Rabu, 20 Mei 2015

CERPEN ANJING NYONYA TUAN BESAR



Anjing Nyonya Tuan Besar
Cerpen: B.Yass
Kompas Minggu, 22 Agustus 1999 hlm.5

Kampuing kami di sisi sebelah timur jalan raya umum yang menghubungkan daerah utara dengan selatan. Terdiri dari tiga puluh buah  rumah. Semua beratap daun nipah, dinding kulit kayu, tiang kayu bulat, atau ditarah.  Lantai rata-rata satu setengah meter tingginya dari tanah.  Sepuluh rumah, halamannya sampai ke tepi aspal jalan raya.
Sisi sebelah barat jalan raya menghutan pohon karet perke­bunan yang kami sebut onderne­ming. Kantor pusatnya di kota, enam kilometer selatan kam­pung.  Di situ juga kediaman pe­jabat tertinggi onderneming, yang jabatannya disebut Tuan Besar.  Beberapa orang Eropa de­ngan jabatan Tuan Kecil, ber­tempat tinggal di tengah perke­bunan karet.
Di depan kampung kami ada simpang ke arah barat, jalan ra­ya ke perkebunan.  Di sudut sim­pang tiganya ada sebuah rumah ­jaga dibuat dari batu.  Seratus li­ma puluh meter dari situ, di tepi kebun karet, ada lapangan tenis.  Sekelilingnya dipagari kawat jala setinggi lima meter.  Penuh dengan tanaman kacangan yang merambak.  Orang di luar pagar tidak dapat melihat lapangan tenis.  Hanya hari Minggu atau hari libur lainnya lapangan itu digunakan.  Yang bermain tenis di situ ialah orang Eropa, para pejabat di kantor onderneming.  Bfla ada yang bermain tenis, dua orang polisi bersenjata karabin datang dari kota, bertugas di ru­mah jaga.
Hari itu Minggu kedua bulan Juh 1938, sejak fajar sejumlah penouduk kampung sudah pergi ke kebun atau ke ladang.  Sekitar pukul tujuh pagi delapan orang pria di warung Bibi Siti di kolong rumahnya, duduk mengopi sam­bil ngobrol, aku duduk di bendul pintu.  Enam anak bermain kele­reng di kolong rumah sebelah.  Datang empat buah truk dab arah kota langsung membelok ke jalan menuju perkebunan dan berhenti di simpang ke lapangan tenis.  Beberapa orang mengang­kat kotak-kotak kardus besar dari truk, mernbawanya ke la­pangan tenis.  Aku tahu kotak-­kotak kardus itu pastilah berisi makanan dan minuman.  Sejurus kemudian datang dua orang po­lisi dari selatan, mengendarai se­peda menyandang karabin, lang­sungmasuk kerumahjaga.  Ham­pir bersamaan datang tiga buah sedan dari arah utara langsung ke lapangan tenis.  Aku tahu me­reka para Tuan Keeil.  Kemudian datang enam buah sedan dari se­latan, beriring-iringan.  Paling depan sedan merah dengan kap terbuka, dikemudikan seorang nyonya bercelana pendek baju kaus serba putih.  Di sisinya se­orang gadis remaja.  Di jok bela­kang duduk anjing berbulu hi­tam, menunggakkan kedua kaki depannya.
Kejadian demikian berlang­sung setiap hari Minggu.  Selu­ruh penduduk kampung kami sudah kenal pada sedan merah buka kap, nyonya dan gadis ser­ta anjing hitam itu karena ham­pir setiap hari sekali lewat di de­pan kampung kami.  Kabarnya nyonya itu gernar berkunjung pada keluarga Tuan Kecil yang bertempat tinggal di tengah per­kebunan karet.  Nyonya itu dise­but orang Nyonya Tuan Besar Anaknya yang duduk di sisi, kamii sebut Si Noni.  Ada kalanya sedan itu dikemudikan seorang diri oleh Nyonya Tuan Besar, atau oleh Si Noni sendiri, anjing hitam tetap ikut.
Orang bilang Nyonya Tuan Besar itu sering mengemudikan sendiri mobilnya ke pasar di ko­ta, berbelanja sendiri membeli sayur-mayur, dan anjing hitam­nya tetap ikut serta.  Oleh karena itu orang di kota, di beberapa kampung lain, terutama pega­wai. kantor dan para kuli kon­trak yang tinggal di barak-ba­rak tengah kebun karet, sudah kenal dengan Nyonya dan an­jing hitamnya.
Anjing itu tidaklah besar atau berbulu panjang seperti biasa­nya anjing yang dipelihara oleh orang Eropa.  Besar badannya juga tak jauh beda dari anjing, kampung biasa.  Andai berada di antara beberapa ekor anjing kampung yang berbulu hitam, sukar membedakannya.
Matahari tambah tinggi, aku membelah kayu di halaman, enam orang anak terus bermain di kolong rumah sebelah.  Orang duduk di warung Bibi Siti ber­tambah juga.  Tiba-tiba aku ter­kejut karena beberapa orang anak berteriak: "Soleh digigit anjing."
Aku menoleh.  Anak yang bemama Soleh tertelungkup di halaman, menjerit.  Betis kaki kirinya berdarah.  Lima orang anak berdiri menghadapi se­ekor anjing hitam.  Cepat aku lari mendekati.  Kiranya mere­ka yang duduk di warung Bibi Siti sudah bergegas berlari mendekati anak-anak itu.  Be­berapa orang berlari sambil berteriak: "Anjing gila!  Bunuh!  Hayo!
Pak Dalah dibantu tiga orang menggendong Soleh dan mem­baringkannya di sebuah bale papan tua di kolong, sementara kami bergegas mengepung an­jing hitam yang moncongnya berdarah.  Ada yang sempat mengambil kayu atau beroti atau batu.  Ada yang berseru: "'Pak Rajaaab.  Pak Rajab!
Pak Rajab pegawai rumah sa­kit di kota.  Datang berlari dari rumahnya sambil menjinjing se­buah tas kulit besar.  Kami tahu tas itu berisi obat-obatan dan peralatan.  Dia langsung meng­obati Soleh.  Dua belas orang ka­mi mengepung anjing hitam.  Be­berapa kali binatang itu melom­pat hendak menembus kepung­an, akan tetapi selalu dihadang dengan sepakan atau dengan pukulan.  Anjing itu ketakutan, bergerak-gerakliar.  Ketika ke­pungan berjarak dua meter dari anjing itu, kulihat pemuda Tolib yang memegang sepotong batu bata mengayunkan tangan.  An­jing itu rebah dan melengking, akan tetapi cepat berdiri lagi.
Dari pangkal telinga kirinya mengalir darah.  Suara mengata­kan anjing gila dan bunuh tam­bah riuh juga, sementara bebe­rapa orang pria dan wanita su­dah mendekat pula.  Anjing itu kembali melompat hendak me­nembus kepungan, akan tetapi dihadang oleh Pak Karno de­ngan pukulan kayu sepergelang­an tangan panjang satu meter.  Binatang itu rebah dan meleng­king. Kedua kaki depannya ber­darah kena pukulan kayu. Bebe­rapa saat terbaring, tiba-tiba dengan sigap anjing itu melom­pat dan berhasil menembus kepungan.  Akan tetapi tak bisa berlari.  Hanya melompat-lom­pat dengan menggunakan kedua kaki belakangnya, menuju kolong rumah.
Pemuda Sabirin yang sejak tadi memegang sebuah sangkak terbuat dari bambu, yang digu­nakan untuk mengurung induk ayam yang beranak kecil, me­ngejar dan dengan menekapkan sangkak itu ke tanah, anjing hitam terkurung rebah miring da­lam sekapan sangkak.  Kami mendekati dan berkerumun me­ngelilingi sangkak.  Dua orang menggunakan kayu, melalui ce­lah bilah bambu sangkak menu­suk-nusuk anjing itu hingga ter­kaing-kaing.  Beberapa orang bersuara marah: "Bunuh!  Itu anjing pendatang!  Anjing gila ... !"
Tiba-tiba suara dan tusukan pada anjing itu terhenti karena ada suara kuat membentak: "Ada apa!?  He!  Ada apa ribut-­ribut?l " Kiranya dua orang poli­si yang tadinya di rumah jaga, sudah berada di halaman, berge­gas mendekat sambil menjinjing karabin.  Seorang bertubuh ke­kar berkumis tebal, temannya bertubuh kurus.  Kami undur memberi jalan bagi polisi itu un­tuk mendekati sangkak dekat tiang.  Pak Jabar berkata: "Ini anjing gila Tuan.  Menggigit anak.  Itu dia korbannya.  Dira­wat."
"Anjing gila?  Ditembak saja biar mati!  " ujar polisi berkumis tanpa menoleh kepada siapa pun.  Langsung mendekati sang­kak diiringi temannya.
"Ya Tuan.  Itu anjingnya.  Tem­bak saja Tuan, " balas Pak Jabar.
Kedua polisi itu berdiri dekat sangkak.  Anjing hitam terbaring miring.  Kedua kaki depannya terlipat berdarah.  Matanya ter­delik memandang kedua polisi yang memperhatikannya.  Darah masih meleleh dari pangkal teli­nga kirinya.  Tiba-tiba polisi ber­kumis menegakkan kepala.  Air mukanya berubah menandakan marah, memandangi kami di se­kitarnya.  Kemudian memben­tak: "Ini anjing Nyonya Tuan Besar!  Masa kamu tidak tahu?!  "
Kukira semua yang hadir, sa­ma dengan aku, baru sadar bah­wa anjing itu kepunyaan Nyo­nya Tuan Besar.  Pak Ali berkata: "Tak peduli anjing siapa.  Kalau menggigit orang harus dibunuh, Tuan.  Itu anjing gila."
"Kurang ajar!" bentak polisi berkumis seperti menjerit, lang­sung menodongkan karabin ke arah Pak Ali.  Polisi kurus rneno­dongkan pula ke arah kami yang satu setengah meter di kelilingi­nya.  "Kamu tentu tabu ini an­jing Nyonya Tuan Besar!  Kamu bilang gila?!  Kurang ajar kamu semua! Tuan Besar itu orang Belanda!  Anjing orang Belanda ti­dak mungkin gila!  Tuan Besar orang paling berkuasa di daerah ini.  Paling dihormati semua orang!  " Suara polisi berkumis itu tambah kuat.  Matanya dide­likkan: "Dengar semua?!  Hen­dak kamu bunuh ya?!  Siapa saja yang menyakiti anjing ini, akan dihlukum!  Bisa ditembak mati!  "
"Tetapi dia menggigit orang, Tuan.  Anak yang sedang ber­main," jawab Pak Ali.
"Bohong!  " bentak polisi itu dan menggerakkan karabinnya.  "Pasti ada yang mengganggu­nya.  Memukul atau melempar­nya!
Pak Ali memandang pada ke­lima anak-anak yang berdiri agak jauh dari kerumunan: "He anak-anak.,Sini! Apakah kamu tadi mengusik anjing ini?"
Kelima anak-anak itu keta­kutan, tak mau mendekat.  Pak Ali bertanya lagi. Seorang di an­taranya menjawab: "Kami tidak mengusiknya.  Kami main kele­reng.  Aku dan Soleh kalah.  Ka­mi hendak mengambil kelereng ke rumah.  Kami berjalan.  Tiba di halaman situ anjing berlari dari jalan raya langsung meng­gigit kaki Soleh... "
"Bohong!  " bentak polisi itu.  "Dasar orang kampung!  Kamu sekongkol!  Siapa yang memu­kul kepala anjing ini sampai berdarah!  " Tak ada yang men­jawab.  Kedua polisi itu mengo­kang karabin mereka, seakan-­akan hendak menembak kami: "Siapa yang memukulnya? Ti­dak ada yang mengaku!  Akan saya tembak kamu semua sam­pai mati!  "
Pemuda Tolib maju hingga se­meter dari hadapan polisi.  Sam­bil membenahi gulungan kain sarung dia berkata: "Saya yang melempar kepalanya dengan batu, Tuan."
"Huh!  Kau ya?  Berani hendak membunuh anjing Nyonya Tuan Besar?" Polisi menodongkan ka­rabin sampai sejengkal dari dada Tolib:"Borgol dia! "
Polisi kurus membuka borgol dari tali pinggang, mendekati Tolib dan memerintah: "Maju­kan kedua tanganmu."
Tolib tidak bergerak.  Ada orang di belakang berkata: "Ikuti kehendak mereka, Tolib.  Nanti semua kita jadi susah."
Tolib mengeluarkan kedua ta­ngannya.  Polisi itu memborgol lalu menarik Tolib maju ke de­kat sangkak.  Polisi berkumis menghardik: "Kau bisa dihu­kum mati!  Kau juga yang me­mukul kaki anjing ini ya?!"
"Tidak.  Bukan dia Tuan.  Saya yang memukulnya.  " Pak Karno menjawab sambil maju semeter di depan polisi berkumis.
"Ha!  Kau juga ya?!  " Polisi berkuniis seperti menjerit ma­rah.  Diapitnya popor karabin, dibukanya borgol dari ping­gangnya, menyerahkan kepada rekan-rekannya: "Borgol orang tua ini." Setelah memborgol, po­lisi kurus menarik Pak Karno berdiri di sisi Tolib.  Polisi berku­mis berkata: "Kedua orang ini akan diangkut ke kota.  Akan di­hukum penjara atau ditembak mati." Kemudian menggerak­kan karabinnya yang sudah di­kokang: "Kamu semua!  Bawa anjing ini ke lapangan tenis sa­ya. Supaya dilihat oleh Nyonya Tuan Besar."
Tak ada yang menyahut atau bergerak. Polisi itu seperti men­jerit marah: "Kamu dengar se­mua!?  Orang kampung keras ke­pala ya!?  Akan saya panggil em­pat buah truk yang ada di sana.  Kamu lihat itu empat truk!?  Se­mua kamu akan saya angkut dengan truk.  Dibawa ke kota.  Se­mua akan dihukum!  Hayo.  Ba­wa anjing ini ke lapangan tenis sana!  "
"Baik Tuan," itu suara Pak Hamdan yang tua.  Lalu kepada kami, "Ayo kawan-kawan.  Kita bawa anjing ini ke sana.  Daripa­da kita sekampung ditimpa ben­cana."
Kerumunan bergerak seakan bubar. Beberapa orang meng­ajukan pendapat bagaimana membawa anjing itu.  Kemudian ada kesepakatan.  Pak Samadi­kun naik ke rumahnya.  Turun membawa sehelai karung goni yang masih agak baru.  Dasar karung itu dibelah dengan pi­sau.  Kemudian dua potong kayu sepergelangan tangan masing-­masing panjang tiga meter disu­rukkan ke dalam karung.  De­ngan melapisi tangan, anjing yang seperti akan mati itu dile­takkan di atas karung.  Kedua polisi menjaga dengan todongan karabin.
Empat orang pemuda me­manggul karung di mana anjing luka terbaring.  Tak ubahnya se­perti memanggul keranda jena­zah.  Sesuai perintah polisi, yang memanggul berjalan di depan.  Di belakangnya Tolib dan Pak Karno dengan tangan diborgol.  Koua polisi di belakangnya de­ngan menodongkan karabin.  Lebih kurang dua puluh lima orang kami mengiring di be­lakang polisi.  Percakapan bebe­rapa orang hanya bergumam.
Tiba di simpang tiga jalan raya, keempat pemuda yang me­manggul anjing berhenti me­langkah.  Rombongan juga ter­henti.  Di jalan raya perkebunan, dari arah lapangan tenis, sedan merah buka kap datang menuju simpang.  Suara bergumam tam­bah ramai.  Pada jarak dua puluh meter, kami lihat jelas, sedan itu dikemudikan oleh Si Noni.  Di sisinya duduk gadis bule seba­yanya.  Keduanya menggerak-­gerakkan tangan tanda mereka berbincang.
Sedan mendekat.  Pada jarak lima meter, keempat pemuda yang memanggul anjing mundur dua langkah, melapangkan ja­lan bagi sedan yang melambat.  Aku tak tahu apakah sedan itu melambat karena rombongan di tengah persimpangan jalan atau karena akan membelok agak mematah.  Kemudian mobil itu tambah lambat, membelok perlahan agak mematah ke sela­tan, sementara Si Noni terus berbincang sambil menggerak-­gerakkan tangannya, Tak ada yang menoleh pada rombongan yang hanya dua meter di sisi mo­bil.  Seakan-akan kami yang di tengah simpang jalan tak ada. Hanya anjing hitam milik Nyo­nya Tuan Besar yang duduk di jok belakang menunggakkan kedua kaki depannya, menoleh, memandangi kami, hingga sedan itu membelok dan melaju ke selatan.
Mendadak suara orang ramai" meneriakkan kata-kata yang sama: "Itu dia anjing Nyonya Tuan,­Besar Tuan Polisi!"
Polisi kurus agak bergegas menanggalkan borgol dari tangan Tolib.  Ketika polisi berkumis menanggalkan borgol dari tangan Pak Karno, air mukanya cemberut seraya bersungut-sungut: "Dasar orang kampung.  Semua tolol!  Semua goblok!  Bi­kin susah polisi."
Keduanya menyandangkan karabin di bahu, kemudian me­langkah lamban ke rumah jaga. Palembang, 15 Juli 1999

CERPEN ANDRINA



Andrina
Cerpen George Mackay Brown

ANDRINA biasa da­tang berkunjung di senja musim dingin, sebelum hari gelap.
Dia akan menyala­kan lampu, menghidupkan per­apian, dan memeriksa air mi­num.  Jika aku sakit (meskipun cukup jarang, karena aku se­orang pelaut tua yang cukup ku­at) dia cerewet.  Dia akan mele­takkan lebih banyak suluh ke perapian, mengisi botol minum dengan air panas, memakaikan baju hangat wol tebal ke tubuh­ku. Setelah dia pergi, aku mele­paskan baju hangat itu dan me­minum toddy (wiski dengan air panas dan gula).
Akhir Februari tahun lalu aku torserang demam yang cukup berat.  Sakit paling burak yang pernah aku derita.  Aku terba­ngun dengan tubuh menggigil, merangkak tunm dari tempat tidur untuk menyiapkan sara­pan pagi dengan napas ter­engah-engah entah kenapa, sepertinya ada yang mengham­bat jalur napasku.  Kupaksakan diri untuk makan dan minum teh hangat.  Pagi itu aku tidak bi­sa melakukan apa-apa selain terbaring di tempat tidur.  Aku paksakan membaca buku. Teta­pi ini juga tidak membuatku nyaman.  Kepalaku sangat berat.  Hari ini Andrina akan datang sekitar jam lima atau enam.  Meskipun dia tidak akan bisa melakukan apa pun untuk meri­ngankan sakitku, aku akan se­nang mehhatnya.
Sayang Andrina tidak mun­cul.  Aku mengharapkan dia da­tang.  Kubayangkan dia membuka pintu pelan-pelan, lalu ku­dengar sapaan yang lemah lem­but.  Barangkah ia akan menya­takan dengan manis ketidakse­tujuan-seperti yang biasa di lakukannya-terhadap hal-hal yang dilihatnya setelah ia menyalakan lampu.  Ruangan ini memang sangat berantakan.Ibh o.rang sakit tidak akan peduli Ongan apa pun di sekelilingnya.  Aamun sampai hari gelap, An­cthna tidak datang.  Barangkali ada alasan yang membuatnya tldak bisa datang.  Aku tetap me­nunggunya sampai tertidur. @ Aku terbangun pada saat silau idatahari masuk dari jendela.  Tlenggor-okanku kering.  Mukaku panas bagai terbakar.  Kepalaku bertambah berat.  Aku bangkit mengambil air minum dan kem­bah ke tempat tidur.  Gigiku menggelutuk.  Dalam keadaan menggigil, aku kembali tertidur dan bangun menjelang sore.. So­re ini Andrina pasti datang.  Hart ini ada hal-hal yang harus dila­kukan Andrina: membeli aspi­rin, menyelimuti tubuhku, atau menuang minuman.  Tetapi dia tidak datang.  Dia juga tidak da­tang di senja ketiga.
Aku terbangun.  Gemetar Ma­lam sangat gelap.  Angin berhem­bus dari cerobong asap.  Ada per­cikan air hujan di jendela.  Bagi­ku ini malam terpanjang yang aku rasakan dalam hidupku.
Saat terbangun aku mende­ngar untuk pertama kalinya se­jak empat hari lalu, suara sese­orang.  Itu suara Stanley, tukang pos yang berbicara pada anjing milik tetangga sebelah.  "Ada paket katalog buat Minnie.  Bi­lang pada Minnie ada surat cin­ta buatnya.  Ayo panggil!  Bagus!  Anjing pintar.  Hai Minnie kamu di situ?  Aku takut Ben si tua ada di sini dan mendampratku.  Ya, Minnie, hall ini sangat cerah......
Aku tidak pernah menyukai tukang pos itu.  Tetapi pagi ini dia lewat ke depan jendelaku.  Dia membuka pintu tanpa me­ngetuk lebih dulu.
"Ada surat dari tempat yarig sangat jauh, pelaut!  " Dia mele­takkan surat itu di kursi dekat pintu.
"Aku lagi sakit, aku khawatir tidak bisa....... kataku.  Suaraku teramat pelan.  Tukang pos itu melihat perapian yang padam dan jendela yang tertutup.  "Wow, ruangan ini apek.  Ingin udara segar?" lalu dia menutup pintu dan pergi.  Aku teringat Kapten Scott yang menulis be­berapa kalimat terakhir di tenda Antartika.
Pada saat sakit seperti ini aku merana.  Aku kasihan pada nasib diri.  Teman-teman pergi meninggalkan aku.  Aku dikhianati dan dibuang pada saat terpuruk.  Tetapi aku harus tegar.  Seorang pelaut tua yang kuat sepertiku tidak mudah begitu saja menye­rah.  Aku berkata "Torvald, ka­mu ini mengharapkan apa?  Apa yang kamu inginkan pada se­orang gadis dua puluh satu ta­hun yang sangat menarik hati.  Coba pikir dengan cara ini.  An­drina, dengan kebaikan dan perhatiannya, sudah menghabiskan musim dinginnya bersamamu.  Gadis itu telah membawa sinar terang di waktu gelapmu.  Kare­na suatu alasan ia tidak datang beberapa hari ini. Aku harus menemukan alasan ketidakha­dirannya sekarang."
Aku memutuskan untuk tu­run daritempat tidur dan pergi ke pusat desa.  Sekalian meng­ambil uang pensiun ke kantor pos dan membeli persediaan makanan.  Dua mil beijalan de­ngan susah payah sungguh membuatku tersiksa.
Temyata akti tidak tahu apa-apa pun tentang Andrina.  Aku tidak pemah menanyakan apa pun dan dia tidak pemah mencerita­kan apa pun.  Siapa ibunya, sia­pa bapaknya, berapa saudara­nya, di mana dia tinggal.  Hal-hal itu tak pemah terlintas dalam percakapan kanii.  Bagiku sudah cukup dia datang setiap sore menjelang malam dengan me­nunjukkan perhatian dan du­kungannya, berlama-lama se­bentar dan pergi dengan me­ninggalkan kedamaian di hati.
Musim dingin lalu dia berta­nya tentang diriku.  Semua hal yang baik, buruk, dan menye­nangkan yang pemah aku alami.  Aku menceritakannya.  Seorang laki-laki tua selalu me­nyukai masa lalunya. la akan menceritakan dengan bersema­ngat seakan-akan semua masa lalunya itu penting untuk dike­tahui.  Aku menggambarkan diriku di masa muda sebagai se­orang pemuda pemberani yang juga sembrono.  Karakterku perpaduan antara karakter Kapten Cook dan Kapten Hook.  Aku juga menambahkan petu­alanganku dengan figur-figur menakutkan di begitu banyak pelabuhan dari Hongkong, Durban, sampai San Fransisco.  Andrina menyukai ceritaku.  Dia akan mengecilkan sumbu lampu, mengatur perapian le­bih kecil untuk menciptakan suasana lebih niisterius.  Di an­tara berbagai pengalaman yang aku ceritakan, ada satu episode yang tidak kuceritakan dengan lengkap.  Episode menyakitkan dalam hidupku, kapan pun aku pikirkan itu.  Episode itu tetap menghantui di saat aku sakit seperti sekarang.
Di sore terakhir Andrina ber­samaku, dia duduk dekat per­apian, Aku bercerita.  Sebelum ceritaku selesai-seakan Andri­na tabu akhir cerita yang me­nyedihkan-tiba-tiba Andrina menatapku dengan hambar.  Ia memberikan ciuman di pipi.  La­lu dia pergi.
Ceritanya berawal dari se­buah pulau, lima puluh tahun lalu.  Alkisah ada sepasang anak muda yang tengah dimabuk asmara.  Seusai pesta dansa di sua­tu musim panas, mereka berja­lan bergandengan tangan melin­tasi bukit batu, menikmati senja yang menakjubkan, dan me­mandangi matahari tenggelam di pesisir laut.  Mereka bertemu di persimpangan jalan, di toko, kampung, di sisi bukit.  Tetapi dari tempat-tempat pertemuan itu, mereka lebih menyukai per­temuan di pantai.  Di sana mere­ka bisa bebas berdua.  Tak ada orang lain mengganggu, kecuali teriakan burung laut dan debur ombak.  Mereka bertemu dari malam satu ke malam lainnya dan bercinta.
Di suatu senja di salah satu gua pesisir pantai, si gadis me­ngatakan suatu rahasia dengan gemetar.  Si pemuda menggeleng dan berpaling.  Dia menatap se­akan si gadis seorang pelacur liar.  Dia pergi meninggalkan si gadis dan berlari sepanjang pe­sisir pantai sampai ke tepi jalan.  Tanpa pemah menoleh lagi.
Dia kemudian menjadi pelaut yang berpetualang melintasi be­nua: Kanada, Australia, Afrika Selatan.  Dia pergi ke mana pun untuk menghindari si gadis yang terus mengikuti dengan segenap cintanya.  Waktu terus bergulir sampai tiba rambut-rambut pu­tih tumbuh.  Dia kembali pulang.  Berharap lima puluh musim di­ngin yang dilaluinya akan ber­hasil menyembuhkan luka lama.  Dia menaiki bukit berbatu dan melihat ke sekeliling.  Dalam ke­hampaan dia ingat wajah seorang wanita yang pemah ada dan kemudian pudar dalam hi­dupnya.
Tina Stewart adalah pegawai pos yang mengetahui setiap orang dan segala sesuatu di pu­lau ini.  Aku mendekatinya.  Aku ingin tabu apa saja berita yang beredar belakangan ini: apakah ada orang yang tiba-tiba sakit?  Apakah ada seseorang-misal­nya seorang perempuan muda­mendadak meninggalkan pulau ini untuk alasan apa pun?  'hna Stewart menatapku dengan ma­ta menyelidik.
“Tidak," katanya.  "Tak ada satu pun yang datang atau pergi. Hanya kamu, Kapten 'Tor­vald, yang tinggal sepanjang hari di tempat tidur.  Coba per­hatikan kesehatanmu sendiri.  Kamu sendirian di nimah.  Wa­jahmu pucat..."
Aku bertanya barangkali dia tabu daerah pertanian di mana Andrina tinggal.  Tina Stewart menatapku sejenak.  Lalu meng­geleng.  Sepanjang pengetahu­annya tidak ada seorang pun de­ngan nama itu di sini.  Dan tidak pemah ada.  Aku beranjak de­ngan tangan gemetar.  Aku perlu minuman segar.  Di suatu bar ke­cil aku melihat Isaac Irving pe­milik bar.  Aku juga menanyakan Andrina kepadanya.
"Andrina selalu datang setiap senja ke rumahku, untuk mena­ta rumah, memasak, dan mencu­ei untukku.  Sudah seminggu le­bih ini dia tidak muncul.  Kamu tahu tentang gadis ini?"
Isaac menatapku seakan­akan aku sudah kehilangan akal.  "Seorang per-empuan mu­da datang ke rumah kau?  Me­nyelesaikan pekerjaan rumah?  Betulkah?  Aku betul-betul tidak tahu.  Berapa banyak gelas mi­numan yang kau habiskan sebe­lum ke sini, pelaut?" Aku minum gelas keempat dan bersiap pergi.
"Sorry, pelaut," kata Isaac.  "Aku sarankan, saat kau de­mam, kau bayangkan saja gadis itu, siapa pun namanya.  Satu­satunya perempuan yang aku li­hat pada saat aku demam ada­lah iblis betina.  Kau masih un­tung, memimpikan seorang An­drina." Isaac Irving tahu pulau ini beserta semua penduduknya.  Bahkan lebih tabu dari Tina Stewart.
Sampai di rumah aku menda­patkan secarik surat yang terge­letak di atas meja.  Surat itu ber­cap pos Australia:
"Aku mengikutimu dan Sels­kay mengikuti arah putaran dunia sampai akhimya berhenti di Tasmania.  Setelah aku sadar, tak ada gunanya bagiku untuk pergi lebih jauh mencarimu.  Aku me­nyimpannya sendiri.  Aku tak ingin kamu terganggu.  Aku ti dak ingin kamu menderita se­pertiku.  Selama bertahun-ta­kun.  Kita berdua sudah tua.  Aku menulis ini mungkin sia-sia, Ka­rena mungkin saja kamu tidak kembali ke Selskay atau barang­kali kamu sudah sirna seperti debu atau membeku bersama ga­ram laut.  Jika kamu masih hi­dup (dan aku pikir kamu kesepi­an), barangkali suratku akan membuatmu bahagia, meskipun akhir cerita ini menyedihkan. Tetapi inilah kehidupan.  Anak perempuanmu anak kita-aku tidak ingin mengatakan apa pun karena kamu tidak ingin menge­nal dan mengakuinya.  Aku ingin mengatakan satu hal padamu: anak itu telah memiliki anak pe­rempuan yang telah memberiku nuansa kebahagiaan.  Bagiku, ia adalah pelita kebahagiaan.  Aku harus berterima kasih padamu yang telah memberikan pelita yang juga melahirkan pelita.  Ia juga menjadi pelitamu di musim dingin.  Aku sering bercerita ten­tang kamu dan saat-saat musim panas yang pernah kita lalui bersama di masa lampau.  Masa yang sudah lama berlalu -kepa­danya.  Aku mengatakan hal-hal manis dan menyenangkan ten­tang kita.  Dia berkata, "Aku ingin tahu dan mengenal kakek­ku. Apakah dia kesepian?  Dia pasti akan senang dan bahagia, jika ada seseorang yang mem­buatkannya secangkir kopi pa­nas dan menjaga perapiannya.  Suatu saat aku akan pergi ke Scotland.  Aku akan mengetuk pintu rumahnya, di mana pun dia tinggal, aku akan melaku­kan apa pun untuknya.  Apakah nenek sangat mencintainya?  Dia pasti orang baik.  Aku akan men­jenguknya.  Aku akan mende­ngar ce'rita lama itu dari mulut­nya sendiri.  Lebih dari itu, tentu saja tentang kisah cinta.  Karena nenek tidak pernah mencerita­kan apa pun tentang itu."
Aku menulis surat ini hanya untuk memberi tahu bahwa ini sudah berakhir dan tidak akan teriadi lagi.  Cucu kita, Andrina meninggal seminggu yang lalu, di awal musim semi.  Kecelakaan tiba-tiba merenggut nyawanya...
Di perapian, aku duduk terce­nung.  Andrina adalah tunas yang tumbuh di musim dingin­ku. Namun tunas itu telah gugur.  Ia membawa pergi sejumput ke­nangan tentang bagaimana dia datang di saat cahaya bintang bersinar di langit.  Barangkali nun di atas sana, dalam kemaya­an, Andrina tersenyum melihat­ku menangis. * Kompas Minggu, 29 Agustus 1999
* Terjemahan bebas dari kar­ya George Mackay Brown "Andria", dalam buku The Oxford Book of Scottish Short stories, Douglas Dunn, Oxford Univer­sity Press 1995, hlm 327-333, di­terjemahkan oleh Yeni Ratnako­mala.