Eufemisme
Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar.
Contoh : "Di mana 'tempat kencing'nya?" dapat diganti dengan "Di mana 'kamar kecil'nya?". Kata "tempat kencing"(dalam bahasa sehari-hari biasa juga disebut WC) tidak cocok jika akan digunakan untuk percakapan yang sopan. Kata "kamar kecil" dapat menggantikannya. Kata "kamar kecil" ini konotasinya lebih sopan daripada kata "tempat kencing". Jadi dalam eufemisme terjadi pergantian nilai rasa dalam percakapan dari kurang sopan menjadi lebih sopan. Faktor ketabuan: agama budaya jenis kelamin jabatan dan pendidikan emosi cacat badan cacat moral dan kepribadian (Raswan, M.Pd)
Eufemisme: Sopan Santun yang Menipu
Ungkapan bahwa bahasa adalah milik masyarakat sebagai pemakai bahasa, kini semakin jelas keberadaannya. Penggunaan bahasa-bahasa kiasan sudah semakin lancar. Hal ini dapat dilihat di berbagai media cetak dan elektronik. Perkembangan bahasa memang tidak bisa dibendung lagi. Misalnya eufemisme atau penghalusan bahasa adalah salah satu bentuk pemakaian bahasa dalam masyarakat yang sudah semakin lancar penggunaannya. Mungkin karena tuntutan zaman yang mengharuskan atau karena pola pikir masyarakat pemakai bahasa yang selalu berubah-ubah.
Kelancaran penggunaan bahasa tersebut merupakan akibat dari kebebasan berbahasa yang dimiliki oleh setiap individu tanpa ada sanksi yang mengikat jika ada pelanggaran terjadi. Kebebasan itu diartikan sebagai sebuah kesempatan untuk berekspresi melalui bahasa. Memang hal ini dapat memberi corak tersendiri dalam rekaman sejarah perjalanan bahasa Indonesia di tengah-tengah banyaknya penggunaan bahasa daerah serta maraknya penggunaan bahasa asing sebagai salah satu kebanggaan tersendiri bagi pemakainya.
Selain itu, kebebasan berbahasa ini juga sangat ditentukan oleh prinsip pragmatik sebuah bahasa. Pada dasarnya, prinsip ini mengartikan bahwa bahasa bukan sebagai sebuah aturan yang dapat mengikat setiap pemakainya tetapi lebih menitikberatkan bahasa sebagai alat komunikasi bagi individu. Aturan atau ejaan ditempatkan pada nomor yang paling bawah, yang terpenting bagaimana bahasa itu dapat dimengerti oleh orang yang membaca atau mendengarnya.
Salah satu bentuk kebebasan tersebut adalah penggunaan gaya bahasa tersendiri oleh setiap individu. Gaya bahasa tersebut bukan lagi dilihat dari jenis kelompok sosial pemakainya, melainkan kadang-kadang gaya bahasa perorangan yang menonjol. Istilah sosiolinguistik mengatakan bahwa bahasa seperti yang dipraktikkan setiap individu tersebut dinamakan idiolek. Dengan idiolek ini, seseorang dapat diketahui hanya dengan gaya bahasanya yang khas dan unik. Ilmu psikolinguistik dapat dengan jelas membedakan gaya bahasa ini terkait dengan jiwa atau kebiasaan seseorang. Hanya lewat bahasa seseorang dapat dengan mudah diketahui karakternya.
Kembali ke persoalan berbahasa yang selalu diikuti oleh munculnya gaya bahasa tersendiri. Salah satu gaya bahasa yang menjadi pusat perhatian penulis saat ini adalah gaya bahasa eufemisme seperti yang telah disinggung pada awal tulisan ini. Hal inilah yang membuat penulis memilih judul Eufemisme: Sopan Santun yang Menipu.
Eufemisme merupakan acuan yang berupa ungkapan yang tidak menyinggung perasaan atau ungkapan halus untuk menggantikan acuan yang dirasakan menghina atau tidak menyenangkan. Intinya, mempergunakan kata-kata dengan arti baik. Eufemisme juga sering diartikan sebagai ungkapan yang bersifat tidak berterus terang.
Eufemisme atau juga pseudo eufemisme menjadi motif dorongan di belakang perkembangan peyorasi. Eufemisme berlatar belakang sikap manusiawi karena dia berusaha menghindar agar tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain. Seandainya tidak ada eufemisme mungkin akan terjadi depresi makna atau perendahan makna.
Namun di balik semua itu, eufemisme ini dapat mengaburkan makna sehingga makna semula tidak terwakili lagi oleh bentuk atau konsep yang menggatikannya. Pergeseran makna ini tentu akan memberikan pengaruh terhadap masyarakat pemakai bahasa.
Tujuan awal yang baik eufemisme ini adalah untuk bersopan santun. Namun, di balik semua itu ada hal-hal yang keluar dari tujuan semula tersebut. Kadang-kadang ada bagian eufemisme yang penggunaanya sudah berlebihan sehingga apa yang ingin disampaikan tidak dapat tertangkap secara tepat oleh pembaca atau pendengar. Memang tujuan penggunaan eufemisme tersebut adalah untuk bersopan santun tetapi ada juga yang bisa menipu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa eufemisme adalah sopan santun yang menipu.
Hal itu tidak dapat dipungkiri karena banyak orang-orang tertentu yang pandai menggunakan bahasa dan berlindung di balik eufemisme tersebut. Banyak pula di antara penggunanya merasa aman dengan pemanfaatan gaya bahasa seperti ini.
Salah satu contoh eufemisme yang berlebihan adalah frasa kekurangan pangan. Frasa ini konsep sebenarnya adalah kelaparan, tetapi karena penggunaannya berlebihan sehingga eufemisme ini menimbulkan makna atau konsep lain terhadap pembaca. Konsep lain ini muncul karena adanya pergeseran makna dari makna sebelumnya. Akhirnya masyarakat pembaca menganggap hal ini adalah sebuah kewajaran dan tidak menimbulkan rasa prihatin terhadap korban kelaparan yang dimaksud.
Pada masa orde baru pemerintah merasa riskan mengatakan rakyat miskin. Mereka cenderung menggantinya atau mengeufemismekan dengan frasa masyarakat prasejahtera, masyarakat prasejahtera 1, 2, dst. Akhirnya, dampak yang dirasakan melalui penggunaan eufemisme ini adalah negara Indonesia terkesan tidak memiliki rakyat miskin karena dunia telah terbohongi oleh sebuah bahasa.
Namun apa terjadi saat ini, semua hal itu terhapuskan setelah bangsa Indonesia memasuki orde reformasi. Rakyat miskin atau keluarga miskin justru menjadi predikat rebutan setiap masyarakat karena siapapun yang tergolong di dalamnya pasti akan mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT). Sekarang banyak yang mengaku sebagai keluarga miskin. Frasa keluarga prasejahtera kini telah tergantikan menjadi keluarga miskin atau diakronimkan menjadi gakin.
Lain halnya dengan istilah wanita tuna susila (WTS) dan pekerja seks komersial yang merupakan penghalusan dari kata pelacur juga menimbulkan penafsiran lain. Penggunaan istilah WTS telah memberikan sedikit rasa aman oleh pelakunya karena mereka seakan-akan terlindungi oleh sebuah bahasa. Sementra penggunaan kata pekerja seks memberikan arti bahwa seakan-akan perbuatan melacur itu diakui sebagai sebuah pekerjaan yang legal.
Contoh ini membuat penulis semakin yakin bahwa bahasa adalah salah satu unsur yang memiliki andil cukup besar dalam kehidupan masyarakat. Eufemisme ini dapat pula sarat akan kepentingan golongan atau bernilai politik. Seperti kondisi yang telah terjadi dan masih akan terjadi lagi yakni, pemilihan kepala daerah/walikota dan pemilu 2009 nanti sangat rawan dengan bahasa-bahasa penghalusan yang sarat dengan kepentingan tertentu. Banyak kandidat yang berkampanye dengan menunggangi bahasa sebagai alat untuk mencapai tujuannya.
Dahulu kenaikan harga bahan pokok selalu ditentang dengan aksi demo atau unjuk rasa oleh masyarakat. Namun, sekarang aksi-aksi unjuk rasa semacam itu dapat diredam hanya dengan dua kata, yakni mengganti dengan frasa penyesuaian tarif atau penyesuaian harga. Masyarakat pun hanya diam mendengar dan membacanya. Akhirnya kenaikan harga dapat dimaklumi.
Bahkan ketika korupsi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan era pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang baru mencuat di pertengahan tahun 2007 lalu dapat berhenti begitu saja tanpa ada pihak yang bersalah. Menurut berbagai pihak yang terkait kasus ini, katanya kasus itu telah diselesaikan secara kekeluargaan. Mungkin dapat dibayangkan, jika sesuatu yang diselesaikan secara kekeluargaan tentu tidak ada pihak yang bersalah atau dijatuhi hukuman. Frasa diselesaikan secara kekeluargaan inilah yang dapat meredam dan mengaburkan makna untuk tujuan kepentingan tertentu. Sebenarnya masih banyak penggunaan eufemisme ini yang sudah mengaburkan makna, misalnya: berkoalisi dieufemismekan menjadi bersilaturahmi, penggusuran menjadi penertiban, kelaparan menjadi kekurangan pangan, busung lapar menjadi gizi buruk, korupsi menjadi kesalahan prosedur, dll.
Sosiologi Eufemisme
ATAS nama kesantunan, kita telah terbiasa menggunakan bahasa yang memiliki pesan dalam makna harfiah, dan pesan dalam makna “yang diinginkan”, yang kita sebut sebagai eufemisme.
Seperti penggunaan idiom “lumayan” atau “dan lain-lain”. Bila ada seorang yang bertanya apakah seseorang cantik atau tampan, kebanyakan dari kita akan menjawab “lumayan”. Makna “lumayan” merupakan makna “antara”: antara cantik atau tampan dengan jelek. Bangsa kita tidak memiliki keberanian untuk menyebut seorang jelek, sekaligus tidak memiliki kebesaran hati untuk mengakui seorang tersebut benar cantik atau tampan.
Relativitas kebudayaan berbahasa kita bisa dilihat dari idiom “dan lain-lain”, atau etc. (etcetera) dalam bahasa Inggris. Belakangan dalam retorika pembicaraan ilmiah kita sering mendengar idiom “dan seterusnya”. Atau selebritas kita di televisi enteng sekali mengucapkan “segala macam”.
Kita sangat gampang, misalnya, menyebut hasil bumi andalan Indonesia adalah kelapa sawit, karet, kopi, pala, dan lain-lain. Idiom “dan lain-lain” bisa berarti masih banyak yang lain selain kelapa sawit, karet, kopi, dan pala. Tetapi makna “dan lain-lain” hari ini adalah diksi untuk menutupi ketidaktahuan kita terhadap komoditas apa saja selain yang disebutkan di muka.
Bisa jadi komoditas andalan kita memang hanya kelapa sawit, karet, kopi, atau pala, sehingga “dan lain-lain” juga bermakna pengharapan. Pengharapan akan masih ada kemungkinan komoditas andalan lain dari hasil bumi kita.
Begitu juga idiom “dan seterusnya”. Semisal akibat bencana lumpur Lapindo adalah merosotnya kualitas hidup korban, depresi, emosi yang tidak terkendali, dan seterusnya. “Dan seterusnya” dapat berarti masih banyak yang lain juga bisa bermakna ketidakmampuan kita untuk menyebutkan akibat bencana lain dari lumpur Lapindo. Bisa jadi “dan seterusnya” bermakna akibat bencana lumpur Lapindo sangat banyak sehingga tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Dalam kajian sosiologi, interaksi individu dalam masyarakat menjadi perhatian teori interaksionisme simbolik. Dalam berperilaku kita menggunakan simbol-simbol, yang kita sebut bahasa maupun perlambang. Bahasa dikelompokan dalam bahasa lisan, tulis (termasuk gambar) dan tubuh. Sedang perlambang menggunakan media benda-benda maupun konsep-konsep imajiner teologi dan metafisik.
Erving Goffman mengenalkan teori dramaturi (dramaturgi, RB). Dalam teori dramaturi seorang berperilaku dalam dua bentuk, pentas depan (frontstage) dan pentas belakang (backstage) (Johnson, 1986). Dalam kesadaran otonomnya, seorang individu akan bertindak menggunakan naluri pentas belakang (backstage) untuk bebas menafsirkan sesuatu, sekaligus mengekspresikannya.
Namun, bangsa kita telah terbiasa menggunakan pola ekspresi pentas depan (frontstage) sehingga kita dapat mengakomodasi kehendak masyarakat dengan menegasikan naluri individu. Permainan dramaturi ini dalam sistem nilai kita dianggap sebagai sesuatu yang “santun” dan “baik”.
Namun, nilai-nilai kesantunan dan kebaikan seperti ini sangat berpotensi kontraproduktif dalam relasi kebangsaan dan kemasyarakatan kita. Menjadi bangsa yang santun memang baik, tetapi bila karena kesantunan kita menggadaikan nilai-nilai kejujuran, kepercayaan, dan integritas dalam eufemisme tentu menjadi sesuatu yang berbahaya.
Karena itu, bila nanti sore saat Anda jajan bakso ditanya penjualnya akan pesan bakso yang “pedas” atau “tidak” jawab saja: “beri cabai lima buah” atau “minta sambal dua sendok makan”. Karena pedas atau tidak bersifat relatif, sedang jumlah cabai dua, tiga atau lima buah pertanggungjawabannya dapat dikuantifikasikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar