Sabtu, 17 Agustus 2013

PERKEMBANGAN PENGETAHUAN

TAHAP PERKEMBANGAN ILMU

Dewasa ini perkembangan dalam berbagai ranah keilmuan mengalami perubahan yang sangat signifikan. Kemudahan transportasi, informasi dan komunikasi dalam bidang teknologi misalnya, menjadi ciri khas gambaran peradaban canggih manusia saat ini. Dari kemajuan ini terlahir cabang-cabang ilmu baru dan membentuk spesifikasi-spesifikasi dalam konsentrasinya sendiri. Namun demikian sedikit orang yang sadar secara kritis memahami implikasi dari kemajuan tersebut. Seringkali kita melihat antara cabang keilmuan satu memandang rendah kepada cabang keilmuan lainnya. Suatu paradigma yang secara tidak langsung terkonsep pada pola perkembangan suatu studi keilmuan. Memandang permasalahan di atas, penting bagi kita untuk menelitik lebih dalam terkait hakikat ilmu itu sendiri. Salah satunya dengan memahami kronologis historis sejarah dan perkembangan pengetahuan mulai dari era klasik, tengah dan modern. Sehingga dengan memahami hal tersebut tidak menjadikan kita sebagai seorang yang memiliki pandangan picik terhadap studi keilmuan tertentu. Mengenai kronologis historis sejarah dan perkembangan pengetahuan akan dijabar menurut tahapan fase-fasenya, mulai dari zaman klasik, tengah hingga zaman modern.
Sejarah Perkembangan Ilmu Zaman Klasik
Perkembangan ilmu zaman Klasik, dimulai pada masa kerajaan Yunani. Peralihan dari pola pikir mitosentris yakni kepercayaaan terhadap dewa-dewa menjadi pola pikir logosentris penggunaaan ilmu dalam menggungkap rahasia alam semesta. Perubahan pola pikir ini dimulai dengan mempertanyakan apa sebenarnya asal-usul alam semesta. Oleh sebab itu beberapa ahli yang mengutarakan pendapat ini digolongkan dalam filsafat alam. Adapun tokoh-tokoh secara sistematis diurutkan sesuai dengan masanya. 1. Thales (624 – 546 SM); merupakan filosof alam pertama dan dijuluki sebagai bapak filsafat, orang yang pertama kali mempertanyakan apa sebenarnya asal-usul alam semesta. Menurut pendapatnya air sebagai asal alam semesta. 2. Anaximandros (610 – 540 SM); menyatakan alam merupakan substansi pertama yang kekal, tidak terbatas dan meliputi segalanya (apeiron). Terbentuknya alam semesta tidak sebatas anasir tertentu melainkan sebuah kesatuaan primitif semua substansi. 3. Heraklitos (540 – 480 SM); ia menyatakan alam semesta bersifat dinamis dalam sebuah peryataannya yang termansyurnya “panta rhei uden menei” yang artinya semua mengalir dan tidak ada satupun yang tinggal mantap. Pembentukan alam semesta menurutnya tidak terletak pada bahan melainkan aktor dan penyebabnya, api merupakan simbol perubahan itu. 4. Parmenides (515 – 440 SM); Realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah . Kebenaran suatu pendapat diukur dengan logika. Alam semesta menurutnya tidak bergerak, tetap diam karena alam hanya satu adapun gerak yang terlihat adalah semu. Dari pandangan ini melahirkan prinsip panteisme dalam memandang realitas. 5. Pythagoras (580 – 500 SM); kunci pemahaman tentang alam semesta terletak pada angka-angka, karena segala sesuatu adalah angka. Ia menggunakan pendekatan matematis dalam mengukur kenbenaran dan akurasi sebuah ilmu. Setelah masa filsafat alam berakhir muncul masa transisi yang tidak hanya mempertanyakan segala sesuatu tentang alam semesta, tetapi telah menjurus pada penyelidikan tentang manusia. Manusia merupakan ukuran kebenaran pendapat ini diwakili oleh kaum sofis. Adapun pemikiran para filsuf ini yaitu: 1. Protagoras (481 – 401SM); manusia adalah ukuran kebenaran, tulang punggung humanisme, tidak ada ukuran yang absolut. Kebenaran bersifat subyektif dan relatif. 2. Georgias ( 483 – 375 SM); ia menyatakan 3 konsep preposisi yaitu: realitas tidak ada tidak ada yang ada, bila sesuatu itu ada ia tak akan dapat diketahui sebab indra sumber ilusi, sekalipun realitas dapat diketahui ia takkan dapat diberitahukan pada orang lain. Hal ini melahirkan prinsip nihilisme. Berakhirnya pemikiran kaum sofis membawa babak baru dalam pemikiran dikalangan kaum filsuf, muncul pemikiran kreatif dan kritis tentang manusia, suatu kebenaran yang dipandang objektif tergantung pada manusia. Pengaruh ini memunculkan pemikir-pemikir baru dalam kajiannya seperti: 1. Socrates (470 – 399 SM); ia menilai kebenaran objektif dengan menggunakan metode dialog yang bersifat praktis, terkait pengujian terhadap diri sendiri sebagai dasar penelitian dan pembahasannya dengan slogan “kenalilah dirimu sendiri”. 2. Plato (429 – 347 SM); ia menyatakan esensi mempunyai realitas, mensistesa pandangan Heraklitos dan Parmenides. Realitas terdiri dari dua lapisan empiris dan dunia akal atau ide yang bersifat abadi. 3. Aristoteles (384 – 322 SM); puncak kejayaan filsafat Yunani. Logika, Matematika dan Metafisika dipersatukan melalui analisis silogisme penggunaan logika deduktif sebagai acuan pengukuran valid tidaknya sebuah pemikiran. Aristoteles disebut sebagai bapak ilmu karena jasanya meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.

Sejarah Perkembangan Ilmu Zaman Pertengahan
Perkembangan ilmu pada zaman Pertengahan dimulai pada sekitar abad ke 15 atau 16 Masehi. Fase ini disebut juga masa Reinainsans atau masa Pencerahan, hal ini tidak terlepas dari upaya melepaskan diri dari otoritas kekuasaan gereja yang membelenggu kebebasan kebenaran filsafat dan ilmu pada saat itu. Penemuan – penemuan dalam berbagai bidang ilmu khususnya terkait dengan ilmu pasti. Memunculkan nama-nama besar seperti: 1. Nicholas Copernicus (1473 – 1543); yang mencetuskan prinsip Heliosentrisme membawa revolusi besar tentang alam semesta. 2. Tybrahe ( 1546 – 1601); pencetus dalam bidang Astronomi. 3. John Keppler dalam bidang Astrologi menyatakan lintasan berbentuk elips. 4. Galileo(1546 – 1642); penemu teropong bintang peletak dasar subyektif ia menyatakan ilmu pada umumnya tidak dapat memeriksa sifat kehidupan, tidak dapat diukur dan tidak dapat ditemukan satuannya. 5. Napier (1550 – 1617); pencetus logaritma. 6. Descartes (1593-1666); pencetus projeksi geometri.
Sejarah Perkembangan Ilmu Zaman Modern
Perkembangan ilmu pada zaman Modern terletak pada rentang abad 17 sampai 19 masehi. Dikatakan dalam buku filsafat ilmu karya Amsal Bakhtiar perkembangan ilmu pada zaman Modern dan zaman Pertengahan memiliki perbedaaan tipis. Perkembangan ini merupakan dampak dari revolusi indusri yang terjadi besar-besaran di berbagai daerah-daerah Eropa. Penemuan mesin uap pertama kali oleh James Watt membawa terobosan dari pola masyarakat agraris yang bersifat swadaya menuju masyarakat kapitalis, mesin memegang peranan vital dalam perindustrian ini. Lahirnya basic keilmuan yang bersifat Empirisme dan Rasionalisme. Faham Empirisme lahir melalui proses penyatuan pengalaman yang konkret dengan menggunakan analisis induktif yakni penarikan suatu pola pengalaman yang bersifat khusus mengarah pada pola yang bersifat umum. Sedangkan faham Rasionalisme lahir sebagai akibat dari pengamatan sistematis dan kritis dengan mempergunakan akal sebagai indikatornya. Pemikiran ini dicetuskan oleh tokoh-tokoh seperti Francis Bacon yang menyatakan pengetahuan adalah kuasa dan mengkritik teori-teori abstrak model abad pertengahan. Thomas Hobbes atau lebih dikenal dengan bapak totalitarianisme modern karena mengajarkan bahwa pada hakikatnya manusia memiliki watak mementingkan diri sendiri. Sekitar abad 18 muncul berbagai keilmuan baru dan lebih spesifikasi seperti ilmu Taksonomi, Ekonomi, Kalkulus dan Statistika. Demikian kronologis historis sejarah dan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa klasik, tengah dan modern.
*Dirangkum dari buku Filsafat Ilmu karya Amsal Bakhtiar, Jakarta: Rajawali Press, 2009.

KONSEP PERUBAHAN

TEORI PERUBAHAN SOSIAL

Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan antarmasyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam unsurunsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang dinamis. Adapun teori-teori yang menjelaskan mengenai perubahan sosial adalah sebagai berikut.

1. Teori Evolusi ( Evolution Theory )
Teori ini pada dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan proses yang cukup panjang. Dalam proses tersebut, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Ada bermacam-macam teori tentang evolusi. Teori tersebut digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu unilinear theories of evolution, universal theories of evolution, dan multilined theories of evolution.
a. Unilinear Theories of Evolution
Teori ini berpendapat bahwa manusia dan masyarakat termasuk kebudayaannya akan mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks dan akhirnya sempurna. Pelopor teori ini antara lain Auguste Comte dan Herbert Spencer.

b. Universal Theories of Evolution
Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen menjadi kelompok yang heterogen.

c. Multilined Theories of Evolution
Teori ini lebih menekankan pada penelitian terhadap tahaptahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan penelitian tentang perubahan sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke sistem pertanian menetap dengan menggunakan pemupukan dan pengairan.
Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, ada beberapa kelemahan dari Teori Evolusi yang perlu mendapat perhatian, di antaranya adalah sebagai berikut.
·       Data yang menunjang penentuan tahapan-tahapan dalam masyarakat menjadi sebuah rangkaian tahapan seringkali tidak cermat.
·       Urut-urutan dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya tegas, karena ada beberapa kelompok masyarakat yang mampu melampaui tahapan tertentu dan langsung menuju pada tahap berikutnya, dengan kata lain melompati suatu tahapan. Sebaliknya, ada kelompok masyarakat yang justru berjalan mundur, tidak maju seperti yang diinginkan oleh teori ini.
·       Pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan berakhir pada puncaknya, ketika masyarakat telah mencapai kesejahteraan dalam arti yang seluas-luasnya. Pandangan seperti ini perlu ditinjau ulang, karena apabila perubahan memang merupakan sesuatu yang konstan, ini berarti bahwa setiap urutan tahapan perubahan akan mencapai titik akhir.

Padahal perubahan merupakan sesuatu yang bersifat terusmenerus sepanjang manusia melakukan interaksi dan sosialisasi.

2. Teori Konflik ( Conflict Theory )
Menurut pandangan teori ini, pertentangan atau konflik bermula dari pertikaian kelas antara kelompok yang menguasai modal atau pemerintahan dengan kelompok yang tertindas secara materiil, sehingga akan mengarah pada perubahan sosial. Teori ini memiliki prinsip bahwa konflik sosial dan perubahan sosial selalu melekat pada struktur masyarakat.

Teori ini menilai bahwa sesuatu yang konstan atau tetap adalah konflik sosial, bukan perubahan sosial. Karena perubahan hanyalah merupakan akibat dari adanya konflik tersebut. Karena konflik berlangsung terus-menerus, maka perubahan juga akan mengikutinya. Dua tokoh yang pemikirannya menjadi pedoman dalam Teori Konflik ini adalah Karl Marx dan Ralf Dahrendorf.
Secara lebih rinci, pandangan Teori Konflik lebih menitikberatkan pada hal berikut ini.
·           Setiap masyarakat terus-menerus berubah.
·           Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang perubahan masyarakat.
·           Setiap masyarakat biasanya berada dalam ketegangan dan konflik.
·           Kestabilan sosial akan tergantung pada tekanan terhadap golongan yang satu oleh golongan yang lainnya.

3. Teori Fungsionalis ( Functionalist Theory )
Konsep yang berkembang dari teori ini adalah cultural lag (kesenjangan budaya). Konsep ini mendukung Teori Fungsionalis untuk menjelaskan bahwa perubahan sosial tidak lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut teori ini, beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur yang lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsur tersebut. Maka, yang terjadi adalah ketertinggalan unsur yang berubah secara perlahan tersebut. Ketertinggalan ini menyebabkan kesenjangan sosial atau cultural lag.

Para penganut Teori Fungsionalis lebih menerima perubahan sosial sebagai sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti pada saat perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan ditolak. Tokoh dari teori ini adalah William Ogburn.
Secara lebih ringkas, pandangan Teori Fungsionalis adalah sebagai berikut.
·         Setiap masyarakat relatif bersifat stabil.
·         Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang kestabilan masyarakat.
·         Setiap masyarakat biasanya relatif terintegrasi.
·         Kestabilan sosial sangat tergantung pada kesepakatan bersama (konsensus) di kalangan anggota kelompok masyarakat.

4. Teori Siklis ( Cyclical Theory )
Teori ini mencoba melihat bahwa suatu perubahan sosial itu tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh siapapun dan oleh apapun. Karena dalam setiap masyarakat terdapat perputaran atau siklus yang harus diikutinya. Menurut teori ini kebangkitan dan kemunduran suatu kebudayaan atau kehidupan sosial merupakan hal yang wajar dan tidak dapat dihindari.
Sementara itu, beberapa bentuk Teori Siklis adalah sebagai berikut.
a. Teori Oswald Spengler (1880-1936)
Menurut teori ini, pertumbuhan manusia mengalami empat tahapan, yaitu anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Pentahapan tersebut oleh Spengler digunakan untuk menjelaskan perkembangan masyarakat, bahwa setiap peradaban besar mengalami proses kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses siklus ini memakan waktu sekitar seribu tahun.

b. Teori Pitirim A. Sorokin (1889-1968)
Sorokin berpandangan bahwa semua peradaban besar berada dalam siklus tiga sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir. Siklus tiga sistem kebudayaan ini adalah kebudayaan ideasional, idealistis, dan sensasi.
·         Kebudayaan ideasional, yaitu kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural.
·         Kebudayaan idealistis, yaitu kebudayaan di mana kepercayaan terhadap unsur adikodrati (supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal.
·         Kebudayaan sensasi, yaitu kebudayaan di mana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.

c. Teori Arnold Toynbee (1889-1975)
Toynbee menilai bahwa peradaban besar berada dalam siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan, dan akhirnya kematian. Beberapa peradaban besar menurut Toynbee telah mengalami kepunahan kecuali peradaban Barat, yang dewasa ini beralih menuju ke tahap kepunahannya