisa ditembak mati! "
"Tetapi dia menggigit orang, Tuan.
Anak yang sedang bermain," jawab Pak Ali.
"Bohong! " bentak
polisi itu dan menggerakkan karabinnya.
"Pasti ada yang mengganggunya.
Memukul atau melemparnya!
Pak Ali memandang pada kelima anak-anak yang berdiri agak jauh dari
kerumunan: "He anak-anak.,Sini! Apakah kamu tadi mengusik anjing
ini?"
Kelima anak-anak itu ketakutan, tak mau mendekat. Pak Ali bertanya lagi. Seorang di antaranya
menjawab: "Kami tidak mengusiknya.
Kami main kelereng. Aku dan
Soleh kalah. Kami hendak mengambil
kelereng ke rumah. Kami berjalan. Tiba di halaman situ anjing berlari dari
jalan raya langsung menggigit kaki Soleh... "
"Bohong! " bentak
polisi itu. "Dasar orang
kampung! Kamu sekongkol! Siapa yang memukul kepala anjing ini sampai
berdarah! " Tak ada yang menjawab. Kedua polisi itu mengokang karabin mereka,
seakan-akan hendak menembak kami: "Siapa yang memukulnya? Tidak ada yang
mengaku! Akan saya tembak kamu semua sampai
mati! "
Pemuda Tolib maju hingga semeter dari hadapan polisi. Sambil membenahi gulungan kain sarung dia
berkata: "Saya yang melempar kepalanya dengan batu, Tuan."
"Huh! Kau ya? Berani hendak membunuh anjing Nyonya Tuan
Besar?" Polisi menodongkan karabin sampai sejengkal dari dada
Tolib:"Borgol dia! "
Polisi kurus membuka borgol dari tali pinggang, mendekati Tolib dan
memerintah: "Majukan kedua tanganmu."
Tolib tidak bergerak. Ada orang di belakang berkata: "Ikuti
kehendak mereka, Tolib. Nanti semua kita
jadi susah."
Tolib mengeluarkan kedua tangannya. Polisi itu memborgol lalu menarik Tolib maju
ke dekat sangkak. Polisi berkumis
menghardik: "Kau bisa dihukum mati!
Kau juga yang memukul kaki anjing ini ya?!"
"Tidak.
Bukan dia Tuan. Saya yang
memukulnya. " Pak Karno menjawab
sambil maju semeter di depan polisi berkumis.
"Ha!
Kau juga ya?! " Polisi
berkuniis seperti menjerit marah.
Diapitnya popor karabin, dibukanya borgol dari pinggangnya, menyerahkan
kepada rekan-rekannya: "Borgol orang tua ini." Setelah memborgol, polisi
kurus menarik Pak Karno berdiri di sisi Tolib.
Polisi berkumis berkata: "Kedua orang ini akan diangkut ke
kota. Akan dihukum penjara atau
ditembak mati." Kemudian menggerakkan karabinnya yang sudah dikokang:
"Kamu semua! Bawa anjing ini ke
lapangan tenis saya. Supaya dilihat oleh Nyonya Tuan Besar."
Tak ada yang menyahut atau bergerak. Polisi
itu seperti menjerit marah: "Kamu dengar semua!? Orang kampung keras kepala ya!? Akan saya panggil empat buah truk yang ada
di sana. Kamu lihat itu empat
truk!? Semua kamu akan saya angkut
dengan truk. Dibawa ke kota. Semua akan dihukum! Hayo.
Bawa anjing ini ke lapangan tenis sana!
"
"Baik Tuan," itu suara Pak Hamdan
yang tua. Lalu kepada kami, "Ayo
kawan-kawan. Kita bawa anjing ini ke
sana. Daripada kita sekampung ditimpa
bencana."
Kerumunan bergerak seakan bubar. Beberapa
orang mengajukan pendapat bagaimana membawa anjing itu. Kemudian ada kesepakatan. Pak Samadikun naik ke rumahnya. Turun membawa sehelai karung goni yang masih
agak baru. Dasar karung itu dibelah
dengan pisau. Kemudian dua potong kayu
sepergelangan tangan masing-masing panjang tiga meter disurukkan ke dalam
karung. Dengan melapisi tangan, anjing
yang seperti akan mati itu diletakkan di atas karung. Kedua polisi menjaga dengan todongan karabin.
Empat orang pemuda memanggul karung di mana
anjing luka terbaring. Tak ubahnya seperti
memanggul keranda jenazah. Sesuai perintah
polisi, yang memanggul berjalan di depan.
Di belakangnya Tolib dan Pak Karno dengan tangan diborgol. Koua polisi di belakangnya dengan
menodongkan karabin. Lebih kurang dua
puluh lima orang kami mengiring di belakang polisi. Percakapan beberapa orang hanya bergumam.
Tiba di simpang tiga jalan raya, keempat
pemuda yang memanggul anjing berhenti melangkah. Rombongan juga terhenti. Di jalan raya perkebunan, dari arah lapangan
tenis, sedan merah buka kap datang menuju simpang. Suara bergumam tambah ramai. Pada jarak dua puluh meter, kami lihat jelas,
sedan itu dikemudikan oleh Si Noni. Di
sisinya duduk gadis bule sebayanya.
Keduanya menggerak-gerakkan tangan tanda mereka berbincang.
Sedan mendekat. Pada jarak lima meter, keempat pemuda yang
memanggul anjing mundur dua langkah, melapangkan jalan bagi sedan yang
melambat. Aku tak tahu apakah sedan itu
melambat karena rombongan di tengah persimpangan jalan atau karena akan
membelok agak mematah. Kemudian mobil
itu tambah lambat, membelok perlahan agak mematah ke selatan, sementara Si
Noni terus berbincang sambil menggerak-gerakkan tangannya, Tak ada yang
menoleh pada rombongan yang hanya dua meter di sisi mobil. Seakan-akan kami yang di tengah simpang jalan
tak ada. Hanya anjing hitam milik Nyonya Tuan Besar yang duduk di jok belakang
menunggakkan kedua kaki depannya, menoleh, memandangi kami, hingga sedan itu
membelok dan melaju ke selatan.
Mendadak suara orang ramai" meneriakkan
kata-kata yang sama: "Itu dia anjing Nyonya Tuan,Besar Tuan Polisi!"
Polisi kurus agak bergegas menanggalkan
borgol dari tangan Tolib. Ketika polisi
berkumis menanggalkan borgol dari tangan Pak Karno, air mukanya cemberut seraya
bersungut-sungut: "Dasar orang kampung.
Semua tolol! Semua goblok! Bikin susah polisi."
Keduanya menyandangkan karabin di bahu,
kemudian melangkah lamban ke rumah jaga. Palembang, 15 Juli 1999