Kecerdasan Emosi dari Pandangan Daniel Goleman
Pengertian
Kecerdasan Emosi
Akar kata emosi adalah : movere kata kerja bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak” ditambah awalan “e”
untuk memberi arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan
bertindak merupakan hal mutlak dalam
emosi. Menurut Daniel Goleman dalam bukunya Kecerdasan Emosional, semua emosi
(2002:7) pada dasarnya adalah dorongan
untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan
secara berangsur-angsur (evolusi), dan emosi
juga sebagai perasaan dan
fikiran-fikiran khas, suatu keadaan biologis, dan psikologis serta serangkaian
kecenderungan untuk bertindak. Emosi dapat dikelompokkan pada rasa amarah,
kesedihan, takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel dan malu, dalam
kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar bebas dari stres, tidak
melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati, dan berdoa (Goleman, 2002:45).
Dengan demikian yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan
seseorang untuk memahami serta mengatur suasana hati agar tidak melumpuhkan
kejernihan berfikir otak rasional, tetapi mampu menampilkan beberapa kecakapan,
baik kecakapan pribadi maupun kecakapan antar pribadi. Dilihat dari segi
peserta didik, siswa yang merasa kecerdasan emosionalnya baik, dengan contoh
siswa merasa senang, akan bergairah dan semangat dalam belajar, disamping
motivasi belajar. Dengan demikian, perasaan siswa menjadi suatu sumber energi
dalam belajar, disamping motivasi belajar. (Winkel, 2004:207)
2. Unsur-Unsur Kecerdasan Emosi Menurut Daniel
Goleman
Goleman berpendapat ada dua macam kerangka kerja kecakapan emosi
yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Masing-masing dari kecakapan
tersebut memiliki ciri-ciri tertentu yang digabung menjadi lima ciri.
Adapun kelima ciri-ciri tersebut, menurut Goleman dalam bukunya
yang berjudul Kecerdasan Emosional (2002:63), disimpulkan bahwa 5 ciri-ciri
seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi menurut teori Goleman dapat
ditabelkan berikut ini:
Lima wilayah ciri-ciri
Kecerdasan Emosional
5 Wilayah kecerdasan
Pribadi dalam bentuk
kecerdasan Emosional
|
|
1.
|
Kesadaran Diri
|
2.
|
Pengaturan Diri
|
3.
|
Motivasi Diri
|
4.
|
Empati Diri
|
5.
|
Keterampilan Sosial
|
a. Kesadaran
Diri
Para ahli psikologi menggunakan
metakognisi untuk menyebutkan proses berfikir untuk menyebut kesadaran
seseorang akan emosinya sendiri. Adapun Goleman
lebih menyukai istilah kesadaran diri untuk menyebut dua kesadaran di
atas (Goleman,2002:63).
Kesadaran diri menurut Goleman bukanlah
perhatian yang larut ke dalam emosi akan tetapi lebih merupakan modus netral
yang mempertahankan refleksi diri di tengah badai emosi (Goleman,2002:64). Hal
ini juga dikenal dengan istilah “Stemming
dasar” atau nada dasar alam perasaan, yang lebih kurang menetap. (Winkel,
2004:208).
Menurut Goleman Kesadaran diri yaitu mengetahui apa yang ia
rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan
diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri, dan
kepercayaan diri yang kuat (Mts Ma’arif Manggung, 2011:02).
Dalam buku Kecerdasan Emosional (2002:62), Goleman memaparkan
contoh kesadaran diri yaitu :
“Alkisah, di Jepang ada
seorang Samurai yang suka bertarung. Samurai ini menantang seorang guru Zen
untuk menjelaskan konsep surga dan neraka. Tetapi pendeta menjawab dengan nada
menghina, ”Kau hanyalah orang bodoh, aku tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk orang
macam kamu.” Merasa harga diri direndahkan, Samurai itu naik darah. Sambil
menghunus pedang, ia berteriak, ”Aku dapat membunuhmu karena kekurangajaranmu.”
“Nah,” jawab pendeta itu dengan tenang, ”Itulah neraka.” Takjub melihat
kebenaran yang ditunjukkan oleh sang guru, amarah yang menguasai diri samurai
itu menjadi tenang, menyarungkan pedangnya, dan membungkuk sambil mengucapkan
terima kasih pada sang pendeta itu atas penjelasannya. ”Dan” kata sang pendeta,
”Itulah surga.”
Kesadaran mendadak Samurai
terhadap gejolak perasaannya adalah inti dari kecerdasan emosional, yaitu
kesadaran akan perasaan diri sendiri waktu perasaan itu timbul.
Menurut Goleman (2002:428), dalam bukunya kecerdasan emosi untuk
meraih puncak prestasi. Kesadaran diri tidak terbatas pada mengamati diri dan
mengenali perasaan akan tetapi juga menghimpun kosa kata untuk perasaan dan
mengetahui hubungan antara fikiran,
perasaan, dan reaksi.
Menurut Goleman (2002:95) mengatakan bahwa kesadaran seseorang
terhadap titik lemah serta kemampuan pribadi seseorang juga merupakan bagian
dari kesadaran diri. Adapun ciri orang yang mampu mengukur diri secara akurat adalah:
(a)
Sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya.
(b)
Menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman.
(c)
Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima
perspektif baru, mau terus belajar dan
mengembangkan diri sendiri.
(d)
Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri
dengan perspektif yang luas dengan pandai menangani kesedihan (Goleman,
2002:97).
Kesadaran diri memang penting apabila seseorang ceroboh, tidak
memperhatikan dirinya secara akurat, maka hal itu akan merugikan dirinya dan
berdampak negatif bagi oarang lain. Oleh
sebab itu, manusia harus pandai-pandai mencari tahu siapa dirinya. Kesadaran
diri juga tidak lepas dari rasa percaya diri. Percaya diri memberikan asuransi
mutlak untuk terus maju. Walaupun demikian, percaya diri bukan berarti nekad.
Menurut Goleman (2002:110-111), rasa percaya
diri erat kaitannya dengan “efektivitas diri”, penilaian positif tentang kemampuan kerja diri sendiri.
Efektifitas diri cenderung pada keyakinan seseorang mengenai apa yang ia
kerjakan dengan menggunakan keterampilan yang ia miliki.
Percaya diri memberi kekuatan untuk membuat keputusan yang sulit
atau menjalankan tindakan yang diyakini kebenarannya. Tidak adanya percaya diri
dapat menjadikan rasa putus asa, rasa tidak berdaya, dan meningkatnya keraguan
pada diri sendiri. Adapun ciri dari
orang yang memiliki rasa percaya diri adalah:
(a)
Berani tampil dengan keyakinan diri, berani menyatakan
keberadaannya.
(b)
Berani menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia
berkorban demi kebenaran.
(c)
Tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan
tidak pasti dan tertekan (Goleman, 2002:107).
Adanya kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu
merupakan hal penting bagi pemahaman diri. Adapun ketidakmampuan untuk
mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat manusia berada dalam kekuasaan
perasaan. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih baik tentang perasaannya
adalah pengendali yang handal bagi kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan
lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan.
Keputusan masalah pribadi maupun profesi. Kesadaran diri tidak lain adalah kemampuan untuk mengetahui
keadaan internal. Kesadaran diri sangat penting dalam pembentukan konsep diri
yang positif. Konsep diri adalah pandangan pribadi terhadap diri sendiri, yang
mencakup tiga aspek yaitu :
(a)
Kesadaran emosi, yaitu
tahu tentang bagaimana pengaruhnya emosi terhadap kinerja, dan kemampuan
menggunakan nilai-nilai untuk memandu pembuatan keputusan.
(b)
Penilaian diri secara akurat, yaitu perasaan yang tulus tentang
kekuatan-kekuatan dan batas-batas pribadi, visi yang jelas tentang mana yang
perlu diperbaiki, dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman orang lain.
(c)
Percaya diri yaitu
keyakinan tentang harga diri dan kemampuan diri.
Menurut dasar inilah maka bagi seorang siswa-siswi SMK yang
nantinya akan menjadi calon drafter
diharapkan mempunyai sikap kesadaran diri yang kuat, agar nantinya dapat
menunjang kehidupan dari para siswa-siswi dalam lingkungan pekerjaannya maupun
dilingkungan masyarakat. Rasa percaya diri yang tinggi, dan dapat mengetahui
apa yang menjadi kelebihan dan kelemahan dari siswa itu sendiri dapat menjadi
acuan untuk seorang siswa dalam melaksanakan KBM MPL-TL agar cara belajar mereka
dapat lebih maksimal. Peserta didik akan mengetahui cara mengatasi kelemahan
dan kelebihan mereka dalam KBM MPL-TL.
b.
Pengaturan Diri
Menurut Goleman dalam bukunya Kecerdasan Emosional
(2002:111-112) pengaturan diri adalah pengelolaan impuls dan perasaan yang
menekan. Dalam kata Yunani kuno, kemampuan ini disebut sophrosyne, “hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan,
keseimbangan, dan kebijaksanaan yang terkendali” sebagaimana yang diterjemahkan
oleh Page Dubois, seorang pakar bahasa Yunani (Goleman, 2002:77).
Menurut Goleman, lima kemampuan pengaturan diri yang umumnya
dimiliki oleh star performer adalah
pengendalian diri, dapat dipercaya, kehati-hatian, adaptabilitas, dan inovasi
(Goleman, 2002:77).
1)
Pengendalian Diri
Pengendalian diri adalah mengelola dan menjaga agar emosi dan
impuls yang merusak tetap terkendali. Orang-orang yang memiliki kecakapan pengendalian diri ini adalah
sebagai berikut :
(a)
Mengelola dengan baik perasaan-perasaan impulsif dan emosi-emosi yang menekan.
(b)
Tetap teguh, berpikir positif, dan tidak goyah bahkan dalam
situasi yang paling berat.
(c)
Berpikir dengan jernih dan tetap terfokus kendali dalam tekanan
(Goleman, 2002:130-131).
2)
Dapat dipercaya dan kehati-hatian yaitu memelihara norma kejujuran dan
integritas. Orang dengan kecakapan ini:
(a)
Bertindak menurut etika dan tidak pernah mempermalukan orang.
(b)
Membangun kepercayaan lewat keandalan diri dan otentisitas.
(c)Mengakui kesalahan
sendiri dan berani menegur perbuatan tidak etis orang lain.
(d)
Berpegang kepada prinsip secara teguh bahkan bila akibatnya
adalah menjadi tidak disukai (Goleman, 2002:142-144).
3)
Kehati-hatian, yaitu dapat diandalkan dan bertanggung jawab dalam memenuhi
kewajiban. Orang dengan kecakapan ini:
(a)
Memenuhi komitmen dan mematuhi janji.
(b)
Bertanggung jawab sendiri untuk memperjuangkan tujuan mereka.
(c)
Terorganisasi dan cermat dalam bekerja.
4)
Adaptabilitas
Adaptabilitas yaitu keluwesan dalam menanggapi perubahan dan
tantangan. Orang dengan kecakapan ini:
(a) Terampil menangani
beragamnya kebutuhan, bergesernya prioritas, dan pesatnya perubahan.
(b) Siap mengubah tanggapan
dan taktik untuk menyesuaikan diri
dengan keadaan.
(c) Luwes dalam memandang
situasi (Goleman, 2002:151).
Adaptabilitas menurut keluwesan dalam mempertimbangkan
bermacam-macam perspektif untuk suatu situasi
pada gilirannya. Keluwesan ini tergantung pada ketangguhan emosi atau
kemampuan untuk tetap merasa nyaman dalam ambiguitas dan tetap tenang dalam
menghadapi sesuatu yang tidak terduga. Orang yang kemampuannya kurang dalam menyesuaikan diri
akan dihantui ketakutan, kecemasan, ketidaknyamanan yang mendalam akibat
perubahan. Adapun berubahnya realitas merupakan bagian dari kehidupan yang tidak terelakkan, terutama dalam dunia
bisnis. Kecakapan lain yang mendukung adaptabilitas adalah rasa percaya diri, khususnya kepastian
yang memungkinkan seseorang dengan cepat mengatur tanggapan yang sesuai, dan
melepaskan apa saja tanpa pertimbangan terlalu banyak. Adapun kecakapan lain
yang berhubungan dengan adaptabilitas adalah inovasi (Goleman, 2002:157-158).
5) Inovasi yaitu bersikap terbuka terhadap
gagasan-gagasan dan pendekatan-pendekatan baru, serta informasi terkini. Orang
dengan kecakapan ini :
(a) Selalu mencari gagasan
baru dari berbagai sumber.
(b) Mendahulukan
solusi-solusi yang orisinal pemecahan masalah.
(c) Menciptakan
gagasan-gagasan baru.
(d) Berani mengubah wawasan
dan mengambil resiko akibat pemikiran baru mereka (Goleman, 2002:151).
Tindakan inovatif
memerlukan unsur kognitif dan emosi. Bisa mempunyai wawasan kreatif
merupakan unsur kognitif. Adapun untuk merasakannya memerlukan kecakapan emosi, seperti percaya diri dan ketekunan.
Berkaitan dengan adanya unsur emosi dalam proses inovasi,
Goleman menambahkan bahwa landasan
emosi seorang inovator adalah senang
menikmati orisinalitas. Pada saat orang lain sibuk bergelut dengan hal-hal
remeh, dan merasa ketakutan yang luar biasa terhadap resiko gagasan barunya,
seorang inovator dapat dengan cepat mengidentifikasi isu-isu penting dan menyederhanakan masalah yang semula tampak
sangat rumit (Goleman, 2002:150).
Secara sederhana, Goleman membagi tahapan penting dalam inovasi
ini. Dalam dua tahapan pertama inisiasi
yaitu munculnya gagasan cemerlang. Kedua, implementasi yaitu mewujudkan gagasan
tersebut (Goleman, 2002:165). Hasil refleksi ini juga bisa menjadi aspek
kognitif dalam pembentukan sikap dan membuat sikap semakin tertanam dalam batin
siswa. (Winkel,S.J.,WS: 2004:212).
Dengan seorang siswa memiliki sikap pengaturan diri yang baik,
maka akan muncul sikap baik yang penting dibutuhkan seorang manusia yaitu
sebuah kejujuran dan membangun kehidupan yang gagal agar menjadi baik kembali,
sikap seperti itulah yang sekarang telah luntur dan kewajiban untuk seorang
generasi bangsa yaitu membangun kembali dan membudayakan sikap seperti itu
untuk dirinya sendiri dan misinya untuk membiasakan sikap jujur dan bangkit
kembali kepada generasi selanjutnya. Sikap jujur dan bangkit juga sangat
diperlukan dalam proses pembelajaran KBM MPL-TL, karena dengan bersikap
mengatur diri untuk menjadi lebih baik maka secara langsung kehidupan seorang
siswa akan menjadi lebih baik untuk perkembangan pendidikannya ataupun nantinya
untuk mereka dilingkungan pekerjaan yang mana manusia jujur dan dapat mengatasi
masalah-masalah dengan sikap bangkit kembali akan lebih disukai dilingkungan
pekerjaan.
c. Motivasi
Motivasi yaitu menggunakan hasrat yang paling dalam untuk
menggerakkan dan menuntun menuju
sasaran, membantu untuk mengambil inisiatif untuk bertindak secara efektif, dan
untuk bertahan menghadapi kegagalan atau frustasi (Goleman, 2002:514).
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang
sangat penting yang berkaitan dengan memberi perhatian, memotivasi diri
sendiri, menguasai diri sendiri, dan berkreasi.
Untuk menumbuhkan motivasi seseorang perlu adanya kondisi flow pada diri orang tersebut. Flow adalah keadaan lupa sekitar, lawan
dari lamunan dan kekhawatiran, bukannya tenggelam dalam kesibukan yang tak tentu
arah. Momen flow tidak lagi bermuatan
ego. Orang yang dalam keadaan flow menampilkan
penguasaan hebat terhadap apa yang mereka kerjakan, respon mereka sempurna senada dengan
tuntutan yang selalu berubah dalam tugas itu, dan meskipun orang menampilkan puncak kinerja saat sedang flow, mereka tidak lagi peduli pada
bagaimana mereka bekerja, pada fikiran sukses atau gagal. Kenikmatan tindakan itu sendiri yang memotivasi mereka (Goleman, 2002:128).
Flow merupakan puncak
kecerdasan emosional. Dalam flow
emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan, akan tetapi juga bersifat
mendukung, memberi tenaga, dan selaras dengan tugas yang dihadapi. Terperangkap
dalam kebosanan, depresi, atau kemeranaan kecemasan menghalangi tercapainya
keadaan flow.
Menurut Goleman (2002:128-129), salah satu cara untuk mencapai flow adalah dengan sengaja memusatkan
perhatian sepenuhnya pada tugas yang sedang dihadapi. Keadaan konsentrasi
tinggi merupakan inti dari kinerja yang flow.
Flow merupakan keadaan yang
bebas dari gangguan emosional, jauh dari paksaan, perasaan penuh motivasi yang
ditimbulkan oleh ekstase ringan. Ekstase itu tampaknya merupakan hasil samping dari fokus perhatian yang
merupakan hasil prasyarat keadaan flow.
Mengamati seseorang yang dalam keadaan flow memberi kesan bahwa yang sulit itu mudah, puncak performa
tampak alamiah dan lumrah. Ketika dalam keadaan flow otak berada pada keadaan
“dingin”.
Adapun selain itu yang berkaitan dengan motivasi adalah
optimisme. optimisme seperti harapan berarti memiliki pengharapan yang kuat
bahwa secara umum, segala sesuatu dalam kehidupan akan sukses kendati ditimpa
kemunduran dan frustasi. Dari titik pandang kecerdasan emosional, optimisme
merupakan sikap yang menyangga orang agar
jangan sampai jatuh dalam kemasabodohan, keputusasaan atau depresi bila
dihadang kesulitan, karena optimisme membawa keberuntungan dalam kehidupan
asalkan optimisme itu realistis. Karena optimisme yang naif membawa malapetaka
(Goleman, 2002:123).
Orang yang optimis memandang kemunduran sebagai akibat sejumlah faktor yang bisa diubah, bukan
kelemahan atau kekurangan pada diri sendiri. Berbeda dengan orang pesimis yang
memandang kegagalan sebagai penegasan atas sejumlah kekurangan fatal dalam diri
sendiri yang tidak dapat diubah. Menurut Goleman (2002:196), ciri-ciri dari
orang yang memiliki kecakapan optimis
adalah sebagai berikut:
(a)
Tekun dalam mengejar sasaran kendati banyak halangan dan
kegagalan.
(b)
Bekerja dengan harapan untuk sukses bukannya takut gagal.
(c)
Memandang kegagalan atau kemunduran sebagai situasi yang dapat
dikendalikan ketimbang sebagai
kekurangan pribadi (Goleman, 2002:196).
Kerabat dekat optimisme adalah harapan. Harapan yaitu mengetahui
langkah-langkah yang diperlukan untuk meraih sasaran dan memiliki semangat
serta energi untuk menyelesaikan tingkah-tingkah tersebut, harapan merupakan
daya pemotivasi utama, maka ketidakhadirannya membuat orang tak berdaya. Pada
dasarnya ada empat kemampuan motivasi yang harus dimiliki. (Goleman,2002:181-182), yaitu:
1)
Dorongan prestasi yaitu dorongan untuk meningkatkan atau memenuhi standar
keunggulan. Orang dengan kecakapan ini:
(a)
Berorientasi pada hasil, dengan semangat juang tinggi untuk
meraih tujuan dan memenuhi standar.
(b)
Menciptakan sasaran yang menantang dan berani mengambil resiko
yang telah diperhitungkan.
(c)Mencari informasi
sebanyak-banyaknya guna mengurangi ketidakpastian dan mencari cara yang lebih
baik.
(d)
Terus belajar untuk meningkatkan kinerja yang lebih baik (Atkinson,1987:26).
2) Komitmen,
yaitu menyelaraskan diri dengan sasaran kelompok atau lembaga. Orang dengan
kecakapan ini:
(a) Siap berkorban demi
sasaran lembaga yang lebih penting.
(b) Merasakan dorongan
semangat dalam misi yang lebih besar.
(c) Menggunakan nilai-nilai
kelompok dalam pengambilan keputusan dan penjabaran pilihan-pilihan.
(d) Aktif mencari peluang
guna memenuhi misi kelompok
3) Inisiatif (initiative), yaitu kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan. Orang
dengan kecakapan ini:
(a) Siap memanfaatkan
peluang.
(b) Mengejar sasaran lebih
dari yang dipersyaratkan atau diharapkan dari mereka.
(c) Berani melanggar
batas-batas dan aturan-aturan yang tidak prinsip bila perlu, agar tugas dapat
dilaksanakan.
(d) Mengajak orang lain
melakukan sesuatu yang tidak lazim dan bernuansa petualangan.
4) Optimisme, yaitu kegigihan dalam
memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan. Orang dengan
kecakapan ini:
(a)
Tekun dalam mengejar sasaran kendati banyak halangan dan
kegagalan.
(b)
Bekerja dengan harapan untuk sukses bukannya takut gagal.
(c)
Memandang kegagalan atau kemunduran sebagai situasi yang dapat
dikendalikan ketimbang sebagai
kekurangan pribadi (Goleman, 2002:181-196 & 214).
Atas dasar inilah motivasi akan terwujud, jika di khususkan pada
peserta didik kemampuan pendidik juga berperan penting dengan cara mewujudkan
usaha untuk meningkatkan motivasi siswa terutama dalam proses KBM dikelas
dengan Mata Diklat MPL-TL dengan cara inilah secara kognitif dan afektif siswa
bisa berjalan dengan seimbang dan akan menghasilkan proses pembelajaran yang
dapat diterima siswa dengan baik, peranan pendidik diantaranya yaitu dengan
cara membina hubungan yang akrab dengan siswa, menyajikan bahan pelajaran yang
tidak terlalu diatas daya tangkap siswa, namun juga tidak jauh dibawahnya,
menggunakan media pengajaran yang sesuai, bervariasi dalam prosedur mengajar,
namun tidak berganti prosedur yang belum dikenal siswa, dengan tiba-tiba dan
tidak membodohkan siswa kalau mereka belum bisa (Winkel, 2004:213).
d. Empati
Empati adalah memahami perasaan dan masalah orang lain dan
berfikir dengan sudut pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang
mengenai berbagai hal (Goleman,2002:428). Menurut Goleman, kemampuan mengindera
perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan mengatakannya merupakan intisari
empati. Orang sering mengungkapkan perasaan mereka lewat kata-kata, sebaliknya
mereka memberi tahu orang lewat nada suara, ekspresi wajah, atau cara
komunikasi non-verbal lainnya.
Kemampuan memahami cara-cara komunikasi yang sementara ini dibangun di atas
kecakapan-kecakapan yang lebih mendasar, khususnya kesadaran diri (self awareness) dan kendali diri (self control). Tanpa kemampuan mengindera perasaan individu atau menjaga perasaan itu tidak membingungkan
seseorang, manusia tidak akan peka terhadap perasaan orang lain (PAM
Galbraith,2005:24-25).
Empati menekankan pentingnya mengindera perasaan dari perspektif
orang lain sebagai dasar untuk membangun
hubungan interpersonal yang sehat. Bila kesadaran diri terfokus pada pengenalan
emosi sendiri, dalam empati perhatiannya diraihkan pada pengenalan emosi orang
lain. Seseorang semakin mengetahui emosi sendiri, maka ia akan semakin terampil
membaca emosi orang. Dengan demikian, empati dapat dipahami sebagai kemampuan
mengindera perasaan dan perspektif orang lain.
Tingkat empati tiap individu berbeda-beda. Menurut Goleman, pada
tingkat yang paling rendah, empati mempersyaratkan kemampuan membaca emosi
orang lain, pada tataran yang lebih tinggi, empati mengharuskan seseorang
mengindera sekaligus menanggapi kebutuhan atau perasaan seseorang yang tidak
diungkapkan lewat kata-kata. Diantara yang paling tinggi, empati adalah
menghayati masalah atau
kebutuhan-kebutuhan yang tersirat di balik perasaan seseorang (Goleman,
2002:215). Adapun kunci untuk memahami
perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan
non-verbal seperti ekspresi wajah, gerak-gerik dan nada
bicara. Hal ini terbukti dalam tes terhadap lebih dari tujuh ribu orang di Amerika Serikat serta
delapan belas negara lainnya. Dari hasil tes ini diketahui bahwa orang yang
mampu membaca pesan orang lain dari isyarat non-verbal
ternyata lebih pandai menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih
mudah bergaul, dan lebih peka dibandingkan dengan orang yang tidak mampu
membaca isyarat non-verbal (Goleman,
2002:136).
Namun ada kalanya seseorang tidak memiliki kemampuan berempati, empati tidak ditemukan kepada
orang yang melakukan kejahatan-kejahatan sadis. Suatu cacat psikologis yang ada
umumnya ditemukan pada pemerkosa, pemerkosa anak-anak, dan para pelaku tindak
kejahatan rumah tangga. Orang-orang ini tidak mampu berempati, ketidakmampuan
untuk merasakan penderitaan korbannya memungkinkan mereka melontarkan
kebohongan kepada diri mereka sendiri sebagai pembenaran atas kejahatannya.
Hilangnya empati sewaktu orang-orang melakukan kejahatan pada korbannya hampir
senantiasa merupakan bagian dari siklus emosional yang mempercepat tindakan
kejamnya (Goleman, 2002:149-150). Selain itu, empati tidak ditemukan pada
penderita eleksitimia (ketidakmampuan
mengungkapkan emosi). Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk
mengetahui apa yang sedang mereka rasakan. Selain bingung dengan perasaannya
sendiri, penderita eleksitimia juga
bingung apabila ada orang lain yang mengungkapkan perasaan kepadanya. Secara
emosional, penderita ini tuli nada, tidak bisa mendeteksi kata atau tindakan
yang bersifat emosional.
Empati yang berlebihan dapat mendatangkan stres, kondisi ini
disebut “empathy distruss”, stres
akibat empati. Stres akibat empati ini sangat lazim terjadi bila seseorang
merasakan kesusahan yang mendalam,
karena seseorang sangat empati berhadapan dengan seseorang yang sedang dalam
suasana hati negatif, dan kemampuan pengaturan dirinya tidak mampu untuk menenangkan stres akibat simpati mereka
sendiri. Untuk menghindari stres ini, diperlukan suatu seni mengelola emosi,
sehingga manusia tidak terbebani oleh rasa tertekan yang menular dari orang
yang sedang dihadapi (Goleman,2002:230).
Menurut Goleman (2002:230-231), ada lima kemampuan empati, yaitu :
1) Memahami orang
lain, yaitu mengindera perasaan-perasaan orang lain, serta mewujudkan
minat-minat aktif terhadap kepentingan-kepentingan mereka. Orang dengan
kecakapan ini:
(a) Memperhatikan
isyarat-isyarat emosi dan mendengarkannya dengan baik.
(b) Menunjukkan kepekaan
dan pemahaman terhadap perspektif orang lain.
(c) Membantu berdasarkan
pemahaman terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain.
2) Mengembangkan
orang lain yaitu, mengindera kebutuhan orang lain untuk berkembang dan
meningkatkan kemampuan mereka. Orang lain dengan kecakapan ini:
(a)
Mengakui dan menghargai kekuatan, keberhasilan dan perkembangan
orang lain.
(b)
Menawarkan umpan balik yang bermanfaat dan mengidentifikasi
kebutuhan orang lain untuk berkembang.
(c)
Menjadi mentor, memberikan pelatihan pada waktu yang tepat, dan
penugasan-penugasan yang menantang serta memaksa dikerahkannya keterampilan
seseorang.
3) Orientasi pelayanan yaitu mengantisipasi,
mengakui, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelanggan. Orang yang memiliki
kecakapan ini:
(a) Memenuhi kebutuhan
pelanggan dan menyesuaikan semua itu dengan pelayanan atau produksi yang
tersedia.
(b) Dengan senang hati
menawarkan bantuan yang sesuai.
(c) Mencari berbagai cara
untuk meningkatkan kepuasan dan kesetiaan pelanggan.
(d) Menghayati perspektif
pelanggan, bertindak sebagai penasehat yang dipercaya.
4) Memanfaatkan
keragaman yaitu menumbuhkan kesempatan (peluang) melalui pergaulan dengan
bermacam-macam orang. Orang dengan kecakapan ini:
(a)
Hormat dan mau dengan orang-orang dari berbagai macam latar
belakang.
(b)
Memahami beragamnya pandangan dan peka terhadap perbedaan antar
kelompok.
(c)
Memandang keberagaman sebagai peluang menciptakan lingkungan
yang memungkinkan semua orang sama-sama maju kendati berbeda-beda.
(d)
Berani menentang sikap membeda-bedakan dan intoleransi.
5) Kesadaran
politik yaitu mampu membaca kecenderungan sosial dan politik yang sedang
berkembang. Orang dengan kecakapan ini:
(a) Membaca dengan cermat
hubungan kekuasaan yang paling tinggi
(b) Mengenal dengan baik
semua jaringan sosial yang penting.
(c) Memahami
kekuatan-kekuatan yang membentuk pandangan-pandangan serta tindakan-tindakan
klien, pelanggan, atau pesaing.
(d) Membaca dengan cermat
realitas lembaga maupun realitas di luar (Goleman, 2002:219).
Disimpulkan bahwa sikap empati dalam kehidupan manusia sangat
diperlukan, karena dengan sikap ini maka seseorang akan mampu membaca
kecenderungan sosial orang lain dan menimbulkan sikap terpuji untuk selalu
mengetahui keadaan orang lain. Sikap dapat mengetahui keadaan orang lain tidak
hanya diperlukan di lingkungan masyarakat dan lingkungan pekerjaan saja,
melainkan penting juga dalam proses KBM MPL-TL. Dengan seorang siswa mempunyai
sikap empati maka siswa akan lebih menghargai seorang teman, mempunyai sikap
sosial yang tinggi dengan teman sebayanya, dengan sikap tersebut maka,
kelemahan dan kelebihan seorang siswa tidak akan ada halangan atau kesulitan
kalau ada teman yang peduli dengan dirinya atau sesamanya. Dampaknya proses
belajar mengajar ataupun hubungan antar siswa akan menjadi lebih baik.
e. Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial (social
skills), adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika
berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan
sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan untuk mempengaruhi
dan memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan untuk bekerjasama dalam
tim.
Dalam memanifestasikan kemampuan ini dimulai dengan mengelola
emosi sendiri yang pada akhirnya manusia harus mampu menangani emosi orang
lain. Menurut Goleman, menangani emosi orang lain adalah seni yang mantap untuk
menjalin hubungan, membutuhkan kematangan dua keterampilan emosional lain,
yaitu manajemen diri dan empati. Dengan landasan keduanya, keterampilan
berhubungan dengan orang lain akan matang. Ini merupakan kecakapan sosial yang
mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tidak dimilikinya
kecakapan ini akan membawa pada ketidakcakapan dalam dunia sosial atau
berulangnya bencana antar pribadi. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya
keterampilan-keterampilan inilah yang menyebabkan orang-orang yang mempunyai
nilai akademik yang tinggi gagal dalam membina hubungannya (Goleman,2002:158-159).
Dalam berhubungan dengan orang lain, manusia menularkan emosinya
kepada orang lain atau sebaliknya semakin terampil seseorang secara sosial,
semakin baik mengendalikan sinyal yang dikirimkan.
Kesadaran sosial juga didasarkan pada kemampuan perasaan
sendiri, sehingga mampu menyetarakan dirinya terhadap bagaimana orang lain
beraksi. Menurut Goleman, apabila kemampuan antar pribadi ini tidak di imbangi
dengan kepekaan perasaan terhadap kebutuhan dan perasaan diri sendiri serta bagaimana
cara memenuhinya, maka ia akan termasuk dalam golongan bunglon-bunglon sosial
yang tidak peduli sama sekali bila harus berkata ini dan berbuat itu.
Secara lebih luas, Goleman menjelaskan bahwa keterampilan
sosial, yang makna intinya adalah seni menangani emosi orang lain, merupakan
dasar bagi beberapa kecakapan :
1) Pengaruh yaitu terampil menggunakan
perangkat persuasi secara efektif. Orang dengan kecakapan ini:
(a)
Terampil dalam persuasi.
(b)
Menyesuaikan prestasi untuk menarik hati pendengar.
(c)
Menggunakan strategi yang rumit seperti memberi pengaruh tidak
langsung untuk membangun konsensus dan dukungan.
(d)
Memadukan dan menyelaraskan peristiwa-peristiwa dramatis agar
menghasilkan sesuatu yang efektif.
2) Komunikasi, yaitu mendengarkan serta terbuka dan
mengirimkan pesan serta meyakinkan. Orang dengan kecakapan ini:
(a)
Efektif dalam memberi dan menerima, menyertakan isyarat emosi
dalam pesan-pesan.
(b)
Menghadapi masalah-masalah sulit tanpa ditunda.
(c)
Mendengarkan dengan baik, berusaha untuk saling memahami, dan
bersedia berbagi informasi secara utuh.
(d)
Menggalakkan komunikasi terbuka dan tetap bersedia menerima
kabar buruk sebagai kabar baik.
3) Manajemen konflik, yaitu merundingkan dan
menyelesaikan ketidaksepakatan. Orang dengan kecakapan ini:
(a)
Menangani orang-orang sulit dan situasi tegang dengan diplomasi
dan taktik.
(b)
Mengidentifikasi hal-hal yang berpotensi menjadi konflik,
menyelesaikan perbedaan pendapat secara terbuka, dan membantu mendinginkan
situasi.
(c)
Menganjurkan debat dan diskusi secara terbuka.
(d)
Mengantar ke solusi menang-menang.
4) Kepemimpinan, yaitu mengilhami dan
membimbing individu atau kelompok. Orang dengan kecakapan:
(a)
Mengartikulasikan (kata-kata jelas) dan membangkitkan semangat
untuk meraih visi serta misi bersama.
(b)
Melangkah di depan untuk memimpin bila diperlukan, tidak peduli
sedang di mana.
(c)
Memadu kinerja orang lain namun tetap memberikan tanggung jawab
kepada mereka.
(d)
Memimpin kuat teladan.
5) Katalisator perubahan, yaitu mengawali atau
mengelola perubahan. Orang dengan kecakapan ini:
(a)
Menyadari perlunya perubahan dan dihilangkannya hambatan.
(b)
Menantang status quo
untuk mengatakan perlunya perubahan.
(c)
Menjadi pelopor perubahan dan mengajak orang lain ke dalam
perjuangan itu.
(d)
Membuat model perubahan seperti yang diharapkan oleh orang lain.
6) Membangun hubungan, yaitu menumbuhkan hubungan
yang bermanfaat. Orang dengan kecakapan ini:
(a)
Menumbuhkan dan memelihara jaringan tidak formal yang meluas.
(b)
Mencari hubungan-hubungan yang saling menguntungkan.
(c)
Membangun dan memelihara persahabatan pribadi di antara sesama
mitra kerja.
7) Kolaborasi dan kooperasi, yaitu kerja sama
dengan orang lain demi tujuan bersama.
(a)
Menyeimbangkan pemusatan perhatian kepada tugas dengan perhatian
kepada hubungan.
(b)
Kolaborasi berbagai rencana, informasi, dan sumber daya.
(c)
Mempromosikan iklim kerja sama yang bersahabat.
(d)
Mendeteksi dan menumbuhkan peluang-peluang untuk kolaborasi.
8) Kemampuan tim, yaitu menciptakan sinergi
kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama. Orang dengan kecakapan ini:
(a)
Menjadi teladan dalam kualitas tim seperti memberikan perhatian,
kesediaan membantu orang lain, dan kooperasi.
(b)
Mendorong setiap anggota tim berpartisipasi secara aktif dan
penuh antusiasme.
(c)
Membangun identitas tim, semangat kebersamaan dan komitmen
(Goleman,2002:271-350).
Atas dasar inilah seorang siswa harus mempunyai sikap
keterampilan sosial meskipun dalam kapasitas kecil, karena dengan manusia
khususnya siswa SMK mempunyai sikap keterampilan sosial yang dikelola dengan
baik maka tidak salah kalau nantinya peserta didik tersebut bisa menjadi
seorang pemimpin atau seorang motivator untuk diri sendiri dan orang lain
dilingkungan orang itu berada. Dalam konteks seorang siswa, akan menghasilkan
seorang siswa yang mampu untuk menjadi pemimpin dikelasnya, pemimpin diskusi,
pemimpin belajar, pemimpin diskusi dan yang paling penting pembahasan
pendidikan karakter ini adalah dengan seorang siswa menjadi seorang yang sukses
dengan mengelola kecerdasan emosionalnya sendiri, maka kecerdasan yang lain
meliputi IQ, ESQ dan sebagainya akan
selalu mengikuti dan menghasilkan generasi muda bangsa Indonesia yang sukses
sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun
2005-2015 serta UU No. 20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Seluruh ciri-ciri manusia yang memiliki EQ tinggi sebagaimana dirumuskan Goleman (2002:50) merupakan ciri
yang harus dimiliki oleh para star
performer, tetapi juga dapat diterapkan pada segala aktivitas termasuk
dalam berdakwah dalam tatanan agama. Dalam hal ini Goleman menyatakan bahwa
aturan kerja ini telah berubah, manusia dinilai berdasarkan tolak ukur baru,
tidak hanya berdasarkan tingkat kepandaian, atau berdasarkan pelatihan dan
pengalaman, tetapi juga berdasarkan sikap baik mengelola diri sendiri dan
berhubungan dengan orang lain. Aturan hampir tidak berhubungan dengan yang
dahulu dianggap penting saat menuntut ilmu. Kemampuan akademik hampir tidak
berkaitan dengan standar ini. Alat ukur baru ini sudah dengan teknik yang
memadai untuk mengerjakan tugas-tugas, namun berbeda dengan yang lama, alat
ukur baru ini memusatkan perhatian pada kualitas pribadi. Hal ini dapat dilihat dengan adanya ciri-ciri
EQ yang dikemukan Goleman, seperti
kesadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi dibandingkan dengan kecakapan
sosial (empati dan keterampilan sosial).
Adanya ciri-ciri tersebut di atas, juga
telah memperlihatkan hubungan antara kelima dimensi kecerdasan emosi dan dua
puluh lima kecakapan emosi. Dan analisis skala yang ditetapkan Goleman tidak
seorangpun yang sempurna melaksanakan mempunyai profil kekuatan dan batas-batas
sendiri. Untuk itu yang harus dilakukan adalah bagaimana belajar untuk terus
berbenah diri menjadi profil yang ideal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar