Senin, 14 Oktober 2013

Realitas Sosial sebagai Mimesis Masyarakat: dalam Muammar Memilih Jalannya Sendiri karya Sori Siregar

Banyak kalangan masih menjadikan karya sastra sebagai subyek diskriminasi. Berbeda dengan bidang lain, karya sastra dianggap tidak memiliki kontribusi yang besar, khususya dalam perubahan masyarakat. Akan tetapi, sebagian dari mereka lupa, bahwa tulisan mampu menciptakan perubahan yang besar. Sebuah karya sastra yang baik, tidak hanya menghibur melainkan juga mencerahkan. Kalau kita telisik lebih jauh, karya sastra tidak lain adalah kehidupan masyarakat yang terangkum dalam goresan tinta. Dia adalah mimesis dari apa yang sebenarnya terjadi di sekitar kita. Keberadaannya sangat dekat bahkan menyatu dengan masyarakat. Maka tak heran, beberapa karya sastra memiliki sumbangan yang sangat besar terhadap perubahan. Longok saja, karya-karya peraih nobel sastra dunia.
Kalangan pragmatik –yang cenderung memandang karya sastra dari sisi manfaat non literernya- berkeyakinan bahwa karya sastra yang bagus memang tidak hanya memancarkan pesona estetik (keindahan) tapi juga mampu memberikan pencerahan batin dan intelektual kepada pembacanya. Dalam bahasa pers, ia mampu membangun semacam opini publik. Jika bangunan opini publik itu menguat dan meluas, maka dari situlah proses perubahan sosial-budaya dapat digerakkan (Ahmadun Yosi Herfanda, 131: 2008)
Cerpen Muammar Memilih Jalannya Sendiri karya Sori Siregar yang dimuat di harian Kompas, 14 Oktober 2012, secara tidak langsung sedang membentuk suatu opini publik. Dunia barat adalah dunia yang mengagungkan sekurelisme, menuhankan liberalisme, menawarkan berbagai kemudahan-kemudahan hidup, namun begitu keropos soal keyakinan dan pencerahan mata batin. Bagi mereka kebebasan adalah segala-galanya, sedang norma agama hanya menjadi pajangan dan dekorasi.
AbdulWachid BS (73: 2005) mengatakan bahwa realitas tidak lain dan tidak bukan ialah hulu dari setiap “penciptaan” seorang manusia,  juga sastrawan. Sekalipun realitas yang jadi tumpuannya sama, katakanlah realitas itu hangus hitamnya kota Solo tatkala bergulirnya Reformasi Mei 1998, namun dua seniman dalam merespon obyek sama itu toh hasilnya aan berbeda, hal ini dpengaruhi oleh banyak faktor  yang melatari perbedaan persepsi antara keduanya.
Dalam pernyataan tersebut, Abdul Wachid hendak menegaskan tentang persoalan mimesis. Namun yang menjadi penekanan selanjutnya adalah, bahwa dalam penciptaan mimesis, pengarang memiliki persepsi yang berbeda. Sisi penarikan sudut pandang inilah, yang kemudian akan mengantarkan kemana sebuah karya sastra dibidikkan.
Cerpen ini menceritakan seorang lelaki, pemeluk agama yang teguh, bernama Maludin. Dua puluh tahun menetap di negeri orang, tidak sedikitpun menemui hambatan. Namun, kemudian dia dikejutakan dengan segala bentuk pemberontakan si sulung, bernama Muammar. Sebuah kisah klasik keluarga, perbedaan pendapat yang menghadirkan jurang dalam.
Maludin sendiri beristrikan seorang wanita bernama Maryam, yang memiliki tiga putra bernama Muammar, Fatur dan Fayed. Di luar negeri kemungkinan Maludin menjabat sebagai duta atau atase atau konsulat jendral atau pegawai KBRI, yang pasti dia bekerja sebagai perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri. Dari latar belakang keluarga, kita dapat melihat bahwa mereka adalah keluarga muslim. Keputusan pengarang untuk memberi nama pada tokoh pun, sudah mampu mencerminkan hal tersebut.
Seandainya kita menengok pada latar, maka kita dapat menyimpulkan bahwa itu adalah negara Barat. Hal ini dilihat dari pernyataan negeri yang jauh, deskripsi kehidupan masyarakat yang madani serta tertata, sampai penanda soal lebih dipentingkannya aspek rasionalitas dan kemampuan nalar otak. Lantas pengarang juga menghadirkan kontradiksi antara kehidupan masyarakat Indonesia serta masyarakat negeri luar negeri, yang baru mereka jamah. Semua aspek sosial ini, kemudian berpengaruh terhadap keseluruhan cerita.
Menurut Dr. Faruk (1: 2005) aspek sosiologi dikatakan berhubungan dengan konsep stabilitas sosial, kontinuitas yang terbentuk antar masyarakat yang berbeda, cara-cara yang dengannya individu-individu menerima lembaga-lembaga sosial yang utama sebagai suatu hal yang memang diperlukan dan benar. Akan tetapi di samping itu, sosiologi juga berurusan dengan proses perubahan-perubahan sosial baik yang terjadi secara berangsur-angsur maupun secara revolusioner, dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut.
Budaya luar yang mapan, memungkinkan segala bentuk kehidupan, dari pendidikan, tata kelola kota, kebersihan, sampai kemudahan  transportasi. Pengarang ingin meneriakkan ini sebagai satu sindiran, semacam menanggapi ketidakberdayaan otoritas Indonesia untuk menyediakan fasiltas yang sama bagi masyarakatnya. Di sini pengarang ingin mempersepsi-kan, negeri yang baru itu sebagai negeri yang sangat baik. Permasalahan yang muncul akibat anak masuk sekolah tidak terjadi. Ini dimanfaatkan pengarang untuk semakin menukikkan kritik terhadap pemerintah negeri ini. Hal ini terlihat bagaimana seorang Maludin mengalami konflik batin dan kegundahan, seputar pendidikan anak. Kejadian ini tak lain dan tak bukan, karena dia masih membawa persepsi tentang kultur Indonesia di luar.
Akan tetapi, permasalahan terjadi secara tiba-tiba. Muammar menjadi tokoh sentral yang melahirkan berbagai masalah. Dalam kutipan ini “…melebur dengan sempurna ke dalam kondisi lingkungan mereka. Satu-satunya kehidupan yang mereka kenal adalah kehidupan di sekitar mereka itu dan semua nilai yang melekat di sana”.Ini mengindikasikan tidak adanya sosialisasi dengan orang luar, tidak ada upaya untuk mengenal budaya dan tata masyarakat yang tengah dihadapi. Akibat dari semua itu fatal, begitu Muammar melihat dunia baru, maka dia akan sangat mudah goyah. Sebagai ayah, Mualim yang merasakan kehidupannya tanpa masalah, merasa tidak siap, ketika pola kehidupan masyarakat turut membentuk karakter si sulung. Artinya paham-paham baru yang dienyam oleh Muammar sejak perguruan tinggi mendominasi perubahan ini secara singkat. Sikap kritis, yang kemudian memunculkan pikiran untuk menganggap orang lain kuno dan kolot akhirnya tidak dapat dikontrol.
Pola pergaulan dan lingkungan masyarakat sangat menentukan bagaimana seorang anak yang dalam perkembangannya berubah. Kendati, penanaman moral sudah sedemikian baik, melalui evolusi selama nyaris dua puluh tahun sudah dilakukan, namun pergaulan memiliki kekuatan yang lebih dahstyat. Sekulerisme dan kebebasan dengan dalih HAM didengungkan, maka tak heran kalau pergaulan bebas sangat merebak. Itulah yang terjadi dengan Muammar selanjutnya.
Hanya saja, saya melihat bahwa pengarang menempatkan Maludin sebagai orang yang bersikap pragmatis. Hal ini terlihat dalam kutipan “Maludin kembali meyakinkan Muammar, kalau ingin mengenal keluarga mereka lebih jauh silakan saja Joyce berkunjung setiap hari. Kemudian Maludin yang bertanya, mengapa Joyce ingin mengenal mereka lebih jauh. Kan dia hanya teman akrab Muammar. Bolehlah kalau anak sulung Maludin itu menyebut Joyce pacarnya. Tapi Muammar harus ingat bahwa Joyce belum menjadi pacarnya secara resmi.”
Dalam hal itu percakapan menjadi bias dan mengambang. Maludin bersikap menentang namun di sisi lain tidak. Dia menentang karena Joyce bukan pacar Muammar. Lalu kalau pun dia pacar Muammar apakah Joyce boleh menginap di kamar anaknya? Selain itu, saya juga melihat adanya miskomunikasi, kalau pun diinapkan di kamarnya, belum tentu dia tidur sekamar kan? Ini sesuai dengan apa yang disarankan oleh Maludin.
Berhubung miskomunikasi tak terhindarkan, maka yang kemudian terjadi adalah pemberontakan, untuk mendobrak nilai-nilai lama. Muammar merasa ayah, ibu, dan kedua adiknya telah terperangkap dalam kepicikan yang mengekang. Ini terlihat dalam petikan “Dua puluh tahun di negeri yang jauh ini tidak membuat mereka dapat menyerap keragaman nilai di sekitar mereka.” Di sini kita dapat melihat bahwa secara tekstual, Muammar beranggapan bahwa seharusnya orang hidup itu berlaku sesuai dengan adat di masyarakat, meskipun harus meninggalkan adat lama dan pemikiran lama. Ini juga sebagai indikator, bagaimana kehidupan liberal sama sekali tak ingin mendapatkan intervensi dari agama dan keyakinan.
Parahnya, kemudian Muammar hanya ngeloyor pergi, karena ayahnya yang sebenarnya memiliki rencana lain tidak berusaha mencegah dan juga tidak berusaha menjelaskan dengan cepat. Artinya di sini sama-sama salah, sekaligus sama-sama tidak dapat disalahkan. Coba kalau Maludin langsung dengan cekatan menjelaskan duduk permasalahan, tentu sikap Muammar akan lain. Bagian inilah yang membuat cerita serasa dipaksakan untuk sesuai keinginan pengarang. Akibatnya, kekurangnaturalan dalam cerpen cukup terlihat.
Satu minggu setelah peristiwa malam itu, Muammar menelepon ayahnya. Dengan suara tenang dan perlahan ia menyatakan kecewa dengan sikap ayahnya. Ia meminta ayahnya untuk membebaskan diri dari belenggu keyakinan yang menghimpitnya. Keyakinan atau agama, apa pun agama dan keyakinan itu seharusnya tidak membuat pemeluknya senantiasa berdiri di tempat dan tidak berupaya untuk melangkah maju.
Yang menarik, kendati ada masalah Muammar tetap sopan. Luar biasa. Ini terlihat dari kata-kata Muammar ketika menelepon ayahnya “Ananda dibesarkan di negeri ini, di negeri yang jauh dari tempat kita berasal. Negeri ini telah membentuk ananda menjadi orang yang sangat mengutamakan otak…..”
Ayahnya bijak tapi tidak sigap. Kemudian muncullah kejadian Muammar berpindah agama. Agama dianggap sesuatu yang salah, padahal sebenarnya komunikasi mengenai agama itu sendiri yang belum mendapatkan porsi yang seharusnya. Artinya seringkali keluarga merasa sudah membekali ilmu agama dengan cukup baik, namun mereka tidak mempertimbangkan aspek pergaulan. Untungnya, sang ayah dengan berjiwa besar masih mengakui bahwa itu salah satunyua adalah kesalahan dia.
Itulah realitas yang seringkali terjadi dalam sebuah keluarga. Adanya perbedaan-perbedaan yang memicu ketegangan, adanya permasalahan yang tersulut karena pemikiran beda generasi, adanya polemik pergaulan yang mempengaruhi sosialisasi dalam keluarga, serta penyimpangan-penyimpangan tentang keberadaan agama. Banyak kenyataan di lapangan, mengenai hal semacam ini.
Agama adalah hal yang prinsipil, itu bukan dagangan yang bisa dicapai melalui proses tawar menawar. Yang penting di sini adalah mengetahui bahwa Tuhan memiliki rencana yang kadang berbeda dengan rencana umatnya, apa yang dianggapnya sebagai rezeki oleh manusia bisa jadi itu ujian dan begitupun sebaliknya. Ini mengindikasikan bahwa kemudahan-kemudahan yang dialami oleh manusia, seharusnya tetap melahirkan kewaspadaan. Bisa jadi itu jebakan-jebakan yang membuat orang terbuai. Ada semacam ungkapan yang menyatakan bahwa “kalau kamu ingin membuat sakit seseorang, maka pujilah dia kemudian hempaskan sekeras-kerasnya
Sumber: http://preteers.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar