Senin, 14 Oktober 2013

Realitas Sosial sebagai Mimesis Masyarakat: dalam Muammar Memilih Jalannya Sendiri karya Sori Siregar

Banyak kalangan masih menjadikan karya sastra sebagai subyek diskriminasi. Berbeda dengan bidang lain, karya sastra dianggap tidak memiliki kontribusi yang besar, khususya dalam perubahan masyarakat. Akan tetapi, sebagian dari mereka lupa, bahwa tulisan mampu menciptakan perubahan yang besar. Sebuah karya sastra yang baik, tidak hanya menghibur melainkan juga mencerahkan. Kalau kita telisik lebih jauh, karya sastra tidak lain adalah kehidupan masyarakat yang terangkum dalam goresan tinta. Dia adalah mimesis dari apa yang sebenarnya terjadi di sekitar kita. Keberadaannya sangat dekat bahkan menyatu dengan masyarakat. Maka tak heran, beberapa karya sastra memiliki sumbangan yang sangat besar terhadap perubahan. Longok saja, karya-karya peraih nobel sastra dunia.
Kalangan pragmatik –yang cenderung memandang karya sastra dari sisi manfaat non literernya- berkeyakinan bahwa karya sastra yang bagus memang tidak hanya memancarkan pesona estetik (keindahan) tapi juga mampu memberikan pencerahan batin dan intelektual kepada pembacanya. Dalam bahasa pers, ia mampu membangun semacam opini publik. Jika bangunan opini publik itu menguat dan meluas, maka dari situlah proses perubahan sosial-budaya dapat digerakkan (Ahmadun Yosi Herfanda, 131: 2008)
Cerpen Muammar Memilih Jalannya Sendiri karya Sori Siregar yang dimuat di harian Kompas, 14 Oktober 2012, secara tidak langsung sedang membentuk suatu opini publik. Dunia barat adalah dunia yang mengagungkan sekurelisme, menuhankan liberalisme, menawarkan berbagai kemudahan-kemudahan hidup, namun begitu keropos soal keyakinan dan pencerahan mata batin. Bagi mereka kebebasan adalah segala-galanya, sedang norma agama hanya menjadi pajangan dan dekorasi.
AbdulWachid BS (73: 2005) mengatakan bahwa realitas tidak lain dan tidak bukan ialah hulu dari setiap “penciptaan” seorang manusia,  juga sastrawan. Sekalipun realitas yang jadi tumpuannya sama, katakanlah realitas itu hangus hitamnya kota Solo tatkala bergulirnya Reformasi Mei 1998, namun dua seniman dalam merespon obyek sama itu toh hasilnya aan berbeda, hal ini dpengaruhi oleh banyak faktor  yang melatari perbedaan persepsi antara keduanya.
Dalam pernyataan tersebut, Abdul Wachid hendak menegaskan tentang persoalan mimesis. Namun yang menjadi penekanan selanjutnya adalah, bahwa dalam penciptaan mimesis, pengarang memiliki persepsi yang berbeda. Sisi penarikan sudut pandang inilah, yang kemudian akan mengantarkan kemana sebuah karya sastra dibidikkan.
Cerpen ini menceritakan seorang lelaki, pemeluk agama yang teguh, bernama Maludin. Dua puluh tahun menetap di negeri orang, tidak sedikitpun menemui hambatan. Namun, kemudian dia dikejutakan dengan segala bentuk pemberontakan si sulung, bernama Muammar. Sebuah kisah klasik keluarga, perbedaan pendapat yang menghadirkan jurang dalam.
Maludin sendiri beristrikan seorang wanita bernama Maryam, yang memiliki tiga putra bernama Muammar, Fatur dan Fayed. Di luar negeri kemungkinan Maludin menjabat sebagai duta atau atase atau konsulat jendral atau pegawai KBRI, yang pasti dia bekerja sebagai perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri. Dari latar belakang keluarga, kita dapat melihat bahwa mereka adalah keluarga muslim. Keputusan pengarang untuk memberi nama pada tokoh pun, sudah mampu mencerminkan hal tersebut.
Seandainya kita menengok pada latar, maka kita dapat menyimpulkan bahwa itu adalah negara Barat. Hal ini dilihat dari pernyataan negeri yang jauh, deskripsi kehidupan masyarakat yang madani serta tertata, sampai penanda soal lebih dipentingkannya aspek rasionalitas dan kemampuan nalar otak. Lantas pengarang juga menghadirkan kontradiksi antara kehidupan masyarakat Indonesia serta masyarakat negeri luar negeri, yang baru mereka jamah. Semua aspek sosial ini, kemudian berpengaruh terhadap keseluruhan cerita.
Menurut Dr. Faruk (1: 2005) aspek sosiologi dikatakan berhubungan dengan konsep stabilitas sosial, kontinuitas yang terbentuk antar masyarakat yang berbeda, cara-cara yang dengannya individu-individu menerima lembaga-lembaga sosial yang utama sebagai suatu hal yang memang diperlukan dan benar. Akan tetapi di samping itu, sosiologi juga berurusan dengan proses perubahan-perubahan sosial baik yang terjadi secara berangsur-angsur maupun secara revolusioner, dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut.
Budaya luar yang mapan, memungkinkan segala bentuk kehidupan, dari pendidikan, tata kelola kota, kebersihan, sampai kemudahan  transportasi. Pengarang ingin meneriakkan ini sebagai satu sindiran, semacam menanggapi ketidakberdayaan otoritas Indonesia untuk menyediakan fasiltas yang sama bagi masyarakatnya. Di sini pengarang ingin mempersepsi-kan, negeri yang baru itu sebagai negeri yang sangat baik. Permasalahan yang muncul akibat anak masuk sekolah tidak terjadi. Ini dimanfaatkan pengarang untuk semakin menukikkan kritik terhadap pemerintah negeri ini. Hal ini terlihat bagaimana seorang Maludin mengalami konflik batin dan kegundahan, seputar pendidikan anak. Kejadian ini tak lain dan tak bukan, karena dia masih membawa persepsi tentang kultur Indonesia di luar.
Akan tetapi, permasalahan terjadi secara tiba-tiba. Muammar menjadi tokoh sentral yang melahirkan berbagai masalah. Dalam kutipan ini “…melebur dengan sempurna ke dalam kondisi lingkungan mereka. Satu-satunya kehidupan yang mereka kenal adalah kehidupan di sekitar mereka itu dan semua nilai yang melekat di sana”.Ini mengindikasikan tidak adanya sosialisasi dengan orang luar, tidak ada upaya untuk mengenal budaya dan tata masyarakat yang tengah dihadapi. Akibat dari semua itu fatal, begitu Muammar melihat dunia baru, maka dia akan sangat mudah goyah. Sebagai ayah, Mualim yang merasakan kehidupannya tanpa masalah, merasa tidak siap, ketika pola kehidupan masyarakat turut membentuk karakter si sulung. Artinya paham-paham baru yang dienyam oleh Muammar sejak perguruan tinggi mendominasi perubahan ini secara singkat. Sikap kritis, yang kemudian memunculkan pikiran untuk menganggap orang lain kuno dan kolot akhirnya tidak dapat dikontrol.
Pola pergaulan dan lingkungan masyarakat sangat menentukan bagaimana seorang anak yang dalam perkembangannya berubah. Kendati, penanaman moral sudah sedemikian baik, melalui evolusi selama nyaris dua puluh tahun sudah dilakukan, namun pergaulan memiliki kekuatan yang lebih dahstyat. Sekulerisme dan kebebasan dengan dalih HAM didengungkan, maka tak heran kalau pergaulan bebas sangat merebak. Itulah yang terjadi dengan Muammar selanjutnya.
Hanya saja, saya melihat bahwa pengarang menempatkan Maludin sebagai orang yang bersikap pragmatis. Hal ini terlihat dalam kutipan “Maludin kembali meyakinkan Muammar, kalau ingin mengenal keluarga mereka lebih jauh silakan saja Joyce berkunjung setiap hari. Kemudian Maludin yang bertanya, mengapa Joyce ingin mengenal mereka lebih jauh. Kan dia hanya teman akrab Muammar. Bolehlah kalau anak sulung Maludin itu menyebut Joyce pacarnya. Tapi Muammar harus ingat bahwa Joyce belum menjadi pacarnya secara resmi.”
Dalam hal itu percakapan menjadi bias dan mengambang. Maludin bersikap menentang namun di sisi lain tidak. Dia menentang karena Joyce bukan pacar Muammar. Lalu kalau pun dia pacar Muammar apakah Joyce boleh menginap di kamar anaknya? Selain itu, saya juga melihat adanya miskomunikasi, kalau pun diinapkan di kamarnya, belum tentu dia tidur sekamar kan? Ini sesuai dengan apa yang disarankan oleh Maludin.
Berhubung miskomunikasi tak terhindarkan, maka yang kemudian terjadi adalah pemberontakan, untuk mendobrak nilai-nilai lama. Muammar merasa ayah, ibu, dan kedua adiknya telah terperangkap dalam kepicikan yang mengekang. Ini terlihat dalam petikan “Dua puluh tahun di negeri yang jauh ini tidak membuat mereka dapat menyerap keragaman nilai di sekitar mereka.” Di sini kita dapat melihat bahwa secara tekstual, Muammar beranggapan bahwa seharusnya orang hidup itu berlaku sesuai dengan adat di masyarakat, meskipun harus meninggalkan adat lama dan pemikiran lama. Ini juga sebagai indikator, bagaimana kehidupan liberal sama sekali tak ingin mendapatkan intervensi dari agama dan keyakinan.
Parahnya, kemudian Muammar hanya ngeloyor pergi, karena ayahnya yang sebenarnya memiliki rencana lain tidak berusaha mencegah dan juga tidak berusaha menjelaskan dengan cepat. Artinya di sini sama-sama salah, sekaligus sama-sama tidak dapat disalahkan. Coba kalau Maludin langsung dengan cekatan menjelaskan duduk permasalahan, tentu sikap Muammar akan lain. Bagian inilah yang membuat cerita serasa dipaksakan untuk sesuai keinginan pengarang. Akibatnya, kekurangnaturalan dalam cerpen cukup terlihat.
Satu minggu setelah peristiwa malam itu, Muammar menelepon ayahnya. Dengan suara tenang dan perlahan ia menyatakan kecewa dengan sikap ayahnya. Ia meminta ayahnya untuk membebaskan diri dari belenggu keyakinan yang menghimpitnya. Keyakinan atau agama, apa pun agama dan keyakinan itu seharusnya tidak membuat pemeluknya senantiasa berdiri di tempat dan tidak berupaya untuk melangkah maju.
Yang menarik, kendati ada masalah Muammar tetap sopan. Luar biasa. Ini terlihat dari kata-kata Muammar ketika menelepon ayahnya “Ananda dibesarkan di negeri ini, di negeri yang jauh dari tempat kita berasal. Negeri ini telah membentuk ananda menjadi orang yang sangat mengutamakan otak…..”
Ayahnya bijak tapi tidak sigap. Kemudian muncullah kejadian Muammar berpindah agama. Agama dianggap sesuatu yang salah, padahal sebenarnya komunikasi mengenai agama itu sendiri yang belum mendapatkan porsi yang seharusnya. Artinya seringkali keluarga merasa sudah membekali ilmu agama dengan cukup baik, namun mereka tidak mempertimbangkan aspek pergaulan. Untungnya, sang ayah dengan berjiwa besar masih mengakui bahwa itu salah satunyua adalah kesalahan dia.
Itulah realitas yang seringkali terjadi dalam sebuah keluarga. Adanya perbedaan-perbedaan yang memicu ketegangan, adanya permasalahan yang tersulut karena pemikiran beda generasi, adanya polemik pergaulan yang mempengaruhi sosialisasi dalam keluarga, serta penyimpangan-penyimpangan tentang keberadaan agama. Banyak kenyataan di lapangan, mengenai hal semacam ini.
Agama adalah hal yang prinsipil, itu bukan dagangan yang bisa dicapai melalui proses tawar menawar. Yang penting di sini adalah mengetahui bahwa Tuhan memiliki rencana yang kadang berbeda dengan rencana umatnya, apa yang dianggapnya sebagai rezeki oleh manusia bisa jadi itu ujian dan begitupun sebaliknya. Ini mengindikasikan bahwa kemudahan-kemudahan yang dialami oleh manusia, seharusnya tetap melahirkan kewaspadaan. Bisa jadi itu jebakan-jebakan yang membuat orang terbuai. Ada semacam ungkapan yang menyatakan bahwa “kalau kamu ingin membuat sakit seseorang, maka pujilah dia kemudian hempaskan sekeras-kerasnya
Sumber: http://preteers.wordpress.com/

Celoteh dalam Rangkaian Cerita Rendra

WS Rendra terkenal dengan gaya-gayanya yang vokal dan kritis terhadap berbagai fenomena sosial. Penyair dengan julukan Burung Merak ini lahir di Solo, 7 November 1935. Kecintaannya terhadap teater dan juga sastra dia perlihatkan dengan mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Pada tahun 1985, dia mendirikan Bengkel Teater Rendra di Depok.
Sejak menggeluti dunia sastra, sudah banyak karya besar dia hasilkan, salah satunya antologi puisi Blues untuk Bonnie. Antologi ini diterbitkan pertama kali di Cirebon pada tahun 1971. Pada perkembangannya, sajak-sajak karya W.S. Rendra yang tergabung dalam antologi puisi Blues untuk Bonnie diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Buku setebal 36 halaman ini, berisi 13 puisi yang mayoritas merupakan puisi panjang. Kalau kita menilik kekaryaan W.S. Rendra, maka kita akan tahu bahwa antologi ini hanya salah satu dari beberapa antologi puisi yang menjadi karya fenomenalnya.
Blues untuk Bonnie, memuat puisi-puisi dengan judul berikut: Kupanggil Namamu, Kepada MG, Nyanyian Duniawi, Nyanyian Suto untuk Fatima, Nyanyian Fatima untuk Suto, Blues untuk Bonnie, Rick dari Corona, Kesaksian tahun 1967, Pemandangan Senjakala, Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, Pesan Pencopet Pada Pacarnya, Nyanyian Angsa, dan Khotbah.
Kalau kita melihat judul di atas, paling tidak kita sudah memiliki gambaran terhadap isi yang akan disampaikan WS Rendra. Sebuah adegan percintaan, kekonyolan hidup, religiusitas, dunia perselangkangan, pemberontakan sosial, beberapa setting tempat di luar negeri, kegalauan jiwa, dan beragam lontaran-lontaran pedas Rendra terhadap para penguasa Orde Baru.
Blues untuk Bonnie, terasa cukup menggelitik, ketika dituturkan dengan celoteh khas ala W.S. Rendra. Sebagai sosok besar, W. S. Rendra dalam penciptaannya mungkin sekali terinspirasi oleh penyair-penyair dunia yang menjadi kawan seperjuangan, mengingat dia pernah mendapatkan beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 – 1967). Membaca Blues untuk Bonnie, mau tak mau memaksa kita untuk berpendapat, bahwa Rendra tengah bercerita. Bahasa yang dia gunakan mengalir seperti orang berbincang. Ada plot yang mencoba dibangun, seperti dalam puisi Blues untuk Bonnie, Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, Nyanyian Angsa, dll.
Gaya puisinya berbentuk narasi deskriptif dengan bahasa lugas. Sajak-sajak yang dihasilan oleh Rendra pada bukunya kali ini dapat dikategorikan sebagai epik. Saya pikir Rendra sudah jengah dengan kaidah estetika yang rumit, hingga akhirnya dia lebih memilih berkelana bebas dengan bahasa-bahasa yang lebih populer namun menggelitik. Kebebasan ini sekaligus menyiratkan kemerdekaan jiwa Rendra dalam mnegaktualisasikan diri melalui kata. Meski demikian, orisinalitas dan kejujuran dalam puisi tersebut, menjadi kekuatan estetika baru.
Lihat saja, bagaimana dia menyinggung realitas sosial dibumbui dengan unsur seks, yang kemudian melahirkan puisi Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, Kepada M.G, Pesan Pencopet. Puisi Kepada MG misalnya, memberikan visualisasi tentang persetubuhan. Ketidakmengertian seorang lelaki terhadap perempuan, Duka yang tidur dengan berahi/ telah beranak dan berbiak/ Ranjang basah oleh keringatmu/ dan sungguh aku katakan: engkau belut bagiku/ Adapun maknanya: meski kukenal segala liku tubuhmu/ sukmamu luput dalam genggaman./ di puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya, menghadirkan celetuk-celetuk berbau seksual yang samar. Sarapku sudah gemetar/menanti lidahmu/ njilati tubuhku. Bagaimana kata njilati mengandung kesan cabul yang nyentrik. Njilati sebenarnya perpaduan antara bahasa Jawa dan Indonesia, ketidakwajaran dari modifikasi kata menjilati, menimbulkan kesan yang kuat. Akan tetapi secara umum, puisi ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan perempuan yang sedemikian cerdik. Mereka rela menjadi gundik, kemudian tetap mencintai pencopet, sebagai pacarnya. Semua itu karena materi.
Selain membumbui sajaknya dengan seks dan kata-kata cabul, Rendra banyak menggunakan gaya-gaya sindiran, untuk merekam momen-moment ironis. Kita bisa melihat ini dalam puisi Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, Blues Untuk Bonnie, dan juga Rick dari Corona. Seperti dalam Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, kita dapat melihat betapa emosionalnya Rendra hendak memaparkan sebuah kontradiksi mengenai penghakiman. Dia ingin mengalahkan dengan telak, bahwa sebenarnya orang-orang yang menghakimi para pelacur itu memiliki harga diri yang lebih rendah dibandingkan pelacur. Mereka bahkan melacurkan diri dengan kedok kedudukan, jabatan, dan berbagai kemunafikan lain.
Mengenai hal tersebut, kita bisa melongok pada petikan berikut Pelacur-pelacur Kota Jakarta/ berhentilah tersipu-sipu/ ketika kubaca di koran/ bagaimana badut-badut mengganyang kalian/ menuduh kalian sumber bencana Negara. Ini menunjukkan bagaimana para penguasa dan pemimpin hanyalah sekedar sekelompok orang yang besar mulut dan tak mampu berkaca. Untuk itulah, mengapa para pelacur pun yang notabene masyarakat kelas bawah terpinggirkan, patut untuk membunyikan genderang perang dan melawan. Dan wujud perlawanan itu digambarkan Renra melalui petikan berikut Saudari-saudariku/Bersatulah./ Ambillah galah./ Kibarkan kutang-ktangmu di ujungnya.
Sebagai kritik sosial, dalam puisi yang sama, Rendra juga menjelaskan, bagaimana para pemimpin itu saling berdiskusi untuk kepentingan di antara mereka sendiri, bukan kepentingan masyarakat golongan bawah. Maka dia menggunakan metafor dewa untuk menyimbolkan kedudukan mereka. Revolusi para pemimpin/ dalah revolusi dewa-dewa./ Mereka berjuang untuk surga/ dan tidak untuk bumi/
Rick dan Corona menceritakan bagaimana perselingkuhan dan mungkin juga praktik perselingkuhan berlangsung. Bagaimana antara Rick dan Betsy melakukan percakapan-percakapan konyol yang bebas. Kehidupan bebas itu melahirkan satu penyakit yaitu raja singa. Dalam puisi ini Rendra juga memainkan topografi terkait dengan dialog-dialog yang dimainkan oleh Rick dan Betsy.
Meskipun di sana-sini Rendra memasukan unsur seks, namun dia tak kehilangan sisi spiritualitas, sebagaimana dia berbicara dengan sudut pandang agamanya, melalui puisi Kotbah dan Nyanyian Angsa. Dalam dua puisi ini Renda seperti hendak menginsyafkan diri dan segala sesuatunya seperti hendak dia komunikasikan kepada Tuhan.
Nyanyian Angsa, menceritakan bagaimana Tuhan menunjukkan tewntang pelajaran hidup dan cobaan atas kesalahan dan dosa yang dilakukan hambaNya. Semua orang bahkan berusaha menghindar, orang-orang, dokter, bahkan pemuka agama yang seharusnya mampu memberi jalan yang lurus serta petunjuk menuju kebaikan. Seseorang yang dengan penyakit di tubuhnya, mencoba untu mencari pengampunan, melakukan perjalanan jauh, menelusuri aspal dan jalanan berdebu, hingga sampailah pada suatau tempat di pedesaan. Cukupmenarik, ketika Rendra menggambarkan bahwa malaikat pun mempunyai sikap antipati terhadap orang tersebut, dia selalu menatap dingin dan kejam. Dia selalu berusaha untuk menikamkan pedangnya.
Hingga satu peristwa terjadi, ketika wanita sudah berada di penghujung harapan, ketika wanita sudah sampai pada titik lemahnya. Seorang lelaki datang, dari penggambaran fisik, sekilas lelaki itu adalah Yesus. Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya/ Di lambung kiri/ Di dua teapak tangan/ Di dua tapak kaki. Hal ini pula yang menjadi penyebab malaikat terdiam, setelah sebelumnya berapi-api untuk memberikan siksaan kepada si pelacur.
Bagi saya, dari sekian banyak puisi yang hadir dalam Antologi Puisi Blues untuk Bonnie, puisi Kupanggil Namamu lah yang meninggalkan kesan mendalam. Ada kesenduan sekaligus pengorbanan besar terpampang di sana. Sambil menyeberangi sepi, kupanggil namamu, wanitaku. Apakah kau tak mendengarku? Ketenangan sekaligus romantisme yang berdebur. Sia-sia kucari pancaran sinar matamu/ Ingin kuingat lagi bau tubuhmu/ yang kini sudah kulupa/ Sia-sia./ Tak ada yang bisa kujangkau./ Sempurnalah kesepianku./ Kita dapat melirik sedikit aroma sentimentil dan lautan melankolia dalam kata-kata tersebut. Meski diselimuti ketenangan nyatanya, puisi ini juga menyimpan gejolak dan amarah. /Angin pemberontakan/ menyerang langit dan bumi./ Dan dua belas ekor serigala/ muncul dari masa silam/ merobek-robek hatiku yang celaka./Entah, mungkin saya terbawa euforia penampilan apik Reza Rahardian dalam membacakan puisi ini di film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta.
Kalau saya boleh mereview secara singkat, puisi-puisi dalam antologi ini tidak terlalu jauh membincang kehidupan sekitar. Kupanggili Namamu adalah seruan tentang kegalauan hati dan kerinduan terhadap seorang kekasih, Kepada MG menceritakan seputar hilangnya identitas seorang lelaki yang hanya mampu menjamah tubuh wanita tanpa dapat menyentuh palung terdalam dari perasaannya, Nyanyian Duniawi membincang bagaimana persetubuhan antara adam dan hawa terjadi, sedangkan Nyanyian Suto untuk Fatma lebih menggambarkan sikap kasmaran seorang lelaki terhadap kekasihnya. Penggambaran 23 matahari merupakan metafora dari umur Fatma. Peredaran bumi mengelilingi matahari atau disebut dengan revolusi adalah waktu yang menunjukkan jarak satu tahun atau 365 hari. Sajak kasmaran ini mendapatkan balasan melalui sebuah sajak berjudul Nyanyian Fatma untuk Suto. Sebagaimana disinggung di awal puisi Rendra adalah puisi kritik, contohnya pada puisi Kesaksian Tahun 1967, Pemandangan Senjakala yang menceritakan pertumpahan darah, Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, serta Pesan Pencopet Pada Pacarnya yang nyelekit berkaitan dengan pembalasan kecurangan yang dilakukan oleh para penguasa. Lantas, ada juga pembicaraan yang menyinggung seputar dampak dari seks bebas sebagaimana yang dituliskan Rendra pada sajak Rick dari Corona serta Nyanyian Angsa. Lantas aroma rasisme masyarakat kulit hitam juga sempat disinggung Rendra dalam sajak Blues untuk Bonnie.
Secara umum, antologi Blues untuk Bonnie ini menghadirkan berbagai tuturan renyah yang sebenarnya sangat dekat dengan masyarakat. Rendra mampu meramunya dengan cukup apik. Dia termasuk salah satu sastrawan yang frontal dan tak pernah lelah untuk membuat kuping penguasa panas memerah. Kalau musisi, mungkin kita dapat menyejajarkan dengan Iwan Fals. Sikap frontal ini pula yang mungkin menggiring Rendra pada tahun 1977 dicekal pemerintah Orde Baru. Sumber: http://preteers.wordpress.com/

Resensi: Petir Petir

Judul                          : Petir
Nama Pengarang      : Dewi Lestari
Penerbit                      : PT. Bentang Pustaka
Tahun                         : 2012
Cetakan                      : pertama, April 2011
Jumlah halaman        : 286 halaman
Sinopsis:
Reuben dan Dimas menginjak ulang tahun hubungan mereka yang ke 12. Dimas begitu sibuk mempersiapkan cendera mata yang mungkin bisa diberikan kepada Reuben. Namun nyatanya, dalam makan malam yang direncanakan oleh Dimas, Rauben melupakannya. Hal ini menyebabkan Dimas marah dan mengurung diri seharian. Namun, Dimas kemudian mencairkan hubungan dengan Reuben ketika dia mendapatkan surel dari Gio Alvarado, yang merupakan teman dari Diva. Gio mengabarkan bahwa Diva temannya menghilang dalam sebuah ekspedisi.
-o-
Sementara itu di Bandung, terdapat seorang gadis yang nyentrik. Dia bernama Elektra. Ayahnya bernama Wijaya seorang tukang reparasi. Dia meninggal karena serangan stroke. Keanehan yang dimiliki oleh Elektra tampaknya menurun dari ayahnya. Pak Wijaya pernah suatu saat mengalami sengatan listrik yang sangat hebat, begitu juga dengan Elektra. Dia pernah mengalami segatan listrik ketika umurnya baru delapan tahun. Sejak kejadian tersengat itu, Elektra menyukai petir. Kesukaannya terhadap petir yang dirasakan Watti, kakaknya begitu berlebihan, membuat kakaknya tersebut menganggap bahwa Elektra didiami semacam setan, maka kemudian dia membawa Elektra ke dalam persekutuan gereja. Namun naas, ketika sedang melakukan ritual, epilepsi Elektra kambuh.
Selama ini Elektra merasa bahwa antara keluarga ayahnya dengan keluarga yang lain terdapat jurang pemisah. Hal ini karena secara ekonomi keluarga Pak Wijaya tak beranjak, berbeda dengan keluarga lain. Elektra dan kakanya pun hanya disekolahkan di sekolah negeri bukan sekolah kristen unggulan. Maka tak heran kalau dirinya dan Watti sedikit di kucilkan. Tak hanya di sini, sebagai seorang China posisi mereka pun tak menguntungkan, karena seringkali menjadi bahan olokan kaum pribumi.
Watti sendiri sebagai seorang aktivis gereja memiliki kisah cinta yang unik. Dia mencintai Nelson, teman dalam persekutuan, namun ternyata Nelson tak memiliki perasaan khusus kepadanya. Setelah kesukaan Watti terhadap Nelson berakhir, dia mulai terkena demam NKTOB, salah satu grup band. Dia sangat tergila-gila. Dia bahkan mulai pacaran saat kelas 2 SMA dengan Andre. Dengan teman lelakinya itu, dia bahkan kepergok telah melakukan hubungan seksual oleh Elektra. Namun, hubungan itu pun ternyata putus juga.
Untuk mengakhiri petualangannya soal cinta, maka Watti pun kemudian menikah dengan lelaki yang sangat digilainya, dia bernama Atam. Atam sendiri adalah seorang muslim, namun karena saking cintanya maka Watti kemudian pindah keyakinan atas restu dari ayahnya. Saat Watti menikah, ayahnya sudah dulu meninggal dan tak sempat untuk menjadi wali. Dia kemudian pindah ke Tembagapura. Dari sanalah dia kemudian mengawasi Elektra. Dia meminta Ektra untuk menjual saja rumah warisan Dedi (ayahnya).
Namun Elektra menolak ide gila itu. Alih-alih hendak menjualnya, dia justru melakukan pembersihan dan penataan ulang. Dia sama sekali tak memiliki niatan sedikit pun untuk menjual, meskipun dia sendiri sebenarnya dalam keadaan kepepet tak memiliki uang yang cukup banyak. Watti sering mengolok-olok sebagai pengangguran. Tak mau kalah, Elektra mengatakan bahwa Watti tak akan masuk surga gara-gara keluar dari agamanya, dia kemudian mencatut satu hadist yang belakangan diketahui bahwa itu bohong. Terang saja ini membat Watti marah dan mendiamkan Elektra selama sebulan.
Hingga suatu ketika datang surat penawaran kerja dari  Sekolah Tinggi Ilmu Gaib Nasional yang membuka pendaftaran sebagai asisten dosen bagi Ektra. Elektra cukup senang karena dia selama ini selalu dipanas-panasi oleh Watti.  Meski demikian, dia sempat mempertimbangkan juga saat Watti mengatakan bahwa ada kesempatan untuk bekerja di Tembagapura. Saat akan menelepon kakaknya itulah, dia bertemu dengan mantan pembantunya. Darinya dia mendapatkan informasi soal paranormal kondang bernama Nyi Asih. Di sana dikatakan bahwa surat yang mengatakan dari STIGAB itu merupakan rencana jahat seseorang. Kontan saja hal ini menyebabkan Ektra ketakutan. Ketika dia tak mau mendapatkan jimat dari dukun, maka dia pun memegang dukun tersebut agar tak meneruskan ritualnya. Tak disangga dukun itu kesetrum.
Keyataan ini membuat dia sedih, apalagi desakan dari kakaknya untuk segera mencari pekeraan tak kunjung sirna. Maka, dengan ketetapan hati, dia pun mendaftar di sekolah tinggi tersebut. Untuk mendapatkan uba rampe yang disyaratkan, maka dia pergi ke Buah Batu. Di sanalah dai bertemu dengan Ibu Sati yang cukup baik. Semenjak itu, dia kemudian mengajukan lamaran, tak disangka tak dinyana, ternyata surat penaewaran menjadi dosen itu palsu, dia sudah dikerjain.
Di ambang kegalauan, maka dia memutuskan untuk menemui Ibu Sati lagi. Dia mulai belajar meditasi dan pertemuan mereka pun semakin intens. Watti terus saja mengoloknya soal pacar, namun dia tidak menggubris. Bahkan karena bingung mencari pekerjaan, dia memiliki pemikiran untuk bekerja di tempat Bu Sati. Sayang, ketika dia ingin melamar pekerjaan, Bu Sati tak ada di tempat, pergi ke Solo.
Alhasil karena frustasi, maka dia melalui kawan akhirnya mengenal dunia internet. Dari dunia itulah, dia mulai banyak teman dan kecanduan. Karena keranjingan internet inilah, maka pola hidupnya menjadi tak beraturan. Dia mulai jatuh sakit. Hingga dia benar-benar tak bisa keman-mana, namun syukurlah dia, karena dalam keadaan tak sadar ditolong oleh Bu Sati, yang saat itu sudah kembali dari Solo. Dari pertemuan saat itulah, dia mulai diberitahu tentang makna petir. Lantas, dari Bu Sati pula dia mendapatkan masukan, daripada online di tempat orang, akan labih baik lagi kalau dia memiliki komputer sendiri dan menjelajah internet di rumah.
Ide ini membekas dalam pikiran Ektra. Lantas dia membeli komputer dengan bantuan seorang teman. Lama-lama atas rekomendasi Bu Sati dia mengembangkan usaha untuk membuat warnet. Warnet itu adalah usaha bertiga antara Ektra, Kewoy dan Mpret. Dari warnet, mereka kembali mengembangkan usaha lagi, menjadi tempat nongkrong yang diberi nama Elektra Pop.
Usaha ini maju dengan pesat, perkembangannya luar biasa. Akselerasi yang singkat ini mau tak mau mempengaruhi kehidupan Elektra. Dia kemudian mengalami sakit yang aneh, selalu sakit kepala dan tak bisa bangun, namun acap kali hendak pergi ke dokter sakit itu menghilang dengan sendirinya. Teman-temannya yang diam-diam berusaha menolong pun justru tersengat listrik dari aliran tubuh Elektra. Elektra kemudian memutuskan untuk menghubungi Bu Sati. Dari Bu Sati dia diberi penjelasan, bahwa dia tidaklah sakit melainkan karena tubuh sedang melakukan pembersihan.
Bu Sati juga mengatakan bahwa listrik dalam diri Elektra adalah potensi. Untuk itulah dia terus meminta bimbingan Bu Sati, hingga Elektra kemudian mampu menerapi seseorang. Sediit belajar, dia sudah bisa mengobati orang lain, dia bisa membaca pikiran orang lain, dan melakukan berbagai atraksi yang menarik dengan kemampuan yang dia miliki. Makin lama makin banyak orang yang berobat ke tempat Elektra.
Hal ini menyebabkan Mpret, yang notabene salah satu investor dalam usaha Elektra merasa terganggu dengan kehadiran fasilitas baru (pengobatan yang dilakukan Elektra). Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Elektra sudah melenceng dari apa yang direncanakan semula. Hal ini memicu kemarahan Elektra. Hingga kemudian terjadi perang dingin di antara merka berdua, Mpret pun semakin jarang ke Elektra Pop. Namun belakangan, ketidaksetujuan Mpret ini lebih dikarenakan tidak ingin Elektra terlalu letih. Belakangan juga diketahui kalau Mpret mencintai Elektra.
Perkembangan usaha Elektra membuat Watti tercengang, bahkan suaminya, Antam kemudian mengajak Mpret untuk bekerjasama mengembangkan usaha serupa. Dari sinilah, Elektra kemudian dikenal di kalangan keluarga Antam. Usaha yang dikelola bersama Antam ini pun mengalami perkembangan yang juga pesat. Hingga suatu ketika datang Bong, yang ternyata saudara sepupu Mpret. Bong kemudian meminta Elektra untuk membantu mengobati temannya.
Fakta Cerita
Alur Cerita
  • Alur cerita dalam novel ini adalah alur flashback/campuran hal ini terlihat dari plot waktunya yang melompat diawali dari tahun 2003, kemudian mundur ke belakang dari awal 2001. Dari sinilah kemudian alur berubah menjadi alur maju, karena runtut dari tahun 2001 sampai tahun 2003.
Tokoh dan Penokohan
Dimas
  • Suka ngambek. Hal ini terlihat dalam petikan “Ia tahu kalimat itu percuma. Dimas akan berjalan masuk ke kamarnya, menutup pintu. Tidak keluar sampai pagi, kecuali kalau ada kebakaran”
Reuben
  • Pelupa. Hal ini dibuktikan dalam petikan berikut “Rauben menutup mata, frustasi. Kenapa ia selalu lupa? Kenapa tidak pernah bisa ingat? Bukan hari ini saja”.
Elektra
  • Pemalas. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan berikut “Aku, si Bungsu Pemalas yang jarang punya aksi”
  • Tidak jujur/pandai menyimpan rahasia. Ini terbukti ketika dia mendapati Watti sehabis melakukan hubungan seksual, namun dia tak mengatakan apa-apa
  • Irasional. Hal ini terjadi ketika dia meletakkan taspen di dalam peti mati ayahnya. Sikap ir sional ini juga dia tunjukkan ketika dia melamat pekeraa di STIGAN.
  • Demokratis. Hal ini terlihat dari sikapnya ketika membebaskan kakaknya menentukan agama pilihan.
  • Mandiri dan tabah. Hal ini terlihat dari kutipan “Betapa kerennya konsep ini nanti: Elektra, si gadis sebatang kara, mandiri dan tabah mengarungi hidup, tinggal di rumah besar dan cantik berlokasi strategis”.
  • Kreatif. Hal ini dibuktikan ketika dia mengurus masalah lamaran pekerjaan ke STIGAN, dia memiliki beberapa rencana, ketika satu rencana gagal, maka dia akan melakukan rencana yang lain.
  • Perhatian. Hal ini terlihat dari sikapnya terhadap pasiennya, sekaligus ketika dia menghadapi permasalahan Kewoy
Watti
  • Hiperaktif. Hal ini  dibuktikan dalam kutipan “Watti, si Sulung Hiperaktif yang selalu beraksi”
  • Centil. Hal ini terlihat ketika Watti mulai suka berdandan di usia yang masih sangat remaja
  • Sembrono. Hal ini dibuktikan ketika Watti sudah melakukan hubungan seksual dengan pacarnya di kelas 2 SMA
  • Teguh dan mau mengambil sikap. Ini terlihat ketika dia mau untuk memutuskan menikah dan pindah agama, sekalipun sebelumnya dia adalah pemeluk Kristen yang teguh, dia kemudian juga mau untuk belajar mengaji.
  • Menghargai. Hal ini tercermin, sekalipun dia sudah pindah agama, dia berjanji setiap Natal tiba masih akan mengunjungi adiknya
  • Tukang pamer. Hal ini terdapat dalam kutipan “Kalalu kalian kenal Watti seperti aku, tentu tahu bahwa niat baiknya itu seiring sejalan dengan niat pamernya kalau sekarang ia punya duit”.
  • Rapuh. Hal ini dibuktikan dalam kutipan “Tak sampai sepuluh detik, tahu-tahu Watti seseunggukan. Dan selama sejam ke depan, aku mendengarkan kakakku menangis dan mengeluh…”
Bu Sati
  • Ramah. Hal ini terlihat dari kutipan berikut “Seorang ibu gemuk berumur 40-an tahun berwajah hangat tersenyum lebar kepadaku”
  • Kreatif. Ini dibuktikan ketika wanita itu mengaku membuat sendiri sandal manik-maniknya.
  • Suka menolong. Hal ini terbukti ketika dia tidak mau dibayar ketika mengajari Ektra meditasi, karena baginya sudah merupakan kewajiban menolong orang lain.
  • Sensitif/punya kepekaan. Hal ini dibuktikan ketika dia tahu Ektra sedang sakit, meskipun dia tidak berada di tempat Ektra.
  • Berkharisma. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut “Sosok beliau yang tidak biasa, penampilan luarnya yang sangat India dan pembawaan dalam yang sangat berkharisma, memperhebat kasak kusuk di antara mereka berempat”
  • Bijak. Hal ini terihat dari petuah-petuah yang dia berikan kepada Ektra.
Mpret
  • Semangat. Hal ini dibuktikan dalam petikan “Barangkali karena semangat hidupnya yang menyala-nyala, atau kegilaannya pada dunia digital yang tidak kepalang tanggung…”
  • Menyenangkan. Hal ini dibuktikan dengan petikan “Ia orang yang paling menyenangkan sesudah Srimulat, tetapi begitu bicara bisnis, rasanya lebih baik mengobrol dengan nyamuk”. Karena sikapnya yang menyenangkan ini juga, maka dia memiliki jaringan yang sangat luas untuk membantu segala bentuk bisnisnya.
  • Sederhana dan efektif. Hal ini terdapat dalam kutipan “Aku suka gaya bisnisnya yang sederhana, tetapi efektif”
  • Kreatif. Hal ini dibuktikan dengan cara kerjanya yang out of the box, dia memiliki banyak konsep menarik dan mau menggandeng orang-orang untuk bekerja sama.
Kewoy
  • Suka menolong. Hal ini terlihat ketika dia mendampingi Ektra
  • Baik hati/protektif. Hal ini dibuktikan ketika Ektra sudah tertarik untuk membeli produk baru, maka Kewoy segera mengingatkan tentang keterbatasan budget yang mereka miliki.
  • Phobia. Hal ini tergambar dalam petikan “Aku tidak tahu kalau Kewoy ternyata mengidap homophobic, ketakutan berlebihan kepada kaum homoseksual”.
  • Tertutup. Hal ini dibuktikan, ketika dia tidak berani mengutarakan keinginannya untuk pulang, hanya karena takut tak mendapatkan izin dari Ektra.
Latar
Latar Tempat
  • Jakarta. Hal ini dibuktikan dengan petikan berikut: Pria itu mendongak. Ada ribuan pilihan tempat untuk makan siang di Kota Jakarta, tetapi ia selalu memilih makan sushi di tempat sama, ….”
  • Bandung. Hal ini terdapat dalam kutipan “Tinggal di Bandung membuat namaku tidak indah”
  • Buah Batu: hal ini dibuktikan pada petikan berikut “Sejak dulu, ada satu rumah di daerah Buah Batu yang aku curigai sebagai rumah nenek sihir”
Latar Waktu
  • 2003. Hal ini dibuktikan dalam tahun yang menunjukkan waktu dalam sub judul
  • 2001. Hal ini terlihat dari kode waktu yang ditunjukkan dalam subjudul Bandung
  • 2002. Hal ini terdapat pada subjudul waktu pada halaman 176
  • 2003. Hal ini terdapat pada subjudul waktu pada halaman 260
Latar Sosial
Latar sosial yang melatari novel ini adalah kehidupan masyarakat muda kota, yang mencoba mengkorelasikan antara aspek spiritisme muda sekaligus spiritual kebatinan

Resensi: Bekisar Merah

Judul                          : Bekisar Merah
Nama Pengarang      : Ahmad Tohari
Penerbit                      : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun                         : 2005
Cetakan                      : pertama,  Agustus 2005
Jumlah halaman        : 312 halaman
Sinopsis:
Karangsoga merupakan salah satu desa di kaki pegunungan vulkanik. Mayoritas masyarakatnya, yang laki-laki adalah seorang penderes nira. Karena ketergantungan mereka terhadap nira, dan tak memiliki pekerjaan lain, maka masyarakat Karangsoga kebanyakan hidup dalam kemiskinan.
Salah satu penderes tersebut bernama Darsa, dia seorang lelaki muda yang beristrikan Lasi, seorang wanita yang cukup cantik. Namun dulu ketika Lasi kecil, sering berhembus kabar kalau dia itu anak haram jadah, ibunya diperkosa oleh Jepang. Maka tak heran kalau secara fisik dia sangat cantik dengan mata kaput. Setelah dia dewasa kecantikan Lasi bahkan membuat banyak lelaki terpana, untuk itulah Darsa menjadi sangat beruntung.
Namun, di antara perasaan beruntung tersebut dia juga merasa cemas atas celoteh orang-orang yang menyebutkan bahwa Lasi lebih pantas untuk menikah dengan lurah. Tiga tahun perkawinan mereka pun, mereka belum dikaruniai anak. Ini sangat dipikirkan Darsa suatu ketika, kala dia menderes. Hingga kemudian jatuhlah ia dari pohon kelapa.
Memang tak ada luka parah yang terlihat, namun kemudian untuk memastikan keluarga membawanya ke rumah sakit. Ternyata Darsa terus saja ngompol. Rumah Sakit meminta Lasi untuk membawanya ke rumah sakit yang lebih besar dengan biaya besar pula, namun dengan persetujuan keluarga mereka akhirnya memilih untuk merawat darsa di rumah, karena tak tersedia banyak biaya.
Dalam sakit, Darsa berubah sikap, dia mulai sering marah-marah. Hal ini membuat Mbok Wiyarji, menantunya berkeluh kesah pada Eyang Mus. Dia bahkan menginginkan Lasi menikah dengan mantan gurunya. Hal ini tentu ditolak mentah-mentah oleh Eyang Mus. Dia mengingatkan untuk ikhtiar. Maka Mbok Wiyarji mengatakan bahwa Darsa sudah ditangani oleh Bunek, seorang Dukun Bayi. Setengah tahun tak berdaya, akhirnya Darsa mengalami kemajuan dia sudah tidak lagi ngompol. Dia juga sudah bisa melakukan pekerjaannya yang dulu, hanya saja, memang masih perlu sering terapi.
Namun semenjak Darsa sembuh, masalah Lasi justru rumit, dia mendengar bahwa anak Bunek memaksa kawin Darsa. Kontan saja, hal ini menimbulkan spekulasi masyarakat. Maka, Bunek pun buka suara, dia tanpa rasa bersalah menejelaskan bahwa dia hanya minta tolong Darsa karena dia sudah menolong Darsa. Menghadapi kenyataan ini Lasi tak kuat, maka dia pun kemudian memutuskan kabur, ikut tetangganya, seorang sopir truk, ke Jakarta.
Sampai di Jakarta, Lasi membantu Bu Koneng di warung makan. Dia tidak ingin pulang ke kampungnya lagi. Dia tak kan mengindahkan sopir yang membawa dia ke Jakarta. Di tempat lain, Darsa merasa sangat kehilangan Lasi, dia juga merasa sangat bersalah karena telah melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dia lakukan.
Sementara itu Kanjat yang yang sedang menyelesaikan skripsi mengangkat seputar kehidupan masyarakat penyadap nira. Dia merasa banyak yang tidak adil dalam sistem penjualan gula merah. Petani sangat dirugikan, dengan segala resiko dan kesulitan, harga gula enak saja diatur oleh para tengkulak. Hal ini lah yang menyulut kepedulian Kanjat untuk terus menyelesaikan skripsinya.
Lasi sendiri setelah lama bersama Bu Koneng, dia bertemu dengan Bu Lanitng. Bu Koneng ternyata tidak sebaik yang Lasi kira. Selama ini memang, dia tidak menjajakan Lasi kepada para lelaki, namun nyatanya, dia menyimpan Lasi, hingga kemudian datang Bu Lanting. Bu Lanting sendiri adalah orang yang mencarikan gendik keturunan Jepang bagi para pejabat. Semacam geisha. Atas bujuk rayu Bu Lanting lah, akhirnya Lasi tinggal bersama bu Lanting. Di sana dia dipoles sedemikian rupa sehingga makin hari makin cantik.
Akan tetapi, hal itu tidak serta merta membuat Lasi bahagia. Dia masih terus terkenang dengan desanya. Hingga suatu ketika Bu Lanting bertemu dengan Pak Handarbeni, salah satu direktur sebuah perusahaan asing yang dinasionalisasi. Sampai satu ketika Bu Lanitng meminta Lasi menemui laki-laki, yang tak lain adalah Pak Handarbeni. Dia diminta memakai kimono, namun belum juga tamu itu datang, dia sudah dikejutkan oleh kadatangan Kanjat, laki-laki yang dulu sudah dianggapnya sebagai adik.
Ketika Kanjat berlalu ada perasaan kehilangan dalam diri Lasi. Namun perasaan itu cepat-cepat menghilang, karena tamu yang sedianya datang ternyata benar memang sudah datang. Di lain pihak, dalam perjalanan pulang, Kanjat tak henti-hentinya memikirkan Lasi, bahkan Pardi, si sopir truk pun, kemudian menggodanya untuk segera menikahi Lasi, terlebih ketika dia tahu sekarang Lasi sudah menjelma menjadi wanita yang sangat cantik.
Beberapa hari kemudian, Bu Lanting pun meminta kesanggupan Lasi untuk menjadi istri Pak Handarbeni. Tentu saja hal ini cukup mengejutkan. Dia dihadapkan pada permasalahan pelik, namun dia tak punya pilihan. Selama ini dia telah banyak menerima kebaikan Bu Lanting. Dia tak bisa menolak Pak Handarbeni, meskipun hatinya berontak.
Suatu lebaran Lasi pulang ke kampung, namun sikapnya begitu dingin. Dia hendak menceraikan Darsa. Sementara itu Kanjat yang sudah lulus kuliah merasa kosong. Namun, berkat Doktor Jirem, dia berusaha berbuat banyak untuk kampungnya, memikirkan nasib para penyadap nira. Dia membentuk tim peneliti.
Kabar mengenai Lasi yang sudah janda, akhirnya sampai juga ke Kanjat. Dia kemudian menemui Lasi dengan maksud ingin melamarnya. Namun tak dinyana, Lasi tak bisa menerima lamaran itu dengan berat hati. Dia sudah terikat oleh Pak Handarbeni, meskipun dalam hati, dia juga menyukai Kanjat.
Di Jakarta, hubungan antara Lasi dan Pak Handarbeni tak berjalan harmonis, ternyata Pak Han orang yang impoten, untuk memenuhi kepuasan Lasi, Pak Han bahkan menawarkan ide gila. Lasi boleh berhubungan denbgan lelaki mana yang dia suka. Hal ini membuat Lasi terkejut dan marah, untuk itulah dia kemudian berpikir untuk bercerai. Maka ketika dia pulang kampung, hal ini diutarakannya kepada Kanjat. Kanjat tak menjawab. Mereka kemudian justru mendiskusikan soal listrik yang masuk desa, dan membuat pohon-pohon kelapa para penyadap ditumbangkan.
Hal ini menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi Kanjat. Dia bimbang apakah harus meneruskan hasratnya terhadap Lasi, sementara di lain pihak, Darsa membutuhkan keberpihakan dan juga dukungan dari Kanjat.
Fakta Cerita
Alur Cerita
  • Alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur campuran, hal ini terlihat ketika Lasi mengingat masa kecilnya yang penuh dengan ejekan. Begitu juga beberapa bagian ketika Lasi mengingat potongan-potongan masa lalu.
Tokoh dan Penokohan
Darsa
  • Semangat. Hal ini tecermin dalam petikan “Ia segera bangkit dan keluar dari bilik tidur. Lasi pun mengerti, suaminya terpanggil oleh pekerjaannya, oleh semangat hidupnya”
  • Berjiwa ksatria. Hal ini dibuktikan ketika di depan Eyang Mus dia mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. Bahkan kemudian dia berniat memperbaiki kesalahan tersebut.
  • Pasrah dan menerima. Hal ini terlihat dari sikapnya yang menerima ketika sepuluh dari dua belas pohon ditebang untuk keperluan pengadaan listrik.
  • Bertanggung jawab. Ini terbukti ketika dia mau menikahi Sipah
Lasi
  • Berani. Hal ini dibuktikan dengan keberanian Lasi dalam menghadapi tiga anak laki-laki yang mengejeknya.
  • Setia. Hal ini terbukti ketika Darsa sakit dan terus ngompol pun, Lasi masih selalu menemaninya
  • Polos. Hal ini terlihat ketika dia baru pertama kali ke Jakarta dan kepasrahannya pada setiap keputusan Bu Canting.
Kajat
  • Peduli. Hal ini dia tunjukkan melalui skripsi maupun penelitian yang dia angkat. Dia memiliki tekad yang besar untuk membawa para penyadap nira ke tataran hidup yang lebih baik.
  • Teguh pendirian. Hal ini dia tunjukkan, meskipun orang tua tidak setuju dengan apa yang dia usahakan, namun dia tidak pantang mundur, dia juga tidak gengsi, meskipun dia seorang insinyur, namun dia tetap dekat dengan masyarakat.
  • Pengertian. Hal ini dia tunjukkan ketika Lasi bercerita tentang kehidupannya. dia bisa mengerti dan memahami apa yang menjadi keputusan Lasi.
Latar
Latar Tempat
  • Karangsoga. Hal ini terbukti melalui petikan berikut “Karangsoga adalah sebuah desa di kaki pegunungan vulkanik”
  • Jakarta. Hal ini tergambar dalam petikan “Menjelang fajar truk sampai di pinggiran kota Jakarta”
  • Kalirong. Hal ini tergambar dari petikan “Kalirong adalah sebuah sungai kecil yang bermula dari jaringan parit-parit alam di lereng gunung sebelah utara Karangsoga”
Latar Waktu
  • Musim kemarau. Hal ini terbukti dalam petikan “Musim pancaroba telah lewat dan kemarau tiba. Udara Karangsoga yang sejuk berubah dingin dan acap berkabut pada malam hari…”
Latar Sosial
Masyarakat yang melatari novel ini adalah kehidupan masyarakat desa penyadap nira yang masih tradisional. Mereka hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan, serta sengkarut permasalahan terkait dengan sulitnya mengubah pola perdagangan gula merah yang sangat merugikan petani